Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkaji Sebutan "Luwu" dalam Zhu Fan Zhi (Abad 13 M)

14 April 2019   14:06 Diperbarui: 14 April 2019   15:16 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zhu Fan Zhi adalah catatan dari Dinasti Song yang disusun pada sekitar abad ketigabelas oleh Zhao Rukuo (1170-1231).

Zhao Rukuo atau Zhao Rushi, atau yang lebih umum ditulis sebagai Chau Ju-Kua, adalah anggota klan kekaisaran Dinasti Song. Ia ditugaskan di Fujian sebagai pengawas perdagangan maritim di Quanzhaou (A History of Chinese Science and Technology, Volume 2 edited by Yongxiang Lu. 2015. hlm. 289).

Bekerja pada pos pabeanan membuatnya kesempatan bertemu pedagang dari berbagai negara. Dari mereka inilah ia mengumpulkan informasi tentang berbagai negara di dunia. Dia juga mencatat berbagai produk yang diperdagangkan, mempelajari peta-peta periode itu, dan bersama dengan informasi yang dipelajarinya ia kemudian menulis buku yang ia selesaikan sekitar 1225 Masehi.

Banyak berita dalam Zhu Fan Zhi mengambil informasi dari karya-karya yang lebih tua, seperti buku Pingzhou Ketan yang disusun Zhu Yu antara tahun 1111-1117 M dan yang diterbitkannya pada tahun 1119 M (Needham, Volume 4, Part 3, 381. - Paul Cobb. The Lineaments of Islam: Studies in Honor of Fred McGraw Donner, 2014. hlm 460), buku Youyang Zazu atau Miscellaneous Morsels from Youyang yang disusun pada sekitar abad ke-9 oleh Duan Chengshi seorang penulis puisi dari dinasti Tang, dan terutama dari Ling-wai-tai-ta, yang ditulis tahun 1178 oleh penulis yang Chou Ch'u-fei.

Namun demikian, bagian penting dari buku Zhu Fan Zhi adalah informasi yang dikumpulkan Zhao dari para pedagang asing.

Buku Zhu Fan Zhi kemudian dialih bahasa ke dalam bahasa Inggris oleh Friedrich Hirth dan William W. Rockhill. Diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul: "Chau Ju-kua: his work on the Chinese and Arab trade in the twelfth and thirteenth centuries, entitled Chu-fan-chi".

Pada buku hasil terjemahan Hirth dan Rockhill kita dapat mengetahui bahwa Buku Zhu Fan Zhi terbagi dalam dua jilid. Volume pertama memberikan deskripsi tentang berbagai negara dan kebiasaan masyarakat setempat, volume kedua memberikan informasi tentang barang-barang perdagangan yang tersedia dari negara-negara tersebut.

berikut ini daftar isi buku Chau Ju-kua...

(dokpri)
(dokpri)

(Dokpri)
(Dokpri)

(Dokpri)
(Dokpri)

(Dokpri)
(Dokpri)

Demikian informasi singkat mengenai buku Zhu Fan Zhi yang akan segera kita bahas beberapa informasi penting yang terdapat di dalamnya.

Ciri-Ciri Sho-po yang identik dengan budaya Luwu 

Pada tulisan sebelumnya saya telah menyampaikan hipotesis letak Ho-ling di pulau sulawesi (baca: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi ; "Batu Pasui" di Karatuan, Mitologisasi Batu Gnomon Peninggalan kerajaan Ho-ling ; Hipotesis Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi. Di sisi lain, berbagai literatur dengan jelas mengatakan bahwa Ho-ling dan She-po atau Sho-po adalah sama.

Melanjutkan pembahasa tersebut, Kali ini, saya ingin menyampaikan bukti lain yang terdapat dalam buku Zhu Fan Zhi, yang mana beberapa uraian informasinya mengenai Sho-po bisa dikatakan dapat ditemukan di Luwu khususnya dan Sulawesi selatan pada umumnya.

Berikut ini beberapa informasi tersebut...

a. Tinjauan aspek budaya

Sebutan Fu-wang yang identik dengan kata
Sebutan Fu-wang yang identik dengan kata "Puang" dalam tradisi di Sulawesi Selatan. (Dokpri)
Dalam kutipan di atas disebutkan "tiga anak dari raja menjadi Fu-wang yang dijelaskan sebagai jabatan deputi kerajaan. Kata Fu-wang ini jelas sangat identik dengan sebutan "Puang" dalam tradisi budaya di Sulawesi Selatan. Pada masa lalu umumnya ucapan ini ditujukan pada kalangan bangsawasan, namun pada masa sekarang umum pula ditujukan pada pejabat atau tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh.

