Memang benar apabila ada orang mengatakan, teknologi adalah bagaikan monster yang tidak akan pernah berhenti dan menjadi semakin besar dan semakin besar, begitu ia dilahirkan di dunia. Sekalipun perumpamaannya adalah tidak terlalu keliru, tetapi dalam kenyataannya perumpamaan menjadi semakin besar adalah dengan cara menjadi semakin kecil dan kompak. Orang pun sekarang mulai berbicara tentang terjadinya revolusi yang kesekian kalinya, yaitu suatu revolusi mikro elektronik (King, 1983: 1-35).
Dalam waktu 30 tahun, barang-barang elektronik seperti komputer telah menjadi kuna. Komputer yang 30 tahun lalu berupa instalasi yang besar dan ruwet, dengan ribuan sambungan dan kontak, puluhan ribu tabung hampa udara dan jutaan resistor, sekarang telah menjadi 300.000 kali lebih kecil dengan kekuatan 10.000 kali lebih cepat. Harga sebuah transistor di Amerika Serikat yang pada tahun 1960 adalah $10, sekarang bisa diperoleh dalam bentuk integrated circuit yang disebut chip dengan harga 1 c. Kesimpulannya kemajuan dalam bidang mikro- elektronik telah menjadikan barang-barang elektronik menjadi jauh lebih kecil (sebesar cornflake), menjadi berlipat ganda kuat dan berlipat ganda murahnya.
Umumnya, sistem peradilan di Indonesia masih berjalan baik tahun 50-an, tetapi secara pelahan-lahan keadaan memburuk. Pompe, misalnya mengatakan, Ketua Mahkamah Agung Subekti tahun 70-an masih disebut sebagai squeaky clean.
Sebuah paduan suara yang melagukan keterpurukan penegakan hukum dapat dibaca mulai dari buku-buku berdasarkan pengamatan sederhana, sampai ke studi yang serius, seperti, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto (Asrun, 2004) dan The Indonesia Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (Pompe, 2005).
Cerita sukses hampir tidak ada, kecuali kalau orang bersedia agak bersusah-payah mencari bukti-bukti tentang hal tersebut, seperti dilakukan oleh Tim Bank Dunia, yang akhirnya menerbitkan laporannya dalam bentuk buku berjudul "Menciptakan Peluang Keadilan" (2005).
Gambaran hitam penegakan hukum dan peradilan pidana umumnya berkaitan dengan korupsi atau komodifikasi peradilan dan pengadilan. Pompe menyebut korupsi di pengadilan sebagai corruption hemorrhage dan sudah merambat dari bawah sampai ke atas. "The corruption hemorrhage in the lower courts inevitably affected the Supreme Court, but at least until 1974 it remained essentially clean. This purity is remarkable because during the 1950s and 60s Supreme Court judges were clearly affected the Court... This disciplined morale collapsed when SA became chairman" (Pompe, 2005). Buku Pompe yang diangkat dari disertasinya merupakan contoh yang sangat bagus tentang praksis penelitian yang disebut sebagai fact-based research.
Berbicara tentang atau membicarakan hukum sekarang juga berbicara tentang sebuah realitas baru, yaitu peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari materi substansial maupun prosedural. Maka jalan hukum menjadi bercabang dan keadaan tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi sendiri yang cukup berat.
Pada waktu seseorang datang ke pengadilan modern, misalnya, maka ia tidak dapat lagi memandang pengadilan sebagai tempat yang akan memberikan keadilan substansial kepadanya, sekalipun pengadilan disebut sebagai "rumah keadilan" (house of justice). Apabila ia berharap demikian, maka akan banyak dikecewakan. Sebabnya tidak lain adalah pengadilan sekarang sudah berubah tempat yang juga bertugas untuk menerapkan peraturan perundang-undangan. Hakim juga harus memutus berdasarkan undang-undang. Kekecewaan, misalnya, dituliskan oleh William T. Pizzi dalam bukunya, Trial without Truth (1999), atau Gerry Spence, The Death of Justice (1997) dan Witch Justice for None (1989). Tulisan-tulisan tersebut mengkritik tentang bagaimana hukum dijalankan di Amerika Serikat. Spence bahkan mengatakan, keadilan di Amerika Serikat hanyalah sebuah mitos. Kritik tersebut tidak hanya berlaku bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi penegakan hukum di negeri kita.
Ilmu Hukum sebagai Ilmu Perilaku (Behavioral Jurisprudence)
Dengan memasuki ranah perilaku dalam hukum, maka kita telah memperluas ranah ilmu hukum dengan melibatkan peran perilaku dalam kehidupan hukum, yang berarti pula melibatkan faktor dan peran manusia (Rahardjo, 1996, 2002).
Hukum adalah teks dan ia hanya dapat menjadi aktif melalui campur tangan manusia. Agar kita dapat menyaksikan kiprah hukum dalam kehidupan sehari-hari yang nyata, maka diperlukan mobilisasi hukum, melalui mobilisasi hukum ini hukum tekstual berubah menjadi aktual.