Sima Lingji sendiri tidak dihukum mati tapi status kebangsawanannya dicabut menjadi orang biasa. Naskah Zhou Shu mencatat, Sima Lingji kemudian menikah dengan gubernur Li Dan. Juga mencatat bahwa ia masih hidup di masa kaisar kedua dinasti Tang, Taizong (626-649 M).
Kemunculan Sima Lingji tiba-tiba di Luwu tentu menjadi tanda tanya, tetapi, itu dijelaskan dalam naskah Lontara Luwu bahwa ia menikah dengan Patianjala, Seorang Pangeran Suku laut Bajou. Tampaknya Pangeran pelaut inilah yang membawanya ke Luwu.
Bisa jadi, Pangeran Patianjala inilah yang disebut dalam kronik Cina sebagai gubernur Li Dan, karena di Bastem, di kaki gunung Sinaji, wilayah yang sudah saya hipotesiskan dalam artikel lain (baca di sini) sebagai pusat kedatuan Luwu di masa Simapurusiang, terdapat nama wilayah bernama Ledan.
Dan juga bisa jadi, keturunan Sima Lingji-lah yang pada masa sekarang menggunakan nama family "Linggi" (dari nama Lingji). Informasi yang saya dapatkan dari beberapa sumber mengatakan; rumpun 'Linggi' memang berasal dari wilayah bastem (perbatasan Luwu dan  Toraja).
Beberapa orang yang saya kenal menggunakan nama family 'Linggi', semuanya  tampak berwajah etnis Cina (tampaknya diwariskan oleh Sima Lingji).
Kedua
Ratu Sima atau Datu Simapurusiang adalah Chakravarti (penguasa perempuan) yang diramalkan Buddha Sakyamuni (Siddhartha Gautama).
Buddha Sakyamuni mengatakan bahwa akan hadir seorang Chakravarti perempuan yang akan memerintah Jambudvipa sebagai reinkarnasi Vimalaprabha.
Dalam buku Ancient India (1968: 166), Mahajan V.D, Seorang sejarawan terkenal dari India, menjelaskan bahwa pemerintahan penguasa seperti Chakravarti (Sanskrit: Chakravartin) disebut Sarvabhauma, yaitu sistem kekaisaran utama.Â
Sementara dalam kamus Sanskrit Monier-Williams, sArvabhauma kurang lebih didefinisikan sebagai "kekuasaan atas seluruh bumi", "kedaulatan atas seluruh bumi", atau "kerajaan universal". Kata 'bhauma' sendiri bermakna: bumi, terestrial, duniawi, dan beberapa bentuk sinonim lainnya.Â
Setidaknya ada dua hal yang melekat pada kesimpulan kedua ini yang penting untuk mendapat perhatian, yaitu: etimologi kata 'Chakravarti' dan kata 'Sarvabhauma'.
salah satu tanda seorang cakravarti sebagai penguasa adalah Chhatra atau 'payung'. Ini sejalan dengan pendapat DG Sircar dalam "Political Ideas in the Puranas" (1977: 69), bahwa: kata cakra- vartin berarti sebuah kekaisaran... eka-Chatra secara harfiah berarti; seorang diri menikmati payung atau lencana kedaulatan.