Dapunta Sailendra yang dalam Bahasa Tae' artinya "Mustika Sailendra" rupa-rupanya persis sama dengan yang diperlihatkan dalam prasasti Kalasan (prasasti berbahasa Sanskerta) yang menuliskan "Sailendravamsatilaka" yang juga artinya "Mustika keluarga Sailendra".
Jadi, dalam prasasti yang berbahasa melayu kuno (seperti prasasti Sojomerto) kata "mustika" tertulis sebagai "punta", sementara dalam prasasti yang berbahasa Sanskerta (seperti prasasti Kalasan) kata "mustika" tertulis sebagai "tilaka".
Arti "Sailendra" dalam perspektif Bahasa Tae'
Jika kita mencoba mengartikan nama "Sailendra" dalam perspektif Bahasa Tae', maka kita akan menemukan pemaknaan lain dengan yang beredar selama ini --terutama yang mengartikan "sailendra" sebagai "raja gunung".
Melalui perspektif Bahasa Tae', saya melihat nama "Sailendra" sesungguhnya berasal dari kata: "sai" yang artinya "datang", dan "landra" atau "landa" yang artinya "tempa" atau "menempa."
kata "landra" bentuk bugisnya adalah "landro" atau "lanro" yang artinya "tempa". Sementara aktifitas menempa besi dalam bahasa bugis disebut "malandro" atau "malanro".
Dalam kitab I La Galigo, dewata sang pencipta disebut "To Palanro" atau " To Palanroe" yang secara literal bermakna "pandai besi" sementara makna figuratifnya adalah " Dia yang menciptakan, membentuk dan menata".
jika kita mencermati berbagai mitologi yang ada di dunia, kita dapat melihat bahwa konsep "pandai besi" untuk dewa-dewa tertinggi umum digunakan.Â
Dewa Mesir, Ptah, digambarkan sebagai sosok pencipta, pelindung pekerja logam dan pengrajin dalam budaya Mesir. Hephaestus dalam mitos Yunani yang menjadi Vulcan dalam sastra Latin, keduanya secara konsisten digambarkan dalam seni, membawa alat-alat mereka - palu dan penjepit pandai besi.
Sementara itu, Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, mengungkap bahwa Batara Guru juga disebut sebagai "Goldsmith" atau "pandai emas" sementara anak-anaknya disebut "Blacksmiths" atau "pandai besi".Â
Berikut kutipannya:
"In the Tantu Panggelaran, Bhattara Guru is described as the first of the long school of teachers or devagurus (divine teachers). He is represented as the teacher of speech and language. Mahadeva, however, is regarded as a goldsmith. ...The blacksmiths are regarded as children of Mahadeva." (R. Ghose. Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period. The University of Hong Kong Press, 1966. hlm. 129-131)Â