Kadang saya merasa bangga karena sempat merasakan euforia "Reformasi" tahun 1998. Di saat peran mahasiswa kembali diagung-agungkan sebagai penyelamat bangsa, segala unsur masyarakat bersatu melawan kekuasaan pemerintah yang dianggap korup.
Menjadi saksi sejarah "lengser keprabon"nya Presiden RI saat itu Haji Muhammad Soeharto, hengkangnya istilah pembredelan pers hingga semangat nasionalisme yang kembali menyala-nyala dihembuskan oleh para aktivis-pengamat-masyarakat segala lapisan.
Tapi apa yang saya rasakan saat itu masih jauh dari apa yang mungkin dialami oleh masyarakat Indonesia di tahun 1942-47 yang bisa dianggap sebagai tahun lahirnya revolusi yang melahirkan kemerdekaan bagi bangsa ini.
Begitu pula dengan tahun 1961-1967 saat pemerintah nasionalis-heroik-militer Soekarno kembali bergejolak dengan aroma politik kekuasaan yang kental mengaduk-aduk tidak hanya sejarawan yang masih belum satu pendapat mengenai kudeta Gerakan 30 September, tapi juga kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin tercekik kemiskinan di tengah aura mistis Bung Karno yang menggelorakan semangat Berdiri Di Atas Kaki Sendiri (Berdikari).
Jika ada literatur yang bisa menggambarkan situasi Indonesia tahun 1942-47 dan 1961-67 sepertinya layak dijadikan koleksi. Seperti apa yang dilakukan oleh Bung Pramoedya, yang menciptakan buku tebal dengan 4 volume berisikan kronik artikel koran-koran berbahasa Indonesia tahun 1945-49. Maupun apa yang dilakukan oleh sekelompok pemuda pecinta buku dalam menuliskan Kronik Kebangkitan Bangsa Indonesia sejak tahun 1908-2008 dalam memperingati satu abad hari kebangkitan nasional.
Melihat itu semua sepertinya apa yang saya lakukan dalam merekam jejak sejarah bangsa ini masih belum ada apa-apanya. Hanya bisa mengguratkan kekesalan mengenai negeri ini. Tapi menceritakan apa yang saya alami saat ini mungkin ada baiknya untuk generasi mendatang dalam memahami pola pikir para pendahulunya,,*haha,,pembenaran logika*
Tak sengaja pula, di tengah bulan lalu saat berjalan-jalan di bagian novel, mata saya tertahan pada judul sebuah novel terjemahan "The Year Of Living Dangerously" karya Christopher Koch. Buku ini terinspirasi oleh saudara laki-laki Chris bernama Philips Koch yang sempat bekerja sebagai wartawan di Indonesia tahun 1965.
Cerita cinta dalam novel ini sebenarnya biasa saja, ada baiknya mungkin saya ceritakan secara singkat. Ada wartawan asal Australia bernama Guy Hamilton yang ditugaskan di Indonesia oleh kantor beritanya, sementara ia menggantikan posisi pendahulunya, Guy sama sekali asing di Indonesia dan tak kunjung berhasil dalam mendapatkan berita yang penting.
Saat itulah ia berkenalan dengan Billy Kwan, seorang kamerawan asal Australia berdarah Cina yang membantu Guy tidak hanya mendapatkan posisi sebagai jurnalis berbakat, karena berhasil mewawancarai D.N Aidit yang kala itu adalah Ketua Partai Komunis Indonesia, tapi juga mengenalkannya pada staff kedutaan besar Inggris di Indonesia bernama Jill Bryant.
Guy dan Jill saling jatuh cinta, lalu saat Guy sadar hubungan semakin serius dan Jill terus menunggunya untuk dilamar, Guy seakan tertawan karena ia merasa pernikahan hanyalah awal dari kemunduran karir seorang jurnalis macam dirinya. Lalu Guy mulai menghindari Jill, dan saat tahu apa yang ia lakukan salah, Guy mendapati dirinya dalam situasi yang rumit dan menjurus berbahaya. Tapi semuanya berakhir bahagia karena Guy dan Jill akhirnya bersatu lagi..the end,,fin,,Bagaimana??menarik??
Ya, memang tidak sesederhana itu ceritanya, tapi jika saya bertemu dengan seorang wanita cantik (tolong bayangkan perpaduan antara Dian Sastro-Sandra Dewi-Luna Maya-you name it all gorgeous women in history-lah) di toko buku sembari memegang dan melihat-lihat buku tersebut dan saat mata wanita tersebut mendapati mata saya memandangnya, saya hanya punya waktu kurang dari 5 detik untuk menjadi pengecut dengan memilih mengalihkan pandangan mata dan berpura-pura melihat arah lain, atau memandangi matanya (ingat, matanya bukan yang lain,,) sembari berkata