Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjejaki Pemikiran yang Mendasari Lahirnya Simbol Swastika

14 Februari 2020   16:33 Diperbarui: 15 Februari 2020   13:15 1937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti halnya kata yang mengalami morfologi dari bentuk dan makna paling awal ke bentuk kata baru dengan disertai pergeseran makna, maka demikian pula halnya yang terjadi pada simbol Swastika.

Sun Cross yang menjadi dasar dari konsep simbol Swastika, pada dasarnya merupakan konsep pemaknaan orang di masa kuno tentang waktu. 

Bentuk lingkaran pada Sun Cross merupakan simbolisasi garis edar matahari, makanya, dalam pemahaman barat, Sun Cross biasa juga disebut  wheel cross  atau "lintas surya". 

Sementara itu, simbol salib (+),  merupakan atribut simbolisasi dari hal-hal yang ditimbulkan oleh gerak edar matahari. Dimana, garis horisonal dalam lingkaran merupakan garis hayal yang menjadi batas dunia atas (dunia siang hari) dengan dunia bawah (dunia malam hari). 

Dari pemahaman inilah nantinya berkembang konsep kosmologi dualistik - dunia atas sebagai dunia tempat orang hidup, dan dunia bawah sebagai dunia orang mati.

Adapun garis vertikal dalam lingkaran, juga merupakan garis hayal tentang adanya titik puncak gerak edar matahari pada siang hari (titik zenith), garis hayal ini sekaligus menjadi penegas batas antara zona wilayah gerak naik atau terbitnya matahari (timur) dengan zona wilayah gerak turun atau terbenamnya matahari (barat).

Sebagai ilustrasi, lihat gambar berikut ini...

dokpri
dokpri

Asumsi logis yang dapat dibangun terkait hal ini,  adalah bahwa, ada kemungkinan setelah melihat benda langit seperti matahari dan bulan yang semunya berbentuk lingkaran, orang di masa kuno terinspirasi untuk mencari bentuk yang sama di sekitar mereka.

Dan itu mereka temukan pada bentuk buah jeruk atau apel, atau apa pun benda lainnya yang "berbentuk lingkaran ketika dilihat dari satu arah, dan berwujud bola ketika benda tersebut dilihat dari berbagai sisi". 

Dari menyadari hal ini, timbullah kesimpulan mereka bahwa bumi yang mereka tempat juga berbentuk bola.

Dengan mengetahui bentuk bumi yang mereka tinggali, dengan mudah mereka mengasumsikan bahwa jalur gerak matahari (dari mulai terbit, tenggelam, lalu kembali terbit) tentulah membentuk lingkaran. Asumsi tersebut pada hari ini, dalam ilmu fisika dikenal sebagai "gerak semu harian matahari". 

Dari mengetahui hal ini, juga timbul pemahaman mereka bahwa ketika matahari sedang menyinari wilayah mereka (siang hari), dalam waktu bersamaan, di bagian bumi yang lain mengalami gelap (malam hari).

Dari pemahaman-pemahaman inilah timbul gagasan orang di masa kuno untuk merekam capaian berpikir itu dalam bentuk simbol Sun Cross atau Wheel Cross (Lintas Surya).

Sebagai bahan perbandingan, silahkan mencermati teori evolusi Swastika yang disajikan James Churchward dalam bukunya The Sacred Symbols of Mu, yang terbit pada tahun 1933, berikut ini....

Dicapture dari buku The Sacred Symbols of Mu (1933, hlm 55), karya James Churchward (dokpri)
Dicapture dari buku The Sacred Symbols of Mu (1933, hlm 55), karya James Churchward (dokpri)

Relief roda matahari yang berada pada kuil Matahari konark di India, yang menggambarkan pembagian waktu (upload.wikimedia.org)
Relief roda matahari yang berada pada kuil Matahari konark di India, yang menggambarkan pembagian waktu (upload.wikimedia.org)

Sebagaimana setiap hasil capaian berpikir yang senantiasa dihargai penemunya, demikian pulalah simbol Sun Cross juga mendapatkan penghargaan yang tinggi dari orang-orang di masa kuno. Ekspresi penghargaan semacam ini setidaknya hingga hari ini tetap dapat kita temukan dalam prilaku manusia.

Dengan menempati status penghargaan yang tinggi, dengan sendirinya Sun Cross menjadi objek yang terjaga keberadaannya. Hingga dalam perkembangan selanjutnya, pada titik di mana orang di masa kuno jenuh dengan tampilan Sun Cross yang berbentuk lingkaran, mendorong mereka untuk memodifikasinya ke bentuk kotak atau Square.

Lalu, ketika tiba pada masa dimana daya imajinasi mereka telah jauh lebih berkembang, akhirnya tercetus ide mereka untuk lebih mengembangkan simbol Sun Cross Square dengan memodifikasi bentuk tanpa menghilangkan bagian-bagiannya. Solusinya, yaitu dengan membuka sisi luar Sun Cross Square sekitar 45 derajat dengan titik sumbu putar berada di ujung garis vertikal dan horisontal. Hasilnya, lahirlah simbol Swastika. (lihat gambar di bawah)

Perubahan bentuk dari Sun Cros Square ke Swastika (dokpri)
Perubahan bentuk dari Sun Cros Square ke Swastika (dokpri)

Swastika sebagai simbolisasi kosmologi  empat unsur

Ada juga kemungkinan jika motivasi orang di masa kuno untuk memodifikasi Sun Cross ke bentuk Kotak lalu kemudian membentuknya menjadi Swastika, didorong oleh kebutuhan membuat simbolisasi kosmologi  empat unsur. Dengan kata lain, bisa jadi orang-orang di masa kuno telah paham betul makna penting dari kontinuitas.

Setidaknya, Jejak Sun Cross Square sebagai representasi empat unsur kosmologi, dapat kita temukan pada konsep Sulapa appa' (segi empat belah ketupat) dalam tradisi Bugis, yang mana empat sisinya, dikatakan oleh Mattulada (Latoa) adalah mewakili empat unsur dasar Makro Kosmos dan Mikro Kosmos (sulapa eppa'na taue: segi empat tubuh manusia) yaitu: udara, air, tanah dan api.  

Terkait konsep Sulapa appa', Mattulada (1995) mengemukakan bahwa aksara Lontara yang digunakan orang Bugis makassar berpangkal pada pandangan mitologis yang menganalogikan alam semesta ini dengan Sulapa Eppa' Walasuji (segi empat belah ketupat). Aksara SA, Salah satu karakter dalam Aksara Lontara yang berbentuk persegi empat belah ketupat kemudian menjadi entitas penting untuk pemahaman ini.

Karakter SA dalam Aksara Lontara (Dokpri)
Karakter SA dalam Aksara Lontara (Dokpri)

Yang menarik, karena etimologi kata Swastika yang berasal dari tiga akar bahasa Sansekerta "su" (baik), "asti" (ada, menjadi) dan "ka" (dibuat), yang kemudian diasumsikan berarti "membuat kebaikan" atau, "penanda kebaikan' (Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism: 2001, Hlm. 216), pada dasarnya dapat pula dimaknai menjadi "dibuat menjadi ada dengan sebaik-baiknya". 

Pemaknaan ini bukan saja diambil dari tiga akar kata Sanskerta diatas, tetapi secara intuitif mengingatkan saya pada Ucapan Allah dalam Al-Quran : "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" QS. At-Tin [95] : 4

Dan menjadi lebih menarik lagi karena, ayat Al Quran yang membahas tentang penciptaan manusia ini, tidak hanya menunjukkan bunyi kalimat yang cukup identik dengan pemaknaan etimologi kata Swastika, tapi juga karena ayat ini bernomor 4. Jadi, kira-kira... dapatkah hal ini dimaknai bahwa Konsep 4 unsur (mikro kosmos) ada diisaratkan dalam Al Quran?

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 14 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun