Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asal Usul Nama "Mihrab" dan "Cella", Tempat Paling Sakral di Dalam Kuil

23 Februari 2021   07:48 Diperbarui: 23 Februari 2021   09:52 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata 'tivu' artinya "pulau" dalam bahasa Tamil, sementara kata 'Cera' dianggap M. Ramachandran merujuk pada Dinasti Chera yang berkuasa di India Selatan pada masa kuno. Tapi, yang menarik karena dalam bahasa lokal di sulawesi selatan, 'cera' dapat berarti "darah" dan lebih jauh dapat pula dimaknai "warna merah". Lagi pula, antara bentuk 'cera' dan 'cella' dapat diduga ada terjadi perubahan fonetis antara r dan l. Kata 'Cella' sendiri berarti "merah" dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Jadi, Cerantivu atau pulau Cera dapat dikatakan bermakna sebagai "pulau merah".

Demikianlah, dari penjelasan di atas, dapat kita lihat jika kata 'cella' merujuk pada nama sebuah pulau, sementara kata 'shrine' dapat diduga merupakan bentuk derivasi dari kata "seren"-dip, yang juga merupakan nama pulau, yaitu nama pulau Sulawesi di masa kuno. 

***

Interpretasi filosofis yang dapat dibangun dalam mencermati fenomena sebutan "kuil" (cella, naos, dan shrine) terlahir dari makna "pulau" atau pun "kapal" pada masa kuno, adalah bahwa, bisa jadi orang di masa kuno melihat kehidupan di dunia ini analoginya seperti berada dalam sebuah lautan samudera yang luas. Kehidupan yang ada di luar kuil (di luar "pulau atau kapal") adalah kehidupan yang liar layaknya gelombang laut yang ganas. Sementara kehidupan di dalam kuil terutama di dalam 'cella' adalah simbolisasi inti kesadaran yang merupakan sumber ketenangan hidup.

Konsep tersebut kuat dugaan saya terlahir dari bangsa Phoenicia (Fenesia), sebuah bangsa berjiwa bahari yang dalam sejarah tercatat memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan terbukti memberi sumbangsih ilmu pengetahuan dan ajaran kehidupan keagamaan yang signifikan dalam perkembangan peradaban manusia. Hal ini telah saya bahas khusus dalam artikel berjudul: Tamsil Kebaharian dalam Dimensi Keagamaan.

Dalam artikel tersebut saya mengulas paparan Prof. Vladimir Braginsky dan Prof. Abdul Hadi W.M. yang mengungkap dominannya simbol tentang laut, kapal atau perahu, dan segala hal yang terkait dengan laut dan perahu, digunakan dalam puisi sufi Melayu untuk menggambarkan perjalanan ruhani atau pengalaman mistik. 

Kata "merah" yang diserap untuk makna "pulau", "negeri", ataupun "kapal" dalam beberapa tradisi suku bangsa di dunia.

Entah apa yang merasuki beberapa bangsa di dunia sehingga mereka memilih menggunakan kata-kata yang sesungguhnya "bermakna merah" untuk menyebut kata "pulau, negeri, ataupun kapal" dalam perbendaharaan bahasa mereka.

Ini misalnya tersaji pada sebutan kata pulau dalam bahasa Icelandic yaitu "eyja" yang pada dasarnya bermakna "merah" dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Kata 'eja' yang berarti "merah" dapat kita temukan digunakan PSM dalam julukannya yaitu "Juku Eja" yang berarti: Ikan Merah.

'eyja' yang berarti 'pulau' dalam bahasa Icelandic (dokpri) 
'eyja' yang berarti 'pulau' dalam bahasa Icelandic (dokpri) 

 

Dalam bahasa Lydia (bahasa yang digunakan antara tahun 700-200 SM di Anatolia barat atau Turki pada hari ini) kata 'Bira' berarti: Rumah, yang kemungkinannya dapat pula bermakna 'negeri'. Kata 'Bira' dapat diduga terkait dengan kata 'Mira' yang berarti "merah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun