Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengembalikan Ibukota Negara ke pusat Dinasti Sailendra

2 Mei 2019   16:38 Diperbarui: 5 Mei 2019   14:53 3222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara itu, Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, mengungkap bahwa Batara Guru juga disebut sebagai "Goldsmith" atau "pandai emas" sementara anak-anaknya disebut "Blacksmiths" atau "pandai besi". Berikut kutipannya:

"In the Tantu Panggelaran, Bhattara Guru is described as the first of the long school of teachers or devagurus (divine teachers). He is represented as the teacher of speech and language. Mahadeva, however, is regarded as a goldsmith. ...The blacksmiths are regarded as children of Mahadeva." (R. Ghose. Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period. The University of Hong Kong Press, 1966. hlm. 129-131)

Kesamaan bentuk kata Lanra atau landra,  dengan kata lenra atau lendra (dalam nama Sai-lendra) dapat kita lihat dengan memperbandingkan makna dari kata tersebut,  yakni: tempa atau tampa. 

Dalam bahasa Indonesia kata "tempa" kita ketahui adalah kata kerja  untuk aktifitas "mengetuk" atau "memukul" yang umumnya digunakan pada kegiatan pandai besi. 

Sementara kata "tampa" dalam bahasa tae' adalah sebutan untuk kegiatan merontok bulir padi dengan cara memukul-mukul. varian lain dari kata tampa dalam bahasa tae' adalah "tambak" dan "sambak" - semua kata ini pada prinsipnya sinonim.

kegiatan merontokkan bulir padi, yang dalam bahasa tae' disebut ma'tampa, ma'tambak atau ma'sambak. pada gambar dapat kita lihat bahwa pose kegiatan ini persis sama dengan pose seorang pandai besi ketika menempa besi. (sumber photo: lombokpost.net)
kegiatan merontokkan bulir padi, yang dalam bahasa tae' disebut ma'tampa, ma'tambak atau ma'sambak. pada gambar dapat kita lihat bahwa pose kegiatan ini persis sama dengan pose seorang pandai besi ketika menempa besi. (sumber photo: lombokpost.net)

Jadi variasi bentuk kata "lanro", "lanra" dengan "lenra", atau "tampa" dengan "tempa" mungkin bisa kita asumsikan muncul karena adanya variasi aksen semata. 

Hal lain yang menarik adalah kata "landa" yang menunjukkan adanya kesamaan pula dengan kata "Lanro", "lanra" ataupun"lenra". 

Perubahan fonetis antara r dan d pada kata lanra dan landa, bisa dikatakan fenomena umum yang contohnya banyak dapat kita temukan. Misalnya Kdaton dengan kraton, padang dengan parang, datu dengan ratu, dan masih banyak lagi.

Jika kita mencermati makna kata "landa" dalam penggunaanya pada masa sekarang, kita dapat melihat jika kata "landa" umumnya digunakan pada bentuk kalimat yang menjelaskan situasi, seperti: ia dilanda rasa rindu; atau, badai melanda wilayah tersebut. Dari kedua kalimat ini, kata "dilanda" dan "melanda" bisa dikatakan juga bermakna "dihantam" ataupun "ditimpa" - yakni kata yang pada prinsipnya adalah situasi yang terjadi dalam kegiatan menempa besi.

Demikianlah, makna "Sailendra" jika ditinjau dalam perspektif bahasa tae', secara literal bermakna "datang menempa" (sai=datang; lendra=menempa), dan secara figuratif dapat dimaknai: "datang atau hadir membentuk" atau pun "datang atau hadir membangun".

Jika kata Lanra atau lanro digunakan dalam nama Sailendra, maka kata Tampa digunakan pada nama raja sesudah Simpurusiang (Ratu Sima), yaitu "Tampa Balusu", yang dalam kronik Cina disebut "tian pao".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun