Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno (2)

5 Februari 2020   19:14 Diperbarui: 6 Februari 2020   16:48 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pasar Jalur Sutera (Sumber: thestrangecontinent.com)

Dalam tulisan "Jejak Pedagang Nusantara di Asia Tengah pada Masa Kuno" telah saya bahas mengenai kata "tukar" (dalam bahasa Indonesia) yang saya duga berasal dari kata "tuccar", yakni sebutan "pedagang" dalam bahasa orang Turks (Turki), merujuk pada nama bangsa Tocharia yang berdagang dengan mereka dalam kurun waktu yang sangat lama.

Orang Tocharia sendiri, oleh sarjana moderen dianggap sebagai orang Indo-Eropa yang mendiami negeri-negeri Oasis di tepi utara cekungan Tarim (hari ini masuk dalam wilayah Xinjiang, Cina) pada masa kuno.

Selain kata "tuccar" yang terkait dengan kata "tukar" dalam bahasa Indonesia, di kawasan ini ada pula sebutan "suli", yaitu sebutan orang Khotan bagi semua pedagang yang berinteraksi dengan mereka.

Informasi ini terdapat dalam buku Russell Fraser yang berjudul "Sojourner in Islamic Lands". Dalam buku ini Russell Fraser mengungkap: "Orang-orang Khotan mengenal semua pedagang sebagai "suli", [yaitu] sebutan [khusus] untuk orang Sogdiana, walau pun pada kenyataannya bisa jadi pedagang itu bukan orang Sogdiana.

Yang menarik karena dalam bahasa tae' (bahasa daerah yang digunakan di Sulawesi selatan) terdapat kata "Suli" yang artinya: "mahal". Tentunya makna dalam bahasa Tae' ini ada keterkaitan dengan penyebutan "Suli"  bagi kelompok pedagang, bahwa mungkin mereka disebut demikian karena barang dagangan mereka yang mahal harganya.

Di sisi lain ini, seperti halnya kata "tukar", kata "suli" ini pun pada dasarnya menunjukkan adanya jejak Nusantara di Asia Tengah pada masa kuno.

Dalam buku "Jalur Sutra: Dua Ribu Tahun di Jantung Asia" yang pada halaman 71 hingga halaman 86, Frances Wood memang ada membahas bahwa Penyebaran perdagangan dan agama di wilayah Asia tengah pada zaman kuno dilakukan oleh orang-orang Tocharia dan Sogdia.

Jadi, dapat kita lihat bahwa dua bangsa yang mendominasi perdagangan di Asia tengah pada zaman kuno, pada kenyataannya, memiliki "hubungan" dengan kata dalam bahasa di Nusantara yang akrab digunakan dalam aktifitas perdagangan.

Yakni kata "tukar" (bahasa Indonesia) terkait dengan bangsa Tocharia, dan kata "Suli" (bahasa Tae' artinya "mahal") yang terkait dengan bangsa Sogdia.

Terhadap hal ini, kita bisa saja membangun asumsi bahwa bangsa Tocharia dan Sogdia bisa jadi adalah dua bangsa dari Nusantara yang bermigrasi ke wilayah Asia tengah pada zaman kuno, dan karena menguasai kemampuan navigasi pelayaran, maka sebagian dari mereka dapat pulang pergi ke Nusantara untuk mendapatkan barang dagangannya.

Terlebih lagi, barang-barang yang mereka perdagangkan memang merupakan produk perdagangan khas dari wilayah Nusantara.

Ini sebagaimana yang diungkap Russell Fraser terkait produk yang diperdagangkan oleh orang Suli atau Sogdia: "mereka berdagang rempah-rempah, ...jenis obat-obatan [herbal], pewarna buah-buahan eksotis, tanaman kuliner seperti jintan, kulit kayu manis, dan jahe dalam lima jenis yang berbeda."

Di Sulawesi selatan, memang ada daerah yang bernama "Suli", merupakan nama kecamatan di Kabupaten Luwu. 

Pada masa lalu, jika merujuk pada struktur adat Kedatuan Luwu, wilayah Suli ini, dipimpin oleh seorang dengan gelar "Palempang Suli".

Dalam pandangan saya, kata "palempang" ini sebenarnya ada keterkaitan dengan Palembang. 

Jika dalam literatur sejarah hari ini kita kenal kota Palembang sebagai kota pusat perniagaan kerajaan Sriwijaya, tempat persinggahan kapal-kapal yang berlayar melintasi selat malaka, maka seperti itulah makna kata "palempang" ini, yaitu "persinggahan" (dari kata dasar "lempang" yang artinya "singgah" dalam bahasa Tae').

Dan nampaknya, hanya daerah yang memiliki pelabuhan dan menjadi tempat persinggahan kapal saja yang mendapat sebutan "palempang" di masa kuno. 

Kata Palempang, secara tinjauan morfologi fonetis (antara b dan p), identik dengan kata "Balambang" yang juga merupakan nama pelabuhan kuno di kedatuan Luwu (berada di kecamatan bua, kabupaten Luwu), dan sepertinya ada keterkaitan pula dengan toponim Blambangan di ujung timur pulau Jawa, yang di masa lalu merupakan kerajaan yang bercorak Hindu.

Sekian uraian ini, semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare - Kediri, 5 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun