Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menelusuri Jejak Bahasa Adam di Austronesia [Part 2]

20 Januari 2020   16:39 Diperbarui: 20 Januari 2020   16:54 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Johann Reinhold Forster (seorang pendeta dan naturalis, hidup antara tahun 1729-1798). Paling dikenal sebagai naturalis di dalam pelayaran Pasifik kedua James Cook, di mana dia ditemani oleh putranya, George Forster. Ekspedisi-ekspedisi ini mempromosikan karier Johann Reinhold Forster dan temuan-temuan itu menjadi pijakan profesionalisme kolonial dan membantu menyiapkan panggung bagi pengembangan antropologi dan etnologi di masa depan. 

Pada tahun 1776 John Reinhold Foster menulis dalam karangannya Voyage Round the World bahwa kesamaan bentuk kata antara bahasa Polinesia dan bahasa Melayu berasal dari bahasa yang lebih tua daripada kedua golongan bahasa tersebut. Bahasa yang lebih tua itu biasa disebut dengan nama bahasa Melayu-Polinesia Purba; menurut pendapatnya digunakan oleh penduduk di Kepulauan Hindia atau kepulauan sebelah utara yang berdekatan dengan Benua Asia.

Dalam catatan James Cook maupun George Forster (dalam pelayaran mereka ke pasifik) tertulis kata "Tanna." Dalam catatannya. George Forster menulis; "They also told us, that they call their own island 'Tanna' a word signifies 'earth' in the Malay language" ( Mereka juga mengatakan kepada kami, bahwa mereka menyebut pulau mereka "Tanna" sebuah kata yang menandakan "bumi" dalam bahasa Melayu). (George Forster. voyage round the world. Vol. 2.  1777: 267)

 Dalam buku The Resolution Journal of Johann Reinhold Forster, 1772--1775, Volume 4, Michael E. Hoare mengomentari kata "tanna" sebagai berikut:  ...it is in fact the word for ground in the Weasisi dialect. An alternatif, Ipari or Ipare, which has been suggested from time to time as the true native name, signifies merely inland. (... itu sebenarnya adalah kata dasar dalam dialek Weasisi. Alternatifnya, Ipari atau Ipare, yang telah disarankan dari waktu ke waktu sebagai sebutan asli/lokal, untuk menyatakan pedalaman)

Hal yang menarik dari catatan-catatan di atas terkait kata "tanna" adalah pada komentar Michael E. Hoare yang mengatakan "Ipari" atau "Ipare" yang menurutnya menandakan "pedalaman". Di Luwu, bumi atau pun tanah disebut "tana," ini sesuai dengan dialek Weasisi yang ditunjukkan Michael E. Hoare. 

Sementara itu, untuk Ipari atau Ipare, saya menduga ada kaitannya dengan terminologi "pare" dalam bahasa tae' di Luwu yang bentuk aslinya adalah "ware"  yang berarti "pusat pemukiman". Dalam pemahaman yang lebih khusus (di Luwu), "ware" merupakan pusat kerajaan. Jadi, dapat dikatakan hal ini sejalan dengan pernyataan Michael E. Hoare bahwa Ipari atau Ipare merujuk pada makna "pedalaman."

Kemanapun pusat kerajaan berpindah maka "ware" pun akan berpindah pula ke tempat baru tersebut. "Ware" ini bisa disinonimkan dengan istilah kotaraja. Berdasarkan pemahaman ini saya selalu memandang spesial setiap toponim seperti: wara, ware, bara, pare, yang dalam pandangan saya besar kemungkinannya sebagai pusat kerajaan di masa lalu.

Setidaknya fakta toponim "bara" sebagai "pusat", selain digunakan di Luwu (Sulawesi selatan) dapat pula kita temukan digunakan di Jawa, yakni pada penamaan candi Borobudur. 

Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "The History of Java" karya Sir Thomas Stamford Raffles. Dalam buku tersebut Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. (Soekmono, 1976: 13), karena itu bisa dikatakan nama Borobudur pertama kali diperkenalkan oleh Raffles. 

Penamaan Borobudur diberikan Raffles, merujuk pada nama desa terdekat dengan candi, yaitu desa Bara (yang akrab disebut dengan aksen jawa "Boro"). Hal ini di sisi lain menunjukkan jika desa Bara tempat candi borobudur dibangun, pada masa lalu tentulah sebuah pusat kerajaan (kotaraja), hal yang sama persis dengan terminologi kata "wara" atau "ware" di Luwu yakni sebagai pusat pemerintahan, pusat kerajaan, atau kotaraja.

Ada pula toponim "Pare" di Kediri (yang hari ini terkenal dengan sebutan "kampung inggris"), yang dalam pandangan saya nampaknya pernah pula menjadi pusat pemerintahan atau pusat kerajaan. Digunakannya terminologi kuno tersebut di wilayah ini, menunjukkan jika wilayah "Pare" adalah wilayah pemukiman kuno. Bisa jadi pemukiman awal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun