Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asal Usul Nama "Mihrab" dan "Cella", Tempat Paling Sakral di Dalam Kuil

23 Februari 2021   07:48 Diperbarui: 23 Februari 2021   09:52 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
'eyja' yang berarti 'pulau' dalam bahasa Icelandic (dokpri) 

(dokpri)
(dokpri)

Di sisi lain, juga dapat diduga bahwa kata 'naos' merupakan derivasi dari kata Yunani 'nesos', 'nisos', atau 'nisi' yang berarti "pulau". Ini terkait pula dengan kata 'nusa' yang dalam bahasa Indonesia juga berarti pulau.

Mengapa kata 'naos' memiliki makna ganda, dapat berarti "kapal" dapat pula berarti "pulau"? hal ini ada keterkaitan dengan pemahaman orang di masa kuno bahwa, terkadang mereka melihat kapal sebagai sebuah pulau (tanah atau negeri) yang terbawa angin di lautan. Hal ini dapat kita cermati dalam ungkapan melegenda "land below the wind" (tanah dibawa/terbawa angin).

Dalam kesempatan ini saya ingin pula memberi revisi pemaknaan ungkapan "land below the wind", yaitu ungkapan yang akrab diberikan pada pelaut dari Nusantara di wilayah perairan laut Eritrea pada masa kuno. Bahwa makna kalimat tersebut bukan "tanah di bawah angin" tetapi "tanah dibawa angin" atau "tanah terbawa angin". Dalam kasus ini, penggunaan bentuk 'di' yang keliru pada 'di bawah' dan 'dibawa' menghasilkan perbedaan makna yang besar.

Jadi, orang-orang di wilayah Eritrea pada saat itu, melihat kapal yang dilayari pelaut-pelaut dari Nusantara bagaikan melihat tanah atau negeri yang terbawa angin. 

Kesan ini timbul karena menyaksikan segala hal yang umumnya dibutuhkan orang-orang yang bermukim di daratan, terbawa serta di atas kapal-kapal pelaut dari nusantara. Mereka tidak saja membawa bahan makanan tapi juga hewan ternak seperti ayam. Kehidupan orang laut yang demikian tentu merupakan hal yang   "masif bin epic" sehingga menimbulkan kesan mendalam bagi orang-orang yang umum hidup di daratan. Dari kesan inilah kemudian muncul ungkapan "land below the wind" (negeri terbawa angin).

Di sisi lain, tinjauan perubahan fonetis antara kata 'pulau' dan 'perahu' (di mana antara fonetis r dan l kita ketahui seringkali bertukar satu sama lain) juga pada dasarnya menunjukkan keterkaitan; pulau = purau = perahu.

Adapun mengenai sebutan "Cella" dan "shrine" saya melihat ada kemungkinan merujuk pada nama sebuah pulau yang dikenal pada masa lampau.

Dalam tulisan berjudul  "Lombok Merah (Cella Passe), Nama Kuno Pulau Sulawesi"  telah saya bahas hipotesis mengenai nama "lombok merah" sebagai sebutan kuno bagi pulau Sulawesi. Nama ini terekam pada pupuh 14 kakawin Nagara Kretagama, berikut ini kutipannya:

"Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk, Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk."

Bantayan dalam kalimat tersebut merujuk pada kabupaten Bantaeng, sementara Luwuk merujuk pada wilayah tana Luwu yang kini terdiri dari empat daerah tingkat II (Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur). 

Selama ini, keberadaan nama "sasak" dalam kalimat pupuh 14 telah mendasari spekulasi sebagian kalangan bahwa pulau gurun merujuk pada wilayah Nusa Tenggara tetapi, sebenarnya di wilayah tana Luwu terdapat pula daerah bernama Sassa' yang hingga kini masih dikenal sebagai salah satu daerah di Luwu yang sangat kental dengan tradisi kunonya.

Di Desa Sassa' terdapat Suku Limolang yang percaya bahwa mereka berbicara bahasa To Manurung (To Manurung= orang yang tiba-tiba muncul, biasanya dianggap diturunkan dari langit), yang berfungsi sebagai sejarah lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi di komunitas Sassa'. 

Hal ini sebagaimana yang diungkap dalam buku "The Dynamics of Decentralization in the Forestry Sector in South Sulawesi" disusun oleh Putu Oka Ngakan, Dkk (Bogor: Center for International Forestry Research, 2005: hlm. 56) . Berikut ini kutipannya: "...The Limolang tribe, who live in Sassa village, believe they speak the To Manurung language, which functions as aspoken history passed from generation to generation in Sassa communities. Balaelo is the term used in Sassa for the leader of a Limolang tribe." 

Lalu, dalam tulisan "Pulau Serendip Asli, Letak Gua Adam Sesungguhnya" telah saya bahas jika sebutan pulau serendip atau ceylon besar kemungkinan merujuk pada pulau Sulawesi pula.

Hal yang paling menguatkan untuk hipotesis bahwa sebutan ceylon ataupun serendip sesungguhnya merujuk pada pulau Sulawesi, terdapat pada etimologi nama pulau ceylon atau Serendip. Hal ini merujuk pada Pendapat M. Ramachandran dalam bukunya "The spring of the Indus civilisation" ((1991 :34) yang mengatakan bahwa Pada masa lalu Srilanka dikenal sebagai "Cerantivu" (bentuk awal dari serendip) yang artinya "pulau Cera". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun