Metafora adalah gaya bahasa yang umum digunakan leluhur kita di masa kuno dalam mengungkap sesuatu. Terutama terhadap kejadian, figur, atau hal-hal apapun yang dianggap sangat sakral dan sifatnya suci oleh mereka.Â
Selain sebagai wujud penghormatan terhadap apa yang dianggap Sakral tersebut, kenyataannya, gaya bahasa metafora memang memiliki kedalaman atau keluasan makna yang bisa dikatakan tepinya tak terjangkau nalar, sehingga dengan demikian bernuansa kesadaran kosmis.
Namun, kelebihan gaya bahasa metafora yang demikian itu pulalah yang membuat kita pada hari ini kesulitan dalam memahami informasi dari masa kuno secara komprehensif. Bahkan dalam beberapa kasus, beberapa di antaranya telah divonis "tak layak menjadi sumber rujukan sejarah" oleh beberapa kalangan sejarawan. Dan hal ini telah menjadi topik perdebatan khusus di kalangan sarjana setidaknya dalam beberapa dekade terakhir.
Misalnya Ian Caldwell dalam sebuah tulisannya dengan tegas menyatakan bahwa Sure Galigo tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sumber sejarah bagi rekonstruksi Kedatuan Luwu karena unsur anakronisme pada hampir semua penceritaannya. Penegasannya ini sekaligus merupakan kritik yang dialamatkan pada Pelras yang menjadikan karya sastra seperti I La Galigo sebagai sumber penelitiannya.Â
Demikianlah, informasi dari masa kuno (lisan maupun tulisan) yang tersusun dalam bentuk gaya bahasa metafora, oleh kalangan sarjana di masa modern kemudian dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Umumnya dianggap sebagai hasil karya imajinatif, fiksi, dan karena itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan riset ilmiah terkait kesejarahan.
Memosisikan informasi dari masa kuno sedemikian rupa tentunya adalah hal yang sangat disayangkan. Terlebih lagi jika kita telah memahami bahwa uraian-uraian yang bersifat simbolik yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya adalah pesan-pesan yang spesifik yang jika kita mampu menerjemahkannya secara benar akan menjadi rujukan informasi yang sangat berharga.
Sebagai contoh kasus dalam upaya menerjemahkan informasi dari masa kuno yang bersifat simbolik, dapat saya sajikan dalam uraian berikut ini. Yaitu tentang upaya pengungkapan sosok dan asal usul Dewi Fajar yang melegenda di masa kuno.
Dalam tulisan sebelumnya: Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong,  telah saya urai hipotesis bahwa letak pegunungan Latimojong yang tepat berada di garis bujur 12o derajat jika mengacu  pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich, yang memang sejajar dengan maroko, yang di masa lalu akrab dengan sebutan "kerajaan barat", lalu titik garis bujur 180 derajat berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu, samudera pasifik) menyiratkan kemungkinan sebagai asal usul disebutnya wilayah Nusantara sebagai "negeri sabah" atau "negeri pagi" di masa kuno. Ini disebabkan oleh karena ketika matahari terbit di wilayah ini, pada saat yang sama, di Tuvalu sebagai tempat terawal terbitnya matahari telah menunjukkan pukul jam 10 pagi.
Lalu jika kemudian dijabarkan dalam pemahaman arah jarum jam sebagai arah penunjuk mata angin, di mana jam 06:00 (pagi) mewakili arah timur, jam 12:00 (tengah hari) mewakili arah utara, jam 18:00 (petang) mewakiliki arah barat, dan jam 24:00 (tengah malam) mewakili arah selatan, maka jam 10:00 (pagi) dapat diduga mewakili arah timur laut.Â
Sehingga dengan demikian, di masa kuno, selain disebut sebagai "negeri pagi", wilayah Nusantara kadang juga disimbolisasikan dengan sebutan "titik timur laut". Hal ini dikuatkan dengan adanya sebutan "Isanapura" yang berarti "negeri timur laut" yang teridentifikasi berada di kawasan ini, merujuk dari informasi dari teks Cina kuno, Sui shu (kitab sejarah dinasti Sui), yang disusun oleh Wei Zheng (580-643 M). Nama Isanapura oleh para sejarawan dianggap berasal dari bahasa Sanskerta "Isana" yang berarti "timur laut". (baca: "Negeri Timur Laut" Sebutan Kawasan Nusantara di Masa Kuno).
 Lebih lanjut, saya juga telah menganggap jika pemahaman tersebut bisa jadi merupakan jawaban atas pertanyaan: mengapa batu hajar aswad dan titik awal memulai tawaf berada di sisi timur laut Ka'bah? - Yaitu bahwa "titik timur laut" (Nusantara) merupakan titik awal peradaban manusia. Titik awal semula bermula.
Bagi yang belum membaca artikel Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong, dan  "Negeri Timur Laut" Sebutan Kawasan Nusantara di Masa Kuno, saya sangat menyarankan agar membacanya terlebih dahulu.
Sementara itu, dalam tulisan Sejarah Berhala Uzza, Sang Dewi Fajar, telah saya ungkap adanya konsep penyembahan Dewi Fajar, atau Dewi Pagi, yang dalam tradisi Hindu dikenal sebagai "Ushas", dalam mitologi Yunani dikenal sebagai "Eos", dalam mitologi Romawi dikenal sebagai "Aurora", sementara orang Arab pra-Islam menyembahnya dengan nama "Uzza".Â
Yang menarik, Uzza sebagai Dewi Fajar, merupakan salah satu dewi yang paling dipuja oleh orang Arab pra-Islam. Di sisi lain, peletakan batu Hajar Aswad dan titik awal memulai tawaf berada di sisi timur laut Ka'bah. Kesemua hal ini tentunya menyiratkan adanya saling keterkaitan yang erat.
Keterkaitan Pegunungan Latimojong dengan sosok Dewi Pagi, akan semakin menguat setelah kita mencermati lebih jauh profil Dewi Ushas (Dewi Fajar atau Dewi Pagi) yang dalam Rigveda diilustrasikan sebagai berikut...
Ia analogi  bagai "Matahari terbit di pagi hari yang menghilangkan gelap malam", untuk melukiskan betapa ilmu yang telah diajarkan (sang Dewi) bagaikan cahaya matahari pagi yang hadir menghilangkan gelap malam (kebodohan).Â
Kedatangannya yang konsisten di pagi hari membangkitkan semua kehidupan, mengatur segala sesuatu bergerak, mengirim semua orang pergi untuk melakukan tugas mereka.Â
Pada hymne 1.92 ia disebut "ibu dari sapi" dan seorang yang suka sapi. Dalam hymne ini ia juga digambarkan sebagai pemburu yang terampil.
dan berikut ini screenshoot dari buku "Hindu Goddesses: Visions of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition"Â pada bagian yang membahas mengenai dewi Ushas
Makna nama dan profil Dewi Pagi yang diuraikan dalam Rigveda di atas, sesungguhnya dapat kita temukan keidentikannya dengan mitos "Nenemori" yang dapat kita temukan dalam cerita rakyat di sekitar pegunungan Latimojong.
Saat ini Nenemori merupakan nama puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong. Asal usul nama ini oleh masyarakat lokal dipercaya merupakan nama seseorang nenek yang di zaman dahulu kala hidup di puncak gunung Latimojong bersama cucunya yang bernama Mori.
Nenek Mori dipercaya memiliki kemampuan istimewa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia dan cucunya, Nenek Mori berburu Anoa. Namun ia tidak berburu seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Nenek Mori cukup melantunkan nyanyian khusus dan sesaat kemudian Anoa-anoa yang banyak berkeliaran di pegunungan Latimojong akan jinak datang mendekatinya. Setelah itu Nenek Mori tinggal memilih salah satu diantaranya, dan Anoa yang terpilih dengan pasrah menyerahkan diri tanpa perlawanan sedikit pun.
Nenek Mori dianggap bukan saja bersahabat dengan Anoa ataupun binatang lainnya yang terdapat di pegunungan Latimojong, tapi ia juga dipercaya bersahabat dengan makhluk halus atau makhluk gaib yang terdapat di wilayah tersebut.