Pada masa sekarang, penyebutan puang dalam aksen Bugis biasanya terdengar disebut "pung", sementara dalam aksen Toraja biasanya terdengar disebut "pong". Di Luwu sendiri umumnya masih tetap terdengar "puang".

Dari informasi ini akhirnya dapat diketahui dari mana sebutan "puang" itu berasal, yang rupa-rupanya adalah sebuah sebutan Cina kuno, yang pada masa lalu berarti pejabat deputi kerajaan.

(dokpri)
(dokpri)

Pada bagian ini disebutkan "Orang-orang punya nama pribadi tapi tanpa nama keluarga." Tradisi pemberian nama semacam ini dalam tradisi Luwu/ Bugis disebut "pantalarang" yang sepertinya berasal dari kata "talara" artinya "laris," dengan demikian sinonim dengan sebutan "penglaris" dalam tradisi jawa. Pemberian nama "pantalarang" dalam tradisi Bugis biasanya dilakukan setelah seseorang berumah tangga. Biasanya dalam nama yang dipilihkan mengandung makna sifat atau karakter terbaik yang diharapkan menaungi kehidupan selanjutnya orang tersebut.

(dokpri)
(dokpri)

Pada bagian ini disebutkan "Negeri ini memiliki taman bambu tempat mereka melakukan kegiatan sabung babi dan sabung ayam." Hal ini setidaknya masih dapat kita temukan di wilayah kota Palopo (letak istana kedatuan Luwu) hingga hari ini. Di wilayah ini orang menyebut tempat sabung ayam sebagai "pattung" artinya "rumpun bambu".

b. Tinjauan aspek geografi

Melalui tinjauan aspek geografi, secara umum saya melihat jika posisi Sho-po yang digambarkan dalam buku Zhu Fan Zhi berada di wilayah sulawesi tenggara. Berikut ini data yang menunjukkan indikasi tersebut...

(dokpri)
(dokpri)

pada kutipan kalimat ini, dijelaskan bahwa "Ke sebelah timur (dari Sho-p'o) Anda tiba di (Samudra)-laut dan ke tempat air mengalir ke bawah; ada kerajaan wanita. Lebih jauh ke timur adalah Wei-lu, akhir dari dunia yang bisa dihuni." 

Pernyataan "di sebelah timur Sho-po terdapat laut" jelas sesuai dengan kondisi geografi Sulawesi tenggara dengan menimbang bahwa di sebelah Sulawesi tenggara terdapat laut banda. Sementara pernyataan "lebih jauh ke timur adalah wei-lu" dibuktikan dengan keberadaan toponim "waelo" di pulau buru. Dengan demikian, ada kemungkinan jika pulau buru yang kita kenal hari ini, pada masa lalu lebih dikenal dengan sebutan wei-lu.

Pada peta ini dapat kita lihat bahwa di sebelah timur sulawesi tenggara adalah laut banda - lebih jauh ke timur ada pulau buru. Sementara Pada pulau Buru terdapat toponim
Pada peta ini dapat kita lihat bahwa di sebelah timur sulawesi tenggara adalah laut banda - lebih jauh ke timur ada pulau buru. Sementara Pada pulau Buru terdapat toponim "Waelo," nama yang sangat identik dengan wei-lu yang disebut dalam  Zhu Fan Zhi. (Dokpri)

Ungkapan "tempat air mengalir ke bawah," sepertinya menyiratkan topografi palung yakni celah jurang bawah laut yang ada pada laut Banda.  Penelitian terbaru membuktikan palung terdalam Indonesia di Laut Banda, Maluku, berkedalaman 7,2 kilometer dengan ukuran 120 km x 450 km (Kompas.com "Palung Banda Bisa Picu Tsunami Besar", by: Ahmad Arif.  - Posted on 30/11/2016). 

Bentuk pernyataan ""tempat air mengalir atau terjun ke bawah" untuk menyebutkan palung laut, terdapat pula dalam kitab I La Galigo. Telah saya ulas dalam tulisan: Penyebutan Palung Filipina (Philippine Trench) di dalam Naskah I La Galigo (Seri Analisa Filologi Naskah I La Galigo - 1).

Capture Naskah I La Galigo pada bagian yang menyebutkan kalimat
Capture Naskah I La Galigo pada bagian yang menyebutkan kalimat "lubang tempat air samudera terjun ke bawah". (Dokpri)

Lebih lanjut informasi geografi Sho-po untuk arah utara dan selatan adalah sebagai berikut...

(Dokpri)
(Dokpri)

dalam kalimat yang di capture di atas dijelaskan "Berlayar setengah bulan (ke barat dari Sho-po?) pertama akan mencapai negara K'un-lun. Ke selatan (dari pelabuhan kota Sho-po?) Laut dicapai dalam perjalanan tiga hari.

Dalam kalimat tersebut saya ingin mengkritisi beberapa hal. Yaitu, kalimat bentuk perkiraan yang di tempatkan di dalam tanda kurung  "ke barat dari sho-po?" sepertinya keliru. Karena setelah kalimat tersebut, bagian selanjutnya menyebutkan arah selatan. Dalam hal ini saya berpikir bahwa pada umumnya ketika orang menjelaskan suatu letak geografi, penjelasannya biasanya terbagi atas pasangan utara-selatan dan timur-barat.

Jadi sepertinya yang dimaksudkan pada bagian kalimat awal adalah: jika berlayar setengah bulan ke arah utara, pertama akan mencapai negara K'un-lun. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa negara K'un-lun yang dimaksudkan adalah wilayah kolono ataupun kolonodale di sebelah utara Sulawesi Tenggara (lihat peta di bawah). 

nampak pada sisi timur pulau Sulawesi wilayah Kolono dan Kolonodale yang besar kemungkinan adalah negara K'un-lun yang disebut dalam kronik Cina. (Dokpri)
nampak pada sisi timur pulau Sulawesi wilayah Kolono dan Kolonodale yang besar kemungkinan adalah negara K'un-lun yang disebut dalam kronik Cina. (Dokpri)

Pembahasan Kolono ataupun Kolonodale sebagai letak negera K'un-lun pada masa lalu telah saya ulas pada tulisan Hipotesis Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi.

Kalimat selanjutnya "Ke selatan (dari pelabuhan kota Sho-po?) Laut dicapai dalam perjalanan tiga hari," - jelas sebagai sebuah kalimat yang janggal, ini lagi-lagi disebabkan oleh kalimat perkiraan yang ditempatkan dalam tanda kurung yakni : "dari pelabuhan kota sho-po?".

Logikanya, jika dikatakan berangkat dari pelabuhan tentu saja orang sudah mencapai lautan pada saat itu juga. Sementara itu jelas-jelas pada kalimat selanjutnya disebutkan "...laut dicapai dalam perjalanan tiga hari". Jadi saya pikir kalimat yang benar mestinya "ke selatan laut dicapai dalam perjalanan tiga hari". 

Demikianlah, jika mencermati informasi geografi yang disampaikan dalam buku Zhu Fan Zhi, mengindikasikan letak Sho-po masuk dalam wilayah Sulawesi tenggara hari ini, ada ketidaksinkronan dengan berita T'ung tien yang dihimpun Tu Yu pada tahun 735-812 M. 

Dalam berita T'ung tien, Ho-ling atau Sho-po terindikasi berada di wilayah kaki gunung latimojong, tepatnya di wilayah Rante Balla, Kabupaten Luwu, Sulawesi selatan. 

Hal ini sebagaimana bunyi berita dari T'ung tien yang mengungkap bahwa "Di pegunungan terdapat gua-gua, dan dari dalam gua mengalir air garam" -yang mana berita ini sesuai dengan kondisi alam di wilayah kaki gunung Latimojong, yang banyak ditemukan sumber air garam.

Pada masa lalu, untuk kebutuhan garam, penduduk di kaki gunung latimojong seperti di wilayah Tibusan hingga Rante Balla, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, biasanya membasahi daun tertentu dengan air garam lalu menjemurnya. ketika memasak, daun yang telah memiliki kristal garam tersebut tinggal mereka celupkan di masakan tersebut.  

Bahkan baru-baru ini di wilayah Rante Balla ditemukan mata air dengan kadar garam tinggi, sehingga rasanya terasa sangat asin. Dokumentasi video mengenai sumber mata air asin tersebut dapat pembaca simak videonya di youtube dengan judul "Ajaib Mata Air di Pegunungan Ranteballa Latimojong Asin". 

Perbedaan letak wilayah Ho-ling atau Sho-po yang diindikasikan dalam informasi geografi T'ung tien dan Zhu Fan Zhi pada dasarnya bisa saja dipahami sebagai akibat telah terjadi perpindahan letak. Hal ini bisa dipahami jika kita cermati bahwa masa T'ung tien disusun adalah pada sekitar tahun 735-812 M, sementara Zhu Fan Zhi disusun antara tahun 1170-1231 M, jadi setidaknya ada interval waktu sekitar lebih dari 300 tahun.

Jadi bisa kita simpulkan bahwa di sekitaran abad 6 hingga abad 9 letak Ho-ling atau She-po berada di wilayah Sulawesi selatan hari ini, dan pada sekitar abad 12-13 atau lebih, Ho-ling atau She-po berada di wilayah Sulawesi tenggara hari ini.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa wilayah Provinsi Sulawesi selatan dan sebagian wilayah Provinsi Sulawesi tenggara pada masa lalu merupakan bagian dari wilayah kedatuan Luwu (hal tersebut setidaknya dapat lihat dari informasi peta di bawah).

Pada peta ini terlihat sebagian wilayah Sulawesi tenggara masuk dalam wilayah kedatuan Luwu. ((sumber: William H. Frederick & Robert L. Worden. Indonesia: a country study. Federal Research Division Library of Congress, 2011. hlm. 32) )
Pada peta ini terlihat sebagian wilayah Sulawesi tenggara masuk dalam wilayah kedatuan Luwu. ((sumber: William H. Frederick & Robert L. Worden. Indonesia: a country study. Federal Research Division Library of Congress, 2011. hlm. 32) )

Dengan demikian fakta bahwa dua nama raja Ho-ling atau She-po yang terindikasi kuat disebutkan dalam silsilah kedatuan Luwu yakni: Ratu Sima yang identik dengan nama Simpurusiang dan T'ien-pao yang identik dengan nama Tampa Balusu, dapat dianggap tetap sejalan terhadap fakta dalam buku  Zhu Fan Zhi yang mengindikasikan She-po berada di wilayah Sulawesi tenggara.

Kita dapat mengasumsikan bahwa pada sekitar abad ke 13 pusat Ho-ling atau She-po atau yang di kemudian hari dikenal sebagai Kedatuan Luwu berpusat di wilayah yang pada hari ini masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi tenggara.

Dalam sejarahnya, pusat Kedatuan Luwu sendiri memang tercatat pernah beberapa kali berpindah. Salah satunya adalah di tenggara yakni di Lelewawo. Bisa jadi masih ada tempat lain di Sulawesi tenggara yang pernah menjadi pusat kedatuan Luwu namun hilang dalam catatan sejarah.

Lu-wu disebut sebagai ibukota kerajaan Chen-la

Pada halaman 52, bagian yang membahas Chen-la sebagai toponim yang dianggap sebagai nama kuno Kamboja, disebutkan bahwa Chon-la terletak di selatan Chan-ch'ong; di sebelah timurnya laut; di baratnya P'u-kan; di selatan Kia-lo-hi. Dari Ts'uan-chou, berlayar dengan angin yang baik, dapat mencapai negara ini dalam waktu satu bulan atau lebih. Negara ini mencakup sepenuhnya 7000 persegi li. Ibukota kerajaan disebut Lu-wu. Tidak ada cuaca dingin.

Capture bagian buku Zhu Fan Zhi yang menyebut nama Lu-wu. (Dokpri)
Capture bagian buku Zhu Fan Zhi yang menyebut nama Lu-wu. (Dokpri)

dan berikut ini kurang lebih penjelasan mengenai "Lu-wu" yang terdapat pada bagian catatan kaki: Pada abad ketujuh ibukota Cho-la disebut I-sho-na-ch'ong (...) Nama Lu-wu tampaknya menunjuk ke Lovek [pada googlemap tertulis "Longvek"], reruntuhan kota ini masih terlihat 10 kilometer utara dari wilayah Udong [pada googlemap tertulis Oudongk]. (...) tapi Pelliot, (...) mengatakan bahwa Lovek hanya menjadi ibu kota Kamboja pada abad kelimabelas. Ketika Chau Ju-kua menulis [buku Zhu Fan Zhi ini], katanya, ibukotanya adalah Angkor, dan namanya adalah Kambupuri atau Yacodharapura. (...)

catatan kaki untuk Lu-wu. (Dokpri)
catatan kaki untuk Lu-wu. (Dokpri)

Dari penjelasan catatan kaki mengenai Lu-wu, nampak ketidakjelasan jika Lu-wu pernah digunakan sebagai nama ibukota Kamboja. Anggapan bahwa Lu-wu merujuk pada toponim Lovek juga bisa dikatakan meragukan secara fonetis karena faktanya pada googlemap tertulis "longvek", serta meragukan pula jika ditinjau menurut penentuan waktu.

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa Chen-la yang beribukotakan Lu-wu  yang dimaksudkan Chau ju-kua dalam buku Zhu Fan Zhi tidaklah terdapat di Kamboja, tetapi chen-la tersebut adalah wilayah Cendana yang terdapat di wilayah Parigi Moutong, Sulawesi tengah. 

