merupakan Lanjutan pembahasan dari tulisan sebelumnya:Â
Filosofi "Bangsa Matahari" dan Nusantara sebagai "Negeri Saba" Menurut Beberapa Catatan Kuno
Di wilayah timur jauh tempat bersemayamnya Helios sang Dewa Matahari dalam mitologi Yunani, terdapat banyak toponim dan etnonim yang menggunakan kata "Mori". Seperti Suku Maori (penduduk asli Selandia Baru), Suku Mori di Sulawesi tengah, Pulau Mori di muara sunga Malili di Luwu Timur, dan Puncak Nene' Mori yang merupakan puncak kedua tertinggi di pegunungan Latimojong setelah puncak Rante Mario.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin membawa pembaca untuk terlebih dahulu memahami filosofi "Bangsa Matahari" yang mendasari lahirnya mitologi Dewa Matahari, yang dalam kurun waktu ribuan tahun perjalanan peradaban manusia, terus eksis, hadir di peradaban berbagai bangsa dengan sebutan yang berbeda-beda.
Kita patut bersyukur karena pemahaman filosofi yang mendasari spirit peradaban manusia selama ribuan tahun itu dapat kita temukan terekam dalam catatan Himne tertua Veda, yakni pada himne 1.115 Rgveda yang menyebutkan Surya sebagai penghormatan khusus untuk "Matahari Terbit" dengan simbolismenya sebagai penghilang kegelapan, orang yang memberdayakan pengetahuan, kebaikan dan semua kehidupan. Untuk diketahui, dalam tradisi Hindu, Surya berkonotasi Dewa Matahari. (Roshen Dalal, Hinduism: An Alphabetical Guide, 2011).
Hal terpenting untuk dicermati dari Rekaman Himne tertua Veda di atas, adalah pada kalimat "sebagai penghormatan khusus untuk Matahari terbit", karena ini mesti kita cermati bahwa dari kesemua rentang waktu posisi matahari di langit pada siang hari, hal yang paling dikhususkan terletak pada posisi waktu ia terbit, yang dalam perbendaharaan Bahasa kita kenal dengan sebutan "pagi".
Seorang teman saya di Facebook yang bertempat tinggal di Singaraja Bali, mengatakan Di bali setiap perande, peranda, atau pedanda (pendetanya orang Bali) memiliki kewajiban "nyurya sewana" di pagi hari memuja matahari yang baru terbit.Â
Beliau juga mengatakan bahwa Orang bali kebanyakan menyebut perandenya (pendétanya) dengan sebutan "suryan tityangé" (matahari saya) atau bisa diartikan "wakil saya memuja matahari". Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa sikap penghormatan khusus untuk Matahari terbit" hingga kini masih lestari dalam kebudayaan masyarakat Bali.
Bangsa Phoenicia yang berjiwa Matahari dan Poni sebagai bentuk asal nama Phoenicia yang berarti "pagi"
Dalam tulisan sebelumnya Filosofi "Bangsa Matahari" telah saya urai bahwa banyak bangsa besar di masa lalu yang menunjukkan identitasnya sebagai pemuja Dewa Matahari. Seperti Bangsa India, Mesir kuno, Babilonia, Yunani kuno, Maya, hingga orang-orang Polinesia.
Terkhusus Bangsa Phoenicia, identitas mereka tergambar jelas pada pengistilahan nama kawasan mereka bermukim di ujung timur Laut Mediterranean, yang menghadap ke arah barat, yang disebut sebagai "Laut Matahari Terbit". Jelas terlihat bahwa atribut "pagi" melekat sebagai "jati diri mereka". Senantiasa mereka bawa kemana saja mereka pergi. Hal ini tidak lain, adalah karena mereka bangsa berjiwa Matahari.
Dari identitas "Pagi" yang ditonjolkan Bangsa Phoenicia inilah yang kemudian menimbulkan asumsi saya bahwa identitas semacam ini mestinya pernah digunakan dan melekat pada komunitas masyarakat di timur jauh sebagai wilayah paling awal matahari terbit.
Dan ternyata asumsi tersebut terbukti benar adanya. Setelah saya mencermati etimologi beberapa toponim di wilayah timur jauh dalam hal ini wilayah Nusantara, saya temukan beberapa toponim ataupun etnonim memang menunjukkan pemaknaan "pagi", bahkan melalui metode pencermatan morfologi Bahasa dengan menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris (telah saya ulas dalam tulisan lain, silahkan baca: di sini dan di sini), kata Poni yang merupakan bentuk dasar dari nama bangsa Phoenicia menunjukkan makna "pagi".
Berikut ini penjabarannya...
Bentuk nama Phoenicia dalam Yunani kuno adalah "Phoinikes", sementara dalam Latin adalah "Poeni". Dari kedua bentuk ini, dapat kita asumsikan bentuk sederhananya adalah "Poni".
Melalui metode pencermatan morfologi Bahasa dengan menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari morfologi kata "Poni" adalah: poni - poli - pori - podi - poti - boni - boli - bori - bodi - boti - woni - woli - wori - wodi - woti - moni - moli - mori - modi - moti.Â
Dari kesemua variasi bentuk morfologi yang dihasilkan di atas, beberapa diantaranya dapat kita temukan digunakan di Nusantara, terutama di pulau Sulawesi, yaitu: poni, poli, boni, boli, woli, woti, moni, dan mori.
Bentuk "Po-ni, Po-li, Bo-li dan Bo-ni" oleh para ahli sejarah Asia tenggara dari abad 19 hingga abad 20 dianggap sebagai bentuk transkripsi dari nama kerajaan di suatu wilayah di kepulauan laut selatan (Nusantara) yang disebutkan I-Tsing (seorang biksu asal Cina yang mengunjungi Nusantara sekitar tahun 671 M). kata "Boni" juga dapat kita temukan digunakan dalam peta-peta eropa untuk menyebut "teluk bone" yakni "Gulf of Boni".
Betuk "Woli" dapat kita duga memiliki keterkaitan dengan bentuk Wolio, yakni nama kecamatan di pulau Buton.
Bentuk "Woti" dapat kita duga memiliki keterkaitan dengan nama danau Towoti di Luwu Timur. "To" pada dasarnya berarti "orang" dalam Bahasa daerah setempat. Jadi "To Woti" artinya "orang Woti".
Pemaknaan "Woti" di atas dapat pula kita terapkan pada bentuk "Moni," yang kuat dugaan saya memiliki keterkaitan dengan "Tomoni" yang merupakan nama kecamatan di Luwu Timur. Bahwa "To Moni" dapat berarti "Orang Moni".
Bentuk "Mori" sendiri merupakan nama pulau di sekitar muara sungai Malili, dan juga merupakan nama suku atau penduduk asli di wilayah Sulawesi tengah.
Lalu pertanyaannya, dari manakah kita dapat mengetahui bahwa kesemua bentuk diatas memiliki makna "Pagi"?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat merujuk keberadaan kata "Bohni" atau "Boni" yang berarti penjualan pertama di pagi hari dalam tradisi komersial di wilayah India Utara dan Pakistan.
Jejak lainnya, dapat kita lihat pada ucapan selamat pagi orang Maori (penduduk asli Selandia Baru) yaitu "Mrena", yang identik dengan bentuk "morning" dalam bahasa Inggris, yang pada situs merriam-webster.com dijelaskan bahwa bentuk dasar kata "morning" adalah: "morn" yang mendapat suffix -ing.
Kita dapat melihat bahwa istilah "Bohni" atau "Boni" dalam tradisi komersial di wilayah India Utara dan Pakistan, bentuk "Morena" dalam Bahasa Suku Maori, dan bentuk "Morn" dalam Bahasa Inggris, merupakan bentuk morfologi dari "Boni" dan "Mori" yang bukan saja mengalami perubahan fonetis tapi juga mengalami pergeseran makna.
Bentuk Mori dan Boni yang bermakna "pagi", yang secara umum terlihat digunakan di wilayah Nusantara, di sisi lain memiliki keterkaitan dengan sebutan "Sabah" yang dalam Bahasa arab berarti: "Pagi".
Demikianlah, Wilayah Nusantara yang kita duga bersama sebagai "Negeri sabah," akan menemukan kejelasannya ketika kita memahaminya dengan makna "Negeri Pagi".
Beragamnya sebutan untuk menyebut Nusantara sebagai "Negeri pagi" sejak masa kuno, menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki berlapis-lapis stage peradaban. Dapat diduga terentang dalam kurun waktu ribuan tahun.
Nusantara sebagai "Negeri pagi" dapat pula kita temukan ilustrasinya pada motif ukuran pada rumah-rumah di Toraja yang melukiskan "simbolisasi pagi" dengan figur Ayam jantan dan Matahari. Selain itu, terdapatnya nama Makale (ibukota kabupaten Tana Toraja) mestinya dapat pula dipertimbangkan, karena dalam Bahasa lokal, makale artinya "pagi".
Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H