Mohon tunggu...
Fadzilah Chabib Sabilah
Fadzilah Chabib Sabilah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Raden mas said Surakarta

Komperatif

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku Sosiologi Hukum

12 Oktober 2023   11:28 Diperbarui: 12 Oktober 2023   11:31 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Fadzilah Chabib Sabilah

212111219 / 5E

Identitas buku : Prof.Dr. Satjipto Raharjo, SH. Sosiologi Hukum 

Dalam teori-teori sosiologi hukum yang bersifat makro ini, selalu dapat disaksikan betapa para teoretisi senantiasa menghubungkan hukum dan sistem hukum dengan keadaan masyarakatnya, apakah itu berupa struktur perekonomiannya, bentuk politiknya, solidaritasnya atau ciri-ciri yang lainnya. Dengan demikian, huhum merupakan variabel yang tergantung atau tidak tetap yang hanya bisa dipahami dengan baik dalam hubungan dengan masyarakatnya.

Untuk menyesuaikan pada tema tulisan ini, diberikan gambaran yang lebih nyata kaitannya dengan hukum Adat. Seperti telah disinggung di muka, maka dalam pemahaman sosiologis, hukum adat merupakan variabel tidak tetap yang tergantung pada masyarakatnya. 

Penelusuran tentang masyarakat yang merupakan wadah hukum adat ini, membawa kita kepada suatu sistem ekonomi pertanian tradisional. Masyarakat tersebut, dapat digolongkan kepada masyarakat pra-industri, dengan beberapa cirinya yang menonjol seperti tingkat ketergantungan kepada alam yang tinggi, mobilitas rendah, dan keterikatan anggota masyarakat satu sama lain yang tinggi pula. Dalam kerangka pemahaman tersebut, akan banyak hal-hal yang terdapat pada hukum adat yang dapat dijelaskan dan menguak selubung romantis yang banyak diberikan kepada hukum adat selama ini. 

Dari beberapa penelitian, didapati informasi bahwa hukum adat disusun atas dasar pikiran- pikiran rasional, bahkan kadang-kadang matematis. Telah dikemukakan tentang kasus rumah panjang dan rumah- rumah keluarga di sekelilingnya itu begitu terukur secara ekologis pasti. Tidak dijumpai masalah kebetulan serta acak-acakan di situ, melainkan semuanya tempak terukur secara pasti dan mengemban fungsi-fungsi militer, ekologi, hukum dan pengontrolan pemilikan, ekonomi, pengaturan efisiensi kerja, dan juga fungsi simbolis.

Ada dua teori besar yang patut mendapat perhatian, yaitu teori struktural-fungsional dan teori konflik, keduanya berdiri pada kutub-kutub yang bertentangan. Teori struktural melihat obyeknya sebagai suatu kesatuan dengan bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain dalam suatu kaitan yang berkesinambungan. Sekalipun teori ini juga mengakui terjadinya konflik konflik dan perubahan dalam masyarakat, tetapi itu hanya keadaan sementara yang pada akhirnya akan mencapai suatu titik keseimbangan baru atau suatu ekuilibrium. Perubahan- perubahan tidak akan berkepanjangan tanpa gerakan yang akan menerbitkan perubahan tersebut dan gerak ke arah keadaan semula, ini disebut sebagai homeostatis.

Apabila kita akan membangun hukum Indonesia baru melalui jalan yang ditunjukkan oleh UUD, kita dituntut untuk memperhatikan dengan seksama suasana, perubahan, serta dinamika sosial yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan demikian kita bisa melontarkan berbagai pertanyaan pendahuluan untuk memperoleh gambar tentang semua keadaan sebagaimana disebut di atas. Para penyusun UUD telah memberikan contoh tentang masalah apa yang perlu diperhatikan sebelum kita masuk kepada pembangunan hukum secara lebih teknis. Pada tahap ini kita diminta untuk menjalankan peran sebagai analis sosial untuk bisa menangkap keadaan masyarakat serta kecenderungan- kecenderungan perkembangannya. Dari gambar yang bisa disusun barulah ditentukan pilihan-pilihan yang ingin dilakukan sebagai kegiatan perekayasaan hukum.

Di muka sudah disinggung tentang masyarakat sebagai sumber daya bagi hukumnya. Sumber daya ini antara lain tampil dalam bentuk penyediaan sumber daya manusia untuk menggerakkan roda hukum sehingga bisa berjalan. Peraturan-peraturan sebagai substansi hukum adalah kaidah- kaidah yang tidak bisa mengeksekusi sendiri sanksinya. Ia juga mengandung janji-janji yang hanya bisa dilaksanakan melalui campur tangan manusia. Di samping peranan manusia, maka sumber daya kekuatan yang dibutuhkan oleh hukum juga meliputi yang lain-lain, seperti alam, ekonomi dan politik.

Kekuatan yang menggerakkan hukum juga tidak sama pada semua bangsa. Kejadian di Iran merupakan suatu contoh tentang betapa khasnya kekuatan tersebut, tergantung dari pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa bersangkutan. Indonesia, misalnya, juga mempunyai pengalamannya sendiri yang khas, seperti tampilnya militer sebagai suatu kekuatan sosial. Tidak semua bangsa, khususnya negara sedang berkembang menampilkan konfigurasi kekuatan sosial seperti yang ada pada bangsa Indonesia. Berbagai faktor dan peristiwa yang muncul dalam sejarah Indonesia menyebabkan militer muncul sebagai suatu kekuatan sosial yang penting. Bagaimana persisnya peranan militer dalam hukum di Indonesia belum diteliti dan ini merupakan suatu kekurangan.

Memang benar apabila ada orang mengatakan, teknologi adalah bagaikan monster yang tidak akan pernah berhenti dan menjadi semakin besar dan semakin besar, begitu ia dilahirkan di dunia. Sekalipun perumpamaannya adalah tidak terlalu keliru, tetapi dalam kenyataannya perumpamaan menjadi semakin besar adalah dengan cara menjadi semakin kecil dan kompak. Orang pun sekarang mulai berbicara tentang terjadinya revolusi yang kesekian kalinya, yaitu suatu revolusi mikro elektronik (King, 1983: 1-35).

Dalam waktu 30 tahun, barang-barang elektronik seperti komputer telah menjadi kuna. Komputer yang 30 tahun lalu berupa instalasi yang besar dan ruwet, dengan ribuan sambungan dan kontak, puluhan ribu tabung hampa udara dan jutaan resistor, sekarang telah menjadi 300.000 kali lebih kecil dengan kekuatan 10.000 kali lebih cepat. Harga sebuah transistor di Amerika Serikat yang pada tahun 1960 adalah $10, sekarang bisa diperoleh dalam bentuk integrated circuit yang disebut chip dengan harga 1 c. Kesimpulannya kemajuan dalam bidang mikro- elektronik telah menjadikan barang-barang elektronik menjadi jauh lebih kecil (sebesar cornflake), menjadi berlipat ganda kuat dan berlipat ganda murahnya.

Umumnya, sistem peradilan di Indonesia masih berjalan baik tahun 50-an, tetapi secara pelahan-lahan keadaan memburuk. Pompe, misalnya mengatakan, Ketua Mahkamah Agung Subekti tahun 70-an masih disebut sebagai squeaky clean.

Sebuah paduan suara yang melagukan keterpurukan penegakan hukum dapat dibaca mulai dari buku-buku berdasarkan pengamatan sederhana, sampai ke studi yang serius, seperti, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto (Asrun, 2004) dan The Indonesia Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Pompe, 2005).

Cerita sukses hampir tidak ada, kecuali kalau orang bersedia agak bersusah-payah mencari bukti-bukti tentang hal tersebut, seperti dilakukan oleh Tim Bank Dunia, yang akhirnya menerbitkan laporannya dalam bentuk buku berjudul "Menciptakan Peluang Keadilan" (2005).

Gambaran hitam penegakan hukum dan peradilan pidana umumnya berkaitan dengan korupsi atau komodifikasi peradilan dan pengadilan. Pompe menyebut korupsi di pengadilan sebagai corruption hemorrhage dan sudah merambat dari bawah sampai ke atas. "The corruption hemorrhage in the lower courts inevitably affected the Supreme Court, but at least until 1974 it remained essentially clean. This purity is remarkable because during the 1950s and 60s Supreme Court judges were clearly affected the Court... This disciplined morale collapsed when SA became chairman" (Pompe, 2005). Buku Pompe yang diangkat dari disertasinya merupakan contoh yang sangat bagus tentang praksis penelitian yang disebut sebagai fact-based research.