Demikianlah penggalan singkat kisah tentang asal usul nama puncak Nenemori di pegunungan Latimojong.
Hal penting yang perlu mendapat telaah terlebih dahulu adalah nama "Nene-mori" itu sendiri. Sebutan "Nene" tentunya mudah dimaknai bermakna "nenek" dalam bahasa Indonesia. Sementara itu "Mori" butuh analisa yang cukup panjang untuk mendapat makna yang sesungguhnya.
Sesungguhnya terdapat banyak toponim dan etnonim yang menggunakan kata "Mori". Seperti Suku Maori (penduduk asli Selandia Baru), Suku Mori di Sulawesi tengah, Pulau Mori di muara sunga Malili di Luwu Timur, dan Puncak Nene' Mori yang merupakan puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong setelah puncak Rante Mario.Â
Untuk memahami makna sesungguhnya dari kata "Mori" salah satu tinjauan yang layak untuk dipertimbangkan adalah kata "Mrena" yang merupakan ucapan selamat pagi dalam bahasa orang Maori (penduduk asli Selandia Baru). "Mrena", identik dengan bentuk "morning" dalam bahasa Inggris, yang pada situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata "morning" adalah: "morn" yang mendapat suffix -ing. Dari Tinjaun ini dapat diduga jika kata "mori" kemungkinan bermakna "pagi".
Tinjauan berikutnya adalah melalui metode pencermatan morfologi Bahasa dengan menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari morfologi kata "Mori" adalah: poni - poli - pori - podi - poti - boni - boli - bori - bodi - boti - woni - woli - wori - wodi - woti - moni - moli - mori - modi - moti.
Dari kesemua variasi bentuk yang dihasilkan, yang perlu mendapat perhatian adalah: bori, poni, dan boni.
"Bori" identik dengan kata "bore" yang dalam bahasa Welsh berarti "Pagi". Sementara "poni" identik dengan bentuk dasar nama bangsa Phoenicia. Bentuk nama Phoenicia dalam Yunani kuno adalah "Phoinikes", sementara dalam Latin adalah "Poeni". Dari kedua bentuk ini, dapat kita asumsikan bentuk sederhananya adalah "Poni".Â
Nama "poni" yang sesungguhnya bermakna "pagi" yang digunakan oleh bangsa Phoenicia, jelas tergambar dari penamaan kawasan mereka bermukim di ujung timur Laut Mediterranean, yang menghadap ke arah barat, yang disebut sebagai "Laut Matahari Terbit". Jadi jelas terlihat bahwa atribut "pagi" melekat sebagai jati diri orang Phoenicia. Senantiasa mereka bawa kemana saja mereka pergi.
Bentuk "boni" dapat kita temukan digunakan sebagai istilah dalam tradisi komersial di wilayah India Utara dan Pakistan. Di wilayah ini, "boni" merujuk pada "penjualan pertama di pagi hari."
Bentuk "boni" dapat pula kita identifikasi memiliki keterkaitan dengan nama "teluk bone" yang terdapat di pulau Sulawesi. Dalam peta-peta eropa kita jumpai nama teluk bone tertulis : "Gulf of Boni". Dan dapat diduga jika nama "Boni" atau "bone" ini ada keterkaitan dengan makna pagi, sebagaimana identifikasi sebelumnya dalam artikel Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong bahwa wilayah ini yang berada tepat di garis bujur 120 derajat, menjadi asal usul disebutnya kawasan nusantara secara umum sebagai negeri pagi pada masa kuno.
Demikianlah, uraian di atas kiranya telah dapat mengantar kita untuk memahami jika arti dari nama "nenemori" sesungguhnya adalah "nenek pagi".Â
"Nenek mori" atau "Nenek pagi" yang dalam cerita rakyat di sekitar pegunungan Latimojong disebut bersahabat dengan Anoa dan memiliki keahlian khusus dalam berburu, tentunya dapat kita lihat identik dengan uraian tentang dewi ushas dalam Rigveda yang disebut : ibu dari sapi - seorang yang suka sapi - pemburu yang terampil. Karena faktanya, Anoa yang oleh masyarakat lokal latimojong disebut "tedong malillin" (kerbau gelap) memang merupakan jenis hewan kerbau, dan tentunya sejenis pula dengan sapi.
Jadi, hipotesis yang bisa kita munculkan dari keseluruhan uraian ini adalah bahwa bisa jadi Dewi fajar, atau Dewi Pagi, atau dalam tradisi hindu dikenal sebagai Dewi Ushas, tidak lain adalah sosok "Nenemori" yang dikenal dalam cerita mitos masyarakat sekitar pegunungan Latimojong hidup di wilayah pegunungan Latimojong pada Zaman dahulu kala. Ia berasal dari wilayah ini, yang kemudian dalam kurun waktu ribuan tahun sosoknya yang melegenda terbawa hingga ke wilayah dunia barat.
Sosoknya yang pada awalnya adalah manusia biasa yang dikaruniai memiliki kemampuan atau kelebihan khusus lambat laun dalam masa ribuan tahun kemudian termitologisasi menjadi sosok Dewi yang disembah.
Namun pertanyaan utama dan terpenting dari kesemua hal ini adalah: siapakah sesungguhnya "Ia" yang dianalogikan sedemikian rupa oleh orang-orang di masa kuno? - Untuk menjawab pertanyaan ini adalah penting untuk terlebih dahulu mencermati uraian lebih lanjut tentang Dewi Ushas dalam Rigveda.Â
Pada hymne 1.48, disebutkan: "Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik".
Pada hymne 7.77 disebutkan: "dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi".
ia juga dikatakan "memancarkan cahaya yang diikuti oleh matahari (surya), yang mendesaknya untuk maju (3,61). Dia dipuji karena mengarahkan, atau diminta untuk mengusir kegelapan yang menindas (7.78; 6.64; 10.172).
Hal terpenting lainnya adalah analogi tentang Dewi Fajar yang dikatakan "konsisten terbit setiap hari " yang pada dasarnya sangat identik dengan analogi yang dialamatkan pada Dewa Surya (sosok yang mana dianggap terkait dengan Batara Guru ataupun Dewa Siwa). Untuk Hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa selain Dewa Surya (dewa laki-laki), juga ada Dewi Fajar (dewa perempuan) yang dianalogikan konsisten mengantarkan cahaya setiap hari dari timur ke barat (merupakan analogi gerak harian matahari jika terlihat dari bumi).
Jika dalam tulisan sebelumnya (baca: di sini dan di sini) saya menginterpresi sosok Batara Guru (Dewa Surya) tidak lain adalah personifikasi dari Nabi Adam. Maka saya menduga bahwa besar kemungkinan jika yang dipersonifikasi sebagai Dewi Fajar atau Dewi Pagi sesungguhnya adalah Ibu Hawa.
Secara intuitif saya merekonstruksi bahwa Ibu Hawa yang ditinggal pergi Nabi Adam setelah meninggal dunia, mengambil alih semua tugas yang sebelumnya diemban Suaminya. Ia kemudian sungguh-sungguh memerankan dirinya sebagai seorang ibu (dari seluruh manusia). Hal ini yang kemungkinan diisaratkan dalam Rigveda Pada hymne 1.48 "Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik".
Sementara bunyi hymne 7.77 "dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi", kemungkinan adalah doanya kepada Sang Pencipta agar diberi umur panjang untuk dapat melakukan misinya sebaik-baiknya hingga tuntas.Â
Suatu hal menarik yang kita temukan hari ini dalam bidang arkeologi adalah kenyataan bahwa peran ibu bumi (mother earth) sangat banyak dapat kita temukan di berbagai wilayah di dunia. Bisa dikatakan hampir di semua peradaban bangsa kuno ada mengenal figur ini. Hal ini menimbulkan asumi pribadi saya bahwa nampaknya jejak Ibu Hawa terlihat lebih dominan atau luas penyebarannya dibandingkan jejak Ayah Adam.
Demikianlah, dengan metode mythological comparison, dan metode language comparison terutama dengan pendekatan phonology, kita memiliki jalan untuk dapat merekonstruksi bentuk ungkapan simbolik dari gaya bahasa metafora yang diwariskan orang-orang pada masa kuno.
Sekian. Semoga bermanfaat. salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare 15 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H