Mohon tunggu...
Nur Fadly Ryzqy
Nur Fadly Ryzqy Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Mencintai bangsa Indonesia dan segenap isi di dalamnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membahas Upaya Menunda Kiamat

18 Maret 2018   13:43 Diperbarui: 20 Maret 2018   13:33 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun belakangan ini anda pasti merasakan bahwa cuaca semakin panas saja. Apalagi anda yang berada di kota-kota besar di Indonesia seperti Batam, Jakarta, Surabaya dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Di awal tahun 2018 tidak hanya cuaca yang tidak menentu, tapi sudah tercatat beberapa musibah alam. Baru saja kita mendengar berita mengenai banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di daerah bogor. Kejadian tersebut juga berdampak dengan banjirnya Jakarta. 

Mengapa hal ini terjadi ?. satu-satunya jawaban yang masuk akal adalah perubahan iklim. Saat ini bumi memang sedang mengalami perubahan iklim secara masif. Dampaknya dari perubahan iklim ini bisa secara langsung dan tidak langsung kita rasakan. Jika anda pernah mendengar istilah "Coral Bleaching", mungkin itu adalah salah satu dampak tidak langsung dari perubahan iklim. Jika suhu rata-rata air laut naik maka akan berdampak pada kehidupan di Laut. Padahal, manusia sangat mengandalkan hasil laut, apalagi Indonesia dengan dua per tiga wilayahnya adalah lautan. 

                                                                                             

Di daratan dampak yang dapat kita raasakan secara langsung adalah suhu udara yang semakin memanas, jadwal panen dan perubahan iklim yang tidak menentu, serta anomali badai yang terjadi belakangan. Apakah anda mendengar berita mengenai kebakaran hutan yang terjadi di Sumatra, Kalimantan, Pulau Jawa dan Papua yang terjadi pada pertengahan 2017. Kita seharusnya bertanya-tanya, mengenai apa yang sedang terjadi di Bumi.

Lalu apa yang sudah pemerintah lakukan ?. Dan yang paling penting, apa yang sudah kita lakukan. Saat ini Indonesia adalah salah satu negara di Dunia yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Kita masih menggunakan batu bara dan minyak bumi sebagai bahan bakar penghasil listrik. Populasi kendaraan bermotor dengan bahan bakar minyak kita adalah salah satu yang terbesar di Asia tenggara. Pemerintah sepertinya tidak berencana mengurangi produksi Carbon kita. Bahkan hingga tahun 2019 pemerintah berencana menambah 13000 MW pembangkit listrik tenaga uap (batu bara) baru untuk Indonesia. Para kapitalis bisnis otomotif juga sepertinya berhasil melobby pemerintah dengan terbitnya aturan memperbolehkan mobil murah di Indonesia sejak 2013 silam. 

Padahal negara-negara lain tengah berbondong-bondong untuk meninggalkan bahan bakar fosil. Sebut saja Denmark yang saat ini 100% pembangkitnya adalah pembangkit listrik tenaga terbarukan (angin). Di sisi yang lain Jerman bahkan mengalami surplus listrik tenaga terbarukan. Tidak hanya negara-negara di Eropa, negara investor utama Indonesia saat ini yaitu China telah mengurangi konsumsi bahan bakar fosil secara besar-besaran dan terstruktur. Hal itu dimulai dengan pemangkasan ratusan pembangkit listrik batu bara di China. 

 Memang saat ini telah ada upaya untuk mengurangi karbon yang sudah terlanjur terlepas di Udara yaitu teknologi Ruang penyimpanan dan penangkapan karbon ( Carbon Capture & Storage ). Namun demikian, teknologi ini belum terbukti dapat mengurangi jumlah karbon di Udara. Hal ini dikarenakan kapasitas penangkapan karbon masih sangat kecil dibandingkan produksi karbon per tahun nya. 

Satu satunya upaya nyata yang harus kita lakukan sekarang adalah mendorong pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan pengurangan produksi karbon. Hal itu dapat dilakukan dari diri kita sendiri. Kita harus lebih bertanggung jawab dalam menggunakan listrik, dalam menggunakan kendaraan pribadi dan dengan apa yang kita makan dan mengurangi penggunaan plastik dan kertas. Bagaimana bisa menjadi pribadi yang bertanggungjawab dapat mengurangi produksi karbon ?. Perlu diketehui bahwasannya produksi karbon paling banyak berasal dari pembangkit listrik tenaga uap yang sangat diperlukan karena permintaan konsumsi daya listrik murah masih tinggi. Kendaraan bermotor adalah penyumbang 20% polusi udara di muka bumi. Industri pertanian, perkebunan dan peternakan yang tidak bertanggungjawab adalah penyumbang hingga 44 % emisi karbon di Indonesia. Plastik tidak hanya sulit diurai tapi dalam proses produksinya menghasilkan emisi karbon yang tinggi. Lain halnya kertas, industri kertas bertanggungjawab terhadap perusakan hutan, proses produksinya juga menghasilkan emisi karbon yang besar, selain limbah air beracun. 

Ke depan peran negara-negara di Asia pasifik, termasuk Indonesia dalam membatasi kenaikan suhu rata-rata hanya sampai 1,5 derajat celcius pada 2050 sangat diperlukan. Untuk itu sangat penting bagi masyarakat Indonesia untuk dapat mulai melakukan aksi nyata dan mulai mendorong pemerintah untuk mencanangkan kebijakan ramah lingkungan. Misi ini akan dibahas dalam pertemuan dunia di Bonn, Jerman melalui pertemuan UNFCCC ( United Nations Framework Convention on Climate Change ) pada bulan Mei 2018. upaya PBB dalam mengkampanyekan gerakan mengurangi emisi karbon untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata Bumi ini setidaknya dapat menunda bencana besar yang mungkin akan dihadapi manusia atau hari Penghakiman oleh alam (kiamat).

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun