Dalam tulisan sebelumnya "Asal Usul Sebutan "Cella" untuk Ruang Paling Sakral di Dalam Kuil Bangsa Kuno" telah saya ulas dugaan asal-usul kata 'cella', yaitu bahwa ia terkait dengan sebutan pulau Sulawesi di masa lalu.
Di akhir pembahasan tersebut, saya menyatakan bahwa digunakannya nama 'cella' untuk ruangan paling suci dan sakral pada kuil-kuil di masa kuno, bisa dikatakan sebagai suatu wujud simbolis keberadaan tanah suci (tempat di mana dewa mereka bersemayam) dalam bangunan kuil mereka.Â
Demikianlah, jika pada bangunan-bangunan suci di masa lalu, tanah suci dikenang dengan sebutan cella, maka dalam teks-teks suci ataupun cerita rakyat (folklore) 'tanah suci' dikenang dalam banyak sebutan.Â
Bahkan digelari tanah seribu nama. Kadang disebut 'Tanah Terlarang', 'Tanah Air Putih', 'Tanah Api Hidup', 'Tanah Roh Bercahaya', 'Tanah para Dewa', ataupun 'Tanah Keajaiban'.Â
Orang Hindu menyebutnya Aryavartha (Tanah Yang Layak); orang Cina mengenalnya sebagai Hsi Tien, Tetapi sebutan paling terkenalnya adalah Shambala, dan Shangri-la, yang dalam bahasa Tibet disebut bde byung (bunyi penyebutan: 'De-jung') yang berarti "Sumber kebahagiaan."Â
Jika melalui penelusuran kata cella ditemukan bahwa tanah suci yang dimaksud merujuk pada pulau Sulawesi, pertanyaan selanjutnya, di manakah letak spesifiknya?
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta yang telah saya ulas dalam tulisan "Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong" dan "Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong" maka, kuat dugaan saya bahwa letak spesifik tanah suci berada di pegunungan Latimojong.
Nama tanah suci dalam bahasa Tibet, bde byung (bunyi penyebutan: 'De-jung') yang berarti "Sumber kebahagiaan," dapat kita lihat bahwa secara fonetis bentuk 'jung' memiliki keterkaitan dengan suku kata '-jong' pada nama la-ti-mo-jong.Â
Selain itu, bde byung atau de-jung yang berarti "Sumber kebahagiaan," bisa dikatakan persis sama dengan makna puncak Rante Mario (puncak tertinggi pegunungan Latimojong) yaitu: "tanah kebahagiaan"(rante= tanah/negeri; mario= bahagia/kebahagiaan).
Dugaan keidentikan bentuk '-jong' pada nama 'la-ti-mo-jong' dengan bentuk 'jung' (dalam sebutan tibet) yang diurai di atas, tentu saja membuka harapan dapat terungkapnya makna nama 'Latimojong', yang selama ini faktanya memang tidak ada satu pun orang di Sulawesi Selatan yang dapat memberi jawaban pasti.
Dengan pertimbangan bahwa bentuk 'jong' telah ditemukan maknanya (sebagaiman telah disebutkan di atas), maka tersisa bentuk la-ti-mo yang mesti dicari maknanya.
Saya menduga jika suku kata 'mo' pada dasarnya adalah bentuk imbuhan seperti 'me-kan' dalam bahasa Indonesia, yang berfungsi untuk mengubah menjadi kata kerja aktif transitif. Jadi jika 'jong' bermakna 'bahagia', maka 'mo-jong' berarti: membahagiakan.
Selanjutnya, untuk bentuk La-ti, saya menduga ada kemungkinan terkait dengan 'lethe' (bunyi penyebutan: lithi), yang dalam mitologi Yunani, disebut sebagai salah satu dari lima sungai dunia bawah Hades.Â
Menurut Statius, penyair Romawi dari abad ke-1, Lethe berbatasan dengan Elysium, yaitu tempat peristirahatan terakhir bagi orang-orang saleh, para pahlawan, dan tokoh-tokoh besar di masa lalu.
Dikisahkan bahwa sungai Lethe mengalir di sekitar gua Hypnos dan melalui Dunia Bawah dimana semua orang yang minum airnya akan mengalami kelupaan total. Dalam bahasa Yunani Klasik, kata lethe secara harfiah berarti "dilupakan", "kelupaan", atau "penyembunyian".Â
Dalam kepercayaan orang Yunani kuno, jiwa orang yang telah meninggal dunia akan meminum air dari sungai Lethe sebelum bereinkarnasi, sehingga mereka tidak akan mengingat kehidupan masa lalu mereka.
Dengan demikian, lati-mojong dapat dimaknai: "kelupaan yang membahagiakan". Hal ini setidaknya sejalan dengan makna bde byung' (De-jung), yakni "sumber kebahagiaan".Â
Pemahaman filosofisnya saya pikir cukup menarik dan terlihat memiliki keterkaitan makna satu sama lain, yaitu bahwa "kelupaan total" jelas adalah "sumber kebahagiaan".Â
Pemahaman ini bisa dikatakan sejalan dengan konsep Budhha dalam mencapai kebahagiaan yaitu tidak mengajarkan jalan menuju kebahagiaan, tetapi lebih kepada mengarahkan upaya menghilangkan penyebab-penyebab ketidakbahagiaan atau kesengsaraan dalam hidup (hasrat, keinginan, harapan, dan semacamnya).Â
Upaya "menghilangkan" tersebut tentu dapat kita lihat sama nilainya dengan upaya "melupakan". Jadi, "kelupaan total" terhadap hasrat, keinginan, dan harapan, yang merupakan penyebab kemalangan dalam hidup, jelas dapat dimaknai sebagai pencapaian kebahagiaan yang sempurna.
Demikianlah identifikasi gunung Latimojong sebagai 'tanah suci' yang banyak dikisahkan dalam riwayat kuno, dan telah menjadi target pencarian selama ribuan tahun.Â
Pada bulan Juni hingga Agustus tahun 2019 kemarin, saya telah melakukan survei ke wilayah ini, untuk membuka jalur pendakian dari arah timur (dari wilayah Luwu), yang pada dasarnya saya akui merupakan observasi terselubung saya untuk mencermati wilayah tersebut... :) (Survei Jalur Timur Gunung Latimojong via Desa Tolajuk, Kabupaten Luwu).Â
Insya Allah, bulan Juli atau Agustus tahun ini saya akan kembali survei ke sana.Â
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 17 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H