Berbicara tentang atau membicarakan hukum sekarang juga berbicara tentang sebuah realitas baru, yaitu peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari materi substansial maupun prosedural. Maka jalan hukum menjadi bercabang dan keadaan tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi sendiri yang cukup berat.

Pada waktu seseorang datang ke pengadilan modern, misalnya, maka ia tidak dapat lagi memandang pengadilan sebagai tempat yang akan memberikan keadilan substansial kepadanya, sekalipun pengadilan disebut sebagai "rumah keadilan" (house of justice). Apabila ia berharap demikian, maka akan banyak dikecewakan. Sebabnya tidak lain adalah pengadilan sekarang sudah berubah tempat yang juga bertugas untuk menerapkan peraturan perundang-undangan. Hakim juga harus memutus berdasarkan undang-undang. Kekecewaan, misalnya, dituliskan oleh William T. Pizzi dalam bukunya, Trial without Truth (1999), atau Gerry Spence, The Death of Justice (1997) dan Witch Justice for None (1989). Tulisan-tulisan tersebut mengkritik tentang bagaimana hukum dijalankan di Amerika Serikat. Spence bahkan mengatakan, keadilan di Amerika Serikat hanyalah sebuah mitos. Kritik tersebut tidak hanya berlaku bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi penegakan hukum di negeri kita.

Ilmu Hukum sebagai Ilmu Perilaku (Behavioral Jurisprudence)

Dengan memasuki ranah perilaku dalam hukum, maka kita telah memperluas ranah ilmu hukum dengan melibatkan peran perilaku dalam kehidupan hukum, yang berarti pula melibatkan faktor dan peran manusia (Rahardjo, 1996, 2002).

Hukum adalah teks dan ia hanya dapat menjadi aktif melalui campur tangan manusia. Agar kita dapat menyaksikan kiprah hukum dalam kehidupan sehari-hari yang nyata, maka diperlukan mobilisasi hukum, melalui mobilisasi hukum ini hukum tekstual berubah menjadi aktual.

Dalam hubungan ini, Donald Black (1989) mengatakan, "The jurisprudential model regards law as a logical process, but in the sociological model, law is not assumed to be logical. Law is how people actually behave, and that is all."

Sejak perilaku manusia berperan aktif dalam realisasi teks-teks hukum atau perundang-undangan, maka hukum memasuki dunia yang semakin kompleks. Kita tidak lagi semata-mata dihadapkan pada teks hukum, melainkan juga pada kompleksitas perilaku manusia. Kendatipun pemahaman terhadap hukum tersebut lebih maju daripada sekedar menekuni teks-teks undang-undang. Sangat disadari akan adanya pihak-pihak yang menganggap gagasan yang dituangkan dalam tulisan ini sebagai sesuatu yang abstrak dan ideal. Hal tersebut tidak terlalu dirisaukan, karena hanya ingin menyampaikan suatu pemikiran yang mudah-mudahan dapat menggugah perhatian masyarakat terhadap adanya sisi kemungkinan atau atau alternatif lain dari sistem peradilan kita (the other side of the coin).

Seseorang yang berpikir positivistis-normatif-analitis akan segera menolak gagasan tersebut, karena sistem dan peraturan perundang-undangan kita sekarang tidak memungkinkan gagasan itu dijalankan. Tetapi apabila kita bertolak dari pikiran dan sikap progresif, maka dalam keterbatasan sistem sekalipun, gagasan tersebut masih mungkin diwujudkan. Bismar Siregar telah memberikan contoh mengenai hal itu.

Untuk mengatasi dan keluar dari kegagalan peradilan pidana sekarang ini secara relatif cepat, kita hanya menggantungkan pada perubahan sikap dan mental para pelaku dalam sistem tersebut. Mengubah peraturan perundang-undangan dan sistem akan memakan waktu sangat lama, puluhan tahun. Pelaku-pelaku itu adalah pelaku yang progresif, yang tidak menjalankan peran dan tugasnya sebagai sekrup dari suatu mesin yang namanya penegakan hukum, melainkan sebagai manusia-manusia yang penuh dengan semangat dan kepedulian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun