Mohon tunggu...
dani abdillah
dani abdillah Mohon Tunggu... profesional -

thank you for read my profile,,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bohong, Kamu Tukang Bohong

21 Mei 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

******
Jika melihat sisi cerita ini, saya tertarik membawanya ke arah yang lebih luas yaitu budaya berbohong baik dalam bentuk yang benar-benar telanjang maupun tersembunyi seperti aktivitas membajak, meniru maupun menyadur ulang yang terjadi di masyarakat kita. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum banyak produk kreatif anak negeri ini, baik lagu, film bahkan budaya kontemporer yang mengekor dan berkiblat pada suatu orang, instansi maupun aliran.

Baiklah, mungkin jika membicarakan budaya copy-paste hal ini tidak akan ada habisnya karena masing-masing dari kita punya pendapat sendiri. Mari kita kembali lagi ke tema berbohong yang ada di sekitar kita. Saya yakin banyak dari kita yang biasa berbohong, baik kepada teman, orang tua, bos, pacar, saudara bahkan pada diri sendiri untuk kepuasan sesaat.

Kita merasa bahwa permasalahan yang dihadapi bisa kita tutupi dengan kebohongan dan hasilnya kita harapkan akan baik. Tapi nyatanya, kebiasaan berbohong yang melembaga dalam pikiran kita dalam menuntaskan masalah justru akan merapuhkan diri kita sendiri, baik secara langsung maupun tidak, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Tidak percaya? Silahkan buktikan sendiri.

Menarik apa yang dituliskan oleh M. Scott Peck di bukunya “The Road Less Travelled”. Buku yang terbit tahun 1978 ini diterbitkan dan dialihbahasakan oleh Ufuk Press. Saya sendiri belum tuntas membacanya, tapi ketika baru selesai di bagian 1 saya ingin berbagi pandangan Scott mengenai bagaimana manusia bisa berdamai dengan permasalahan yang dihadapi kepada teman-teman sekalian.

“Lantaran meyakini bahwa perkembangan jiwa manusia merupakan tujuan dari eksistensi manusia, saya jelas-jelas mengabdi pada gagasan kemajuan. Adalah benar dan tepat bahwa sebagai manusia kita seharusnya berkembang maju secepat mungkin. Oleh karenanya, benar dan tepat pula bahwa kita seharusnya memanfaatkan jalan pintas yang sah untuk diri kita menuju perkembangan pribadi.

Bagaimanapun, kata kuncinya adalah “sah”. Umat manusia hampir selalu memiliki kecenderungan kuat untuk mengabaikan jalan pintas yang sah ketika harus menemui jalan pintas yang tidak sah.”
Saya sendiri sangat setuju dengan tudingan Scott di atas, karena saya sendiri juga pelaku yang menjalankan praktek jalan pintas tidak sah di saat jalan yang sah secara jelas terbentang. Mengapa kecenderungan berbohong begitu besar pada diri kita??

Inilah yang menjadi salah satu pertanyaan terbesar dalam dunia Psikologi dan terus dikaji berbagai kemungkinannya. Ini salah satu jawaban Scott dalam bukunya yang masih terus dicetak ulang itu,
“Alasan manusia berbohong adalah untuk menghindari rasa sakit akibat tantangan dan konsekuensinya. Kebohongan merupakan upaya untuk menghindari penderitaan logis dan karenanya merupakan akibat dari penyakit mental.”

Ada dua kata kunci dari jawaban tersebut, yaitu menghindar dari kenyataan dan penyakit mental. Upaya menghindar dari kenyataan sendiri jelas merupakan suatu penyakit mental, walaupun sekecil apapun pengingkaran tersebut. Adapun penyakit mental bisa dibagi dua, yaitu neurosis dan gangguan karakter. Orang yang mengidap neurosis terlalu banyak memikul tanggung jawab, sedangkan orang dengan gangguan karakter tidak cukup memikul tanggung jawab.

Lebih lanjut menurut Scott, ketika penderita neurosis dan gangguan karakter mengalami konflik dengan dunia, mereka secara otomatis mengasumsikan bahwa dunialah yang bersalah. Pembicaraan dengan orang neurosis mengindikasikan citra diri individu sebagai orang inferior, selalu tanpa karakter, dan menganggap telah membuat keputusan keliru (“saya seharusnya”, “saya harus”).

Di sisi lain, pembicaraan dengan penderita gangguan karakter menunjukkan citra diri orang yang tidak punya kuasa untuk memilih. Perilakunya benar-benar diatur oleh kekuatan eksternal yang berada di luar kontrolnya (“saya tidak bisa”, “saya tidak boleh”, “saya perlu”, “saya berhak”) .

Nampaknya kita memang harus berhenti membenci kehidupan hanya karena sejumlah pilihan yang menyakitkan yang pernah kita buat. Karena kita mengetahui bahwa keseluruhan hidup orang dewasa adalah serangkaian pilihan dan keputusan pribadi. Bila kita dapat menerima ini secara total, maka kita akan menjadi orang yang bebas, dan jika tidak maka akan selamanya merasa kita sebagai korban.
Mungkin pepatah yang mengatakan bahwa jika kita bukan bagian dari solusi, maka kita adalah bagian dari masalah benar adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun