“Oh,,itu buku yang bagus saya sudah membacanya, jika boleh saya bisa menceritakan isinya secara singkat,,”.
Dan voila’,,,cerita singkat di atas akan saya sampaikan, tapi dengan intonasi semangat sok tau ala pengamat novel, dan akan saya tambahkan dengan kalimat berikut;
“Tapi, walaupun cerita cintanya seperti sinetron, tapi tidak bagi Amazon.com yang mengkategorikan buku ini sebagai buku yang hebat menggambarkan situasi Indonesia tahun 1965 saat revolusi kudeta 30 September berlangsung,,” ujarku
Si wanita cantik tampak tidak tertarik dan mulai memandangi arah rak untuk mencari buku novel lain semacam “Twilight” maupun “Bumi Cinta”, atau semacam “Perahu Kertas”.
“Eeeh,,,tapi Roger Ebert memberikan dua jempol lho sama film-nya ini yang tahun 1982 diangkat ke layar lebar. Yang main itu ada Mel Gibson dan Sigourney Weaver lho,,itu cewek yang maen film Alien. Lagian walaupun ber-setting di Jakarta, Hotel Indonesia, Tanjung Priok, Puncak, Monas, Istana Presiden, Bandung tapi ternyata film ini dibuat di Filipina. Dan banyak pengamat lain yang merasa film ini termasuk film romantic terbaik dan yang menjadikan Mel Gibson dan Sigourney Weaver bisa menjadi seperti sekarang. Jangan lihat mereka dengan tampang saat ini, tapi bayangkan keduanya masih muda, wah chemistry keduannya dapet banget deh,,klo dibandingin sama Bella Swan-Edward Cullen di Twilight gak ada apa-apanya” ujarku buru-buru sambil berharap wanita cantik ini memberikan kesempatan kedua.
Wanita cantik yang tadinya sudah malas melihat isi buku ini sepertinya tertarik pada penjelasan anehku.
“Masa sih lebih bagus daripada kisah cintanya Twilight?” ujar wanita cantik itu.
“Beneran, suer deh,,lagian kita bisa membaca situasi Indonesia dari kacamata jurnalis asing yang saat itu ada di situasi tahun 1965,,kamu tahu khan tahun itu terjadinya Gerakan 30 September dan jadi awal turunnya pamor Soekarno,”
“Gtu yah??ah,,berat ya?pasti politik abis, males deh gw,,”
“Enggak kok,,justru disitu perbedaannya, novel ini bisa meramu keadaan tak menentu Indonesia yang disebut Soekarno dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 sebagai tahun “Vivere Pericoloso”, yakni The Year Of Living Dangerously, dengan kisah cinta jurnalis bernama Guy Hamilton dengan Jill Bryant. Juga mengenai idealisme Billy Kwan yang akhirnya membawanya kepada kematian dan itu semua bisa membuat kita mengerti mengenai kondisi sosial-ekonomi Indonesia tahun 65-an apalagi klo lo juga tonton film-nya”
“MMmm,,”
wanita cantik itu berpikir sambil melihat sampul buku terbitan Serambi itu dengan latar sketsa Soekarno sedang berpidato, ilustrasi gambar Jill Bryant, Guy Hamilton dan Billy Kwan, dan membaca resensi singkat bagian belakangnya yang lengkap dengan ilustrasi demonstrasi warga dan polisi.