Dalam tulisan sebelumnya (Hipotesis Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi) telah saya jelaskan pendapat mengenai hipotesis Chen-la yang dimaksud dalam kronik Cina adalah toponim Cendana yang terdapat di wilayah Parigi Moutong, Sulawesi tengah.

Hipotesis letak Chen-la ini sekiranya lebih dikuatkan dengan mencermati informasi catatan dari sejarah Dinasti Sung tentang negeri yang bernama Tan-mei-liu.

Dalam catatan sejarah dinasti Sung letak negeri Tan-mei-liu disebutkan ke timur sampai chen-la 50 pos (hentian); ke selatan sampai Lo-yue 15 pos, menyeberang laut; ke barat sampai Si-t'en 35 pos; ke utara sampai Teh'eng-leang 60 pos, ke tenggara sampai Cho-po 45 pos; ke timur laut sampai kanton 135 pos. (Prof. Dr. Slamet Muljana. Sriwijaya, 2006. hlm. 263)

Dari informasi Dinasti Sung ini dapat kita ketahui bahwa di sebelah barat Chen-la terdapat negeri bernama Tan-mei-liu. Nama negeri ini saya temukan identik dengan toponim malei di tanjung Balaesang, Donggala-Sulawesi tengah, yang secara kebetulan tepat berada di sebelah barat cendana, Parigi Moutong-Sulawesi tengah. 

Suku kata tan di depan Tan-mei-liu kemungkinan sebutan tanjung yang dipendekkan dalam sebutan Cina. Dengan demikian yang hari ini dikenal sebagai Tanjung Balaesang, pada masa lalu mungkin lebih dikenal dengan sebutan tanjung Malei. 

Atau bisa juga tan adalah pemendekan dari sebutan "tana" - jadi Tan-mei-liu adalah transkripsi dari tana malei. opsi ini setidaknya didukung oleh keberadaan toponim tana malei di sekitar wilayah tersebut.

hipotesis Tan-mei-liu sebagai transkripsi dari malei, lebih dikuatkan oleh informasi geografinya yang dalam berita Dinasti Sung disebutkan " ke selatan, menyeberang laut, sampai Lo-yue 15 pos" -yang mana hal ini sesuai benar dengan fakta bahwa sisi selatan malei adalah laut (Selat Makassar), sehingga untuk menuju Lo-yue (daerah disebelah selatan) tentulah mesti menyeberangi laut. 

Untuk mencermati letak geografi malei atau tanamalei terhadap cendana dapat dilihat pada peta berikut ini...

Hipotesis Cendana sebagai Chen-la lebih dikuatkan dengan keberadaan malei atau tanamalei yang identik dengan toponim Tan-mei-liu yang dalam kronik Cina disebut berada di sebelah barat Chen-la. (Dokpri)
Hipotesis Cendana sebagai Chen-la lebih dikuatkan dengan keberadaan malei atau tanamalei yang identik dengan toponim Tan-mei-liu yang dalam kronik Cina disebut berada di sebelah barat Chen-la. (Dokpri)

Demikianlah, seluruh uraian di atas bisa dikatakan lebih menguatkan hipotesis Chen-la sebagai toponim di pulau Sulawesi dibandingkan dengan anggapan banyak ahli sebelumnya, yakni Chen-la sebagai kerajaan yang memerintah di Kamboja setelah masa Fu-nan.

George Coedes sendiri menyatakan "Nama Chen-la yang oleh China selalu dipakai untuk Kemboja, sampai sekarang masih juga tidak terjelaskan: Tidak ada kata Sanskerta atau Khmer yang sesuai ucapan lamanya t'sien-lap." (bentuk t'sien-lap adalah dugaan penyebutan Chen-la dalam aksen Khmer). (George Coedes. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha: 1964; 2017, hlm. 103)

Dengan demikian "Lu-wu" yang disebut sebagai nama ibukota Chen-la dalam buku  Zhu Fan Zhi besar kemungkinannya lebih merujuk pada eksistensi nama Luwu yang jelas memiliki catatan sejarah yang sangat panjang di pulau Sulawesi.

Dapat dikatakan jika situasi yang dialami Chau ju-kua dalam menyusun buku Zhu Fan Zhi (pada abad ke-13) terutama dalam pembahasannya tentang negara-negara yang eksis pada 400 hingga 600 abad sebelum masanya, lebih bersifat dugaan karena ketidakjelasan data. Situasi ketidakjelasannya bisa dikatakan persis seperti yang kita rasakan pada hari ini ketika mencoba merekonstruksi peristiwa sejarah yang berlangsung 400-600 tahun yang lalu dari masa sekarang.

Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.

baca juga:


Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa.
Fadly Bahari - Palopo, 14 April 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun