Steve Jobs pernah berkata bahwa mengonsumsi LSD adalah salah satu dari "dua atau tiga hal terpenting" yang pernah dia lakukan dalam hidupnya.
Pernyataan Jobs ini tentu saja hal yang berani, di tengah status LSD sebagai zat yang divonis ilegal - terlarang untuk penggunaan medis dan rekreasi - sejak tahun 1968, dan masih berlaku hingga masa sekarang.
Lysergic acid diethylamide  yang umumnya dikenal sebagai LSD (dari bahasa Jerman Lysergsaure-dietilamid), adalah zat entheogen yang sangat kuat.Â
Sebelum kita lanjutkan pembahasan LSD, rasanya perlu pula menjelasakan  apa itu zat 'entheogen'. Istilah entheogen berasal dari dua kata Yunani Kuno  'entheos' dan 'genesthai'. Entheos jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris bermakna "full of the god, inspired, possessed" dan merupakan akar dari kata "antusiasme". Orang Yunani menggunakannya sebagai istilah pujian untuk puisi dan karya seni lainnya. Sementara itu, Genesthai berarti "to come into being".
Dengan demikian, zat entheogen dalam istilah medis adalah zat yang menyebabkan seseorang mengalami perasaan "terinspirasi" dalam aspek "spiritual", atau mungkin dapat pula dimaknai "mencapai keilahian di dalam pikiran".
Sejarah Singkat LSD
Sejak LSD disintesis untuk pertama kalinya oleh ahli kimia SwissDr. Albert Hofmann pada tahun 1938 di laboratorium Sandoz di Basel-Swiss, LSD menarik minat yang luar biasa dari mereka yang berkecimpung dalam bidang psikiatri pada 1950-an dan awal 1960-an.Â
Pada saat itu, pihak Sandoz mendistribusikan LSD kepada para peneliti dengan nama merek dagang Delysid dalam upaya menemukan penggunaan yang dapat menjadi pasar untuk itu.
Psikoterapi berbantuan LSD digunakan pada 1950-an dan awal 1960-an oleh psikiater seperti Humphry Osmond, yang memelopori penerapan LSD untuk terapi orang-orang yang ketergantungan alkohol, dengan hasil yang menjanjikan. Osmond menciptakan istilah "psikedelik" (manifestasi pikiran) sebagai istilah untuk LSD dan halusinogen yang ditimbulkannya.
Pada masa sebelum LSD dianggap barang Ilegal (sebelum tahun 1968), banyak tokoh besar yang diketahui menggunakan LSD sebagai pemicu daya kreativitas. Salah satu yang paling terkenal adalah Aldous Huxley - seorang penulis dan filsuf Inggris - yang dinominasikan sembilan kali untuk Hadiah Nobel Sastra.
Dalam banyak kesempatan, dan itu terekam dalam banyak tulisan, Aldous Huxley mengakui bahwa kecemerlangan karyanya tidak terlepas dari zat entheogen (seperti LSD) yang ia gunakan.Â
Huxley berpendapat bahwa pikiran manusia menyaring realitas dalam keadaan normal dan zat psikedelik menghilangkan filter tersebut, membuat penggunanya terpapar pada Pikiran Luas. Â
Huxley melihat zat psikedelik menawarkan kemungkinan mengalami keadaan kesadaran yang luar biasa kepada orang-orang yang tidak memiliki bakat pada pengalaman visioner (kemampuan yang umumnya dimiliki para mistikus, orang suci, dan seniman hebat). Baginya zat ini adalah kunci untuk membuka pintu persepsi baru.
Keyakinan kuat Huxley ini mendorong ia tidak menyebut zat seperti mescaline atau LSD sebagai "obat", karena "obat" dalam pandangannya memiliki arti yang merendahkan. Dia merasa penting secara semantik untuk membedakan jenis zat aktif dengan obat-obatan yang lain. Walau demikian, dalam novelnya 'Island' - yang menceritakan sebuah pulau utopis di mana ilmu pengetahuan, kearifan timur dan mistisisme bersatu dengan baik - ia menyebut zat psikedelik sebagai 'obat moksha'.
Siklus 30 tahun Budaya Psikedelik
Setelah ledakan zat psikedelik yang dimotori  LSD di era 60-an, yang melahirkan budaya psikedelik dengan Rock Psikedelik sebagai produk utama (yang mempengaruhi perkembangan genre musik yang muncul kemudian), di tahun 90-an kembali terjadi ledakan  zat psikedelik yang dimotori Pil Ekstasi. Dan musik, tetapi menjadi saluran utama ledakan tersebut. Pil Ekstasi membawa Era tahun 90-an ke dalam hentakan musik yang berdenyut, cahaya, keintiman menari di antara ratusan orang yang berpesta hingga berhari-hari.
Jadi, setelah ledakan di era 60-an dan 90-an, apakah akan ada ledakan zat psikedelik di era 2020-an ini?
Banyak yang menganggap kebangkitan zat psikedelik itu telah di mulai dengan cara yang tenang.Â
Selain Steve Jobs yang jelas-jelas mengaku sebagai penggunan LSD dan bahkan mengisyaratkan pentingnya LSD dalam keberhasilan kariernya, ada banyak orang-orang yang bekecimpung dalam dunia kreatif dan teknologi yang juga sudah menerapkan penggunaan LSD dalam cara yang lebih moderat atau katakanlah "mencari aman" agar tidak dijerat hukum.
Cara moderat itu diistilahkan Microdosing, di mana LSD digunakan  dalam takaran dosis mikro sekitar 5 mikrogram. Pemakainya kemudian kadang disebut 'Mikrodoser'.
Microdosing LSD bisa dikatakan telah menjadi trend atau budaya baru di antara mereka yang berkecimpung di perusahaan starup. Banyak pendiri starup di Silicon Valley misalnya, yang mengaku, penggunaan LSD dalam dosis mikro membantu mereka dalam meningkatkan produktivitas, kreativitas, dan fokus.Â
Dalam sebuah artikel berbahasa Inggris yang saya baca (yang membahas topik mengenai Microdosing), seorang Mikrodoser bernama Diane mengatakan: LSD adalah pertanda zaman. Dia mengatakan, LSD adalah zat yang sangat fleksibel, memperkuat apa pun yang terjadi di otak Anda. Kita semua terobsesi dengan produktivitas, dan itulah alasan kita menggunakannya.
Satu hal yang terbayang dalam pikiran saya saat ini adalah bahwa: Apa mungkin kecerdasan mesin yang didukung kecerdasan artifisial (AI), pada titik tertentu di masa depan, hanya bisa diatasi oleh kecerdasan otak manusia yang mengakses server alam semesta dengan bantuan stimulus dari zat seperti LSD? - Â AI-Robot Humanoid Vs Neuronaut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H