Dalam Shaivisme, Karttikeya atau Kumara dinarasikan sebagai dewa tingkat tinggi. Dibandingkan dengan dewa-dewa lain, posisinya sangatlah penting. Bahkan, Indra yang berusaha berperang dengannya pun dapat dikalahkan.Â
Kumara menerima gelar Jenderal perang dari pasukan dewa dan akan menjalani takdirnya untuk membunuh Iblis Taraka.
Demikianlah, Nama "Kumara" dan juga sebutan "pangeran perang" dalam wangsit Jayabaya, merujuk pada "Kumara sang dewa perang" yang akan memimpin pasukan bangsa manusia, bangsa jin, dan semua kekuatan kosmis yang berdiri di sisi kebenaran".
Jadi, ungkapan "Kumara prewangan" atau "pemuda prewangan" atau secara harafiah berarti "dukun muda" (dalam bait 164) yang dapat memerintah bangsa Jin, tidak dapat serta merta dinilai sebagai suatu hal yang buruk.
Karena secara jelas dalam kalimat bait 164 tersebut dinyatakan bahwa: "Â (...) seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu / membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda / tajamnya tritunggal nan suci / benar, tegak lurus, jujur / (...)Â "
Artinya, makhluk yang ada di barisan Satria Piningit atau Ratu Adil adalah makhluk halus yang berdiri di sisi kebenaran. Hal ini ditegaskan pula dalam bait 162 dalam frase "berebut garis yang benar"
"(...) banyak suara aneh tanpa rupa / pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar / tak kelihatan, tak berbentuk (...)"
Demikian "narasi pengantar" perang akhir zaman ini saya sampaikan, agar dicermati sebaik mungkin... hehehe ...saya ketawa tapi saya serius. Salam.
[Artikel ini sebelumnya telah tayang dalam blog saya: https://fadlybahari.id/]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H