Jadi, jika ditinjau menurut maknanya dalam bahasa Sanskrit, Kumara dan Skanda, sama-sama berarti "pangeran".
Hanya saja makna "anak laki-laki / pemuda" untuk kata Kumara tidak kita temukan ada untuk kata Skanda. Begitu juga sebalikanya, makna "penyerang" untuk kata Skanda, tidak kita temukan dalam makna kata Kumara.
Makna "Kumara" dalam Natyashastra (teater dan dramaturgi)
Kumara mengacu pada "pangeran", yang berjenggot (smasru) -- yang merepresentasikan "vicitra" atau "kecerdasan di tingkat terbaik / apa yang disajikan terlihat sangat tidak biasa / sangat aneh / dan menimbulkan rasa penasaran karena keluarbiasaanya".
Dalam Nayasastra bab 35, Kumara yang mengacu pada peran "pangeran" didefinisikan sebagai, "aktor dari jenis terbaik yang memiliki mata dan alis yang indah, dahi, hidung, bibir, pipi, wajah, leher, dan setiap anggota tubuh lainnya terlihat indah, memiliki penampilan yang menyenangkan, gaya berjalan yang bermartabat, tidak gemuk atau kurus, berperilaku baik, bijaksana dan teguh secara kodrati.
"Kumara" menurut Lontar Tutur Kumara Tattwa (tradisi Bali)
Kata Kumara dalam Lontar Tutut Kumara Tattwa merujuk pada Dewa Kumara, selain itu Kumara dalam teks ini dapat pula dimaknai sebagai: suatu kehidupan yang tidak mengalami perkembangan atau tetap menjadi anak-anak.
Menurut apa yang disampaikan dalam buku Pendidikan Agama Hindu dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa (Oleh: I Putu Febriyasa Suryanan), Lontar Tutur Kumara Tattwa bersumber dari teks Siwagama, khususnya dari episode kelahiran Bhatara Kala.
Episode ini bercerita tentang ketika Bhatara Kala lahir, Bhatara Siwa memberikan anugerah kepada Bhatara Kala, yaitu boleh memangsa setiap orang yang lahir bertepatan dengan wuku atau Tumpek Wayang. Kemudian tanpa terduga lahir Bhatara Kumara yang bertepatan dengan Tumpek Wayang (yang berarti bahwa Bhatara Kala boleh memangsa Bhatara Kumara).
Ketika Bhatara Kala hendak memangsa Bhatara Kumara, muncul Bhatara Guru (Dewa Siwa) yang memberi nasihat, menyarankan kepada Bhatara Kala untuk menangguhkan keinginannya memangsa Bhatara Kumara karena usianya masih kecil, dan menunggu Bhatara Kumara hingga tumbuh dewasa. Dalam masa penantian tersebut Bhatara Guru menitahkan Bhatara Kala turun ke dunia. Bhatara Kala menerima saran tersebut.
Bhatara Kumara sendiri tetap tinggal di alam para dewa yang, dimanfaatkan Bhatara Guru untuk mengutuk Bhatara Kumara agar tidak dapat tumbuh dewasa sehingga, ia tidak dimangsa Bhatara Kala.
Menurut I Putu Febriyasa Suryanan, Cerita teks Siwagama di atas kemudian dikembangkan ke dalam Lontara Tutur Kumara Tattwa -- di mana Bhatara Kumara dikisahkan dalam representasinya sebagai seorang "gembala". Dalam perjalanannya, Bhatara Kumara akan sadar atas hakikat dirinya yang terikat akan sumpah Bhatara Guru bahwa ia tidak akan pernah tumbuh dewasa (akan menjadi musuh Bhatara Kala), dan bahwa dirinya terikat oleh eksistensi dirinya sebagai gembala
Dengan menimbang bahwa Kumara yang disebut Prabu Jayabaya dalam wangsitnya merujuk pada Satria Piningit atau Ratu Adil, dan di sisi lain berkorelasi pula dengan sosok Budak Angon yang disebutkan dalam wangsit Prabu Siliwangi, maka, Saya pribadi melihat ada kemungkinan bahwa, dua hal yang ditakdirkan pada diri Kumara dalam narasi Lontara tutur Kumara Tattwa, yaitu sebagai: seorang yang tidak pernah tumbuh dewasa, dan sebagai sosok gembala -- nampaknya, memiliki keterkaitan dengan Budak Angon atau Anak Gembala dalam wangsit Prabu Siliwangi.
Jadi, sangat mungkin bahwa aspek "pemuda" yang melekat pada sosok Satria Piningit atau Ratu Adil dalam wangsit Jayabaya, Budak Angon (Anak Gembala) dalam wangsit Siliwangi, Pangeran Cahaya dalam naskah gulungan laut mati, Maitreya dalam tradisi Buddha, Kalki dalam tradisi Hindu, hingga Al Mahdi dalam tradisi Islam, diilustrasikan sebagai Bhatara Kumara yang dikutuk tidak pernah menjadi dewasa oleh Bhatara Guru dalam teks Siwagama ataupun Lontar Tutur Kumara Tattwa.