Dari sudut pandang arkeologis, sisa-sisa pewarna yang ditemukan di pantai timur Laut Mediterania, membuktikan bahwa industri pewarna ungu sudah ada di sana sejak zaman kuno. Pada tahun 1934, Franois Thureau-Dangin (1872-1944), arkeolog dan epigrafis Prancis menerbitkan teks runcing dari Ugarit, yang mengabarkan bahwa sekitar 3500 tahun yang lalu, seorang pedagang lokal mencatat tagihan sejumlah wol ungu kepada beberapa orang yang berhutang kepadanya. [Nina Jidejian, Tyr a travers les ages, 1996: 279]
Umumnya para sejarawan berpendapat bahwa alasan warna ungu memiliki reputasi agung di masa kuno, terutama disebabkan oleh kelangkaan jenis kerang laut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pewarna ungu, sekaligus proses pengolahaannya yang membutuhkan waktu lama.Â
Untuk memanen Bolinus brandaris (jenis kerang yang digunakan), pembuat pewarna harus mengekstraksi lendir ungu dan memaparkannya di bawah sinar matahari dalam tempo waktu yang tepat. Diperkirakan bahwa Butuh sebanyak 250.000 kerang ini untuk menghasilkan hanya satu ons pewarna yang dapat digunakan.
Bisa dikatakan pakaian berkain ungu pada saat itu adalah pakaian yang menggunakan bahan pewarna yang harganya sangat mahal --- dimana satu pon wol ungu harganya lebih mahal daripada penghasilan yang diperoleh orang kebanyakan dalam setahun. Inilah yang kemudian secara alami menjadikan kain ungu sebagai identitas kaum kaya dan  berkuasa pada masa itu.Â
Sebutan "Ungu" dalam beberapa bahasa kuno
Dengan reputasi warna ungu yang demikian istimewa pada masa kuno, tentunya adalah hal yang menarik untuk mencari tahu sebutan warna ungu dalam berbagai bahasa yang digunakan bangsa besar di masa tersebut.Â
Maximillien de Lafayette Dalam bukunya "Etymology, Philology and Comparative Dictionary of Synonyms in 22 Dead and Ancient Language", Menunjukkan bahwa dalam bahasa Aram dan Suryani (Aramaic/Syriac) warna ungu disebut 'banawasha'. Sinonim dengan kata 'Argwonoyo' (juga dalam bahasa Aram dan Suryani), 'Urjanu' dalam bahasa Fenesia (Phoenicia), 'Argowan', 'Ourjouwan' dalam bahasa Arab (Arabic), merupakan derivasi dari bahasa Fenesia (Phoenicia): Urjanu dan Urr'jawa'nu.
Dengan reputasi Maximillien de Lafayette yang dikenal banyak mengeluarkan karya-karya tulis yang sifatnya pseudosains seperti "penelitian UFO", astronot kuno, dan dewa Anunnaki yang dianggap sebagai alien yang datang ke bumi di masa kuno, saya berupaya mencari tahu kebenaran dari komparasi bahasa tersebut pada sumber-sumber lainnya.
Hasilnya menarik. Karena nampaknya uraian tersebut ada benarnya.Â
Dalam www.jewishencyclopedia.com diurai bahwa ungu-merah dalam bahasa Ibrani disebut "argaman", sementara dalam bahasa Aram "argewan".
Ungu-biru atau ungu dalam bahasa Ibrani disebut "tekelet", sementara dalam bahasa Aram "tikla". Yang menarik, kata tikala ini mirip dengan nama 'patikala' (sebutan kecombrang dalam bahasa Tae di Sulawesi) yang memang berwarna ungu.