Humboldt misalnya, mencatat bahwa "Language is the formative organ of thought... Thought and language are therefore one and inseparable from each other." Yang kurang lebih artinya: bahasa adalah formatif organ pemikiran... Karena itu pikiran dan bahasa adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Jerry Fodor dalam bukunya The Language of Thought (1975), untuk pertama kali, memperkenalkan The language of thought hypothesis (LOTH), yakni sebuah hipotesis bahwa representasi mental memiliki struktur linguistik, atau dengan kata lain, pemikiran itu terjadi dalam bahasa mental.
Demikianlah, peran bahasa dalam alam pikiran manusia merupakan variabel utama dalam penyelenggaraan kegiatan logika oleh akal. Sebab, nama-nama benda, nama-nama tindakan, nama-nama sifat (dan nama-nama kategori kelas kata lainnya) itulah yang merupakan variabel-variabel yang diolah oleh akal, sehingga pada gilirannya membentuk suatu struktur berpikir yang bersifat sederhana maupun kompleks.
Terkait dengan hal ini, F. Max Muller, dalam bukunya The Science Of Language Vol.1 Chapter IV: The Classification Stage (1899: 123) mengatakan; "The division into nouns and verbs, articles and conjunctions, the schemes of declension and conjugation, were a merely artificial network thrown over the living body of language."Â Struktur-struktur yang telah terbangun tersebut yang kemudian terekam dalam memory manusia -- bersama dengan bahasa dalam wujudnya sebagai "kumpulan nama-nama" -- yang untuk selanjutnya, kesemua itu dapat kita sebut sebagai "rekaman pengetahuan."Â
Dalam memori/ingatan, kesemuanya bukan saja terdokumentasi dengan rapi tapi juga terhubung sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat menjadi pemicu pengingat bagi satu sama lain ketika akal tengah bekerja menganalisa "rekaman pengetahuan".
Menurut Wolfgang Schonpflug, di samping keberadaan Memori internal, neurofisiologis individu dapat dilengkapi dengan media teknis dan sosial, seperti catatan pribadi, magnetic tape, benda kenang-kenangan, dan orang lain sebagai pembisik yang mengingatkan. Kesemua hal ini dapat dinamai sebagai memori eksternal. [Wolfgang Schonpflug. "External Memory, Psychology of" - Neil J. Smelser, Paul B. Baltes "International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences." (Elsevier, 2001) hlm. 5192--5195]
Terkait dengan pembahasan memori eksternal, ada baiknya kita menyimak riwayat berikut ini.Â
Dalam Plato's Phaedrus, Socrates menceritakan kisah tentang bagaimana Theuth, dewa Mesir yang merupakan penemu tulisan, menemui raja Mesir, Thamus, untuk mendesaknya menyebarluaskan kepada orang-orang Mesir apa yang dianggapnya sebagai cabang pembelajaran yang akan meningkatkan daya ingat.Â
Namun, Thamus waspada terhadap implikasi dari ingatan dalam bentuk kata-kata tertulis. Dia percaya bahwa, jika orang-orang Mesir menulis, ketergantungan mereka pada memori internal mereka akan berkurang sebagai ganti memori eksternal.Â
Dia berpendapat bahwa menulis bukan cara untuk meningkatkan daya ingat, tetapi untuk mengingatkan. Dan orang yang mengandalkan kata-kata tertulis hanya akan mengeluarkan ilusi dari seseorang yang memiliki pengetahuan.Â
Berikut kutipannya:
SOCRATES: Saya dapat memberi tahu Anda apa yang saya dengar tentang orang-orang di masa kuno katakan, meskipun hanya merekalah yang lebih tahu yang sebenarnya. Namun, jika kita dapat menemukan diri kita sendiri, apakah kita masih peduli dengan spekulasi orang lain?
PHAEDRUS: Itu pertanyaan yang konyol. Sekarang, ayo beri tahu aku apa yang kamu katakan telah kamu dengar.
SOCRATES: Baiklah, inilah apa yang saya dengar itu. Di antara dewa-dewa kuno Naucratis di Mesir ada seseorang yang karenanyalah maka burung ibis itu dikatakan suci. Nama dewa itu adalah Theuth. Dialah yang pertama kali menemukan angka dan perhitungan, geometri, astronomi, permainan catur dan dadu, termasuk tulisan.
Raja Mesir pada waktu itu adalah Thamus, yang tinggal di kota besar di daerah atas yang oleh orang Yunani disebut Thebes Mesir; Thamus mereka sebut Amon. Theuth datang untuk memamerkan seninya kepadanya dan mendesaknya untuk menyebarluaskannya kepada semua orang Mesir.
Thamus bertanya kepadanya tentang kegunaan setiap seni, dan ketika Theuth sedang menjelaskannya, Thamus memujinya untuk apapun yang dia pikir benar dalam penjelasan tersebut dan mengkritiknya untuk apapun yang dia anggapnya keliru.
Menurut cerita, Thamus mengatakan banyak hal kepada Theuth, (...), yang akan membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengulanginya. ketika mereka tiba pada pembahasan tentang seni tulisan, Theuth berkata: "Oh Raja, ini adalah sesuatu yang, setelah dipelajari, akan membuat orang Mesir lebih bijak dan akan meningkatkan ingatan mereka; saya telah menemukan ramuan untuk ingatan dan kebijaksanaan."Â
Thamus, kemudian menjawab: "Wahai ahli yang paling ahli, setiap orang dapat saja melahirkan berbagai unsur-unsur seni, tetapi hanya orang lain yang dapat menilai bagaimana mereka dapat bermanfaat atau membahayakan mereka yang akan menggunakannya. Dan sekarang, karena Anda adalah ayah dari tulisan, kasih sayang Anda untuk itu telah membuat Anda menggambarkan dampaknya sebagai kebalikan dari apa yang sebenarnya.Â
Bahkan, itu akan memperkenalkan kelupaan ke dalam jiwa mereka yang mempelajarinya: mereka tidak akan berlatih menggunakan ingatan mereka karena mereka akan menaruh kepercayaan mereka dalam tulisan, yang bersifat eksternal dan tergantung pada tanda-tanda milik orang lain, daripada mencoba mengingat dari dalam, sepenuhnya sendiri. Anda tidak menemukan ramuan untuk ingatan, tetapi untuk mengingatkan.Â
Anda memberikan siswa Anda penampilan kebijaksanaan, tapi bukan dengan realitasnya. Penemuan Anda akan memungkinkan mereka untuk mendengar banyak hal tanpa diajarkan dengan benar, dan mereka akan membayangkan bahwa mereka telah mengetahui banyak hal, sementara sebagian besar mereka tidak akan tahu apapun. Dan mereka akan kesulitan lanjut dengan hal itu, karena mereka hanya akan "tampak bijaksana," tapi tidak benar-benar demikian."