Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rekonstruksi Pemahaman tentang "Sawerigading"

23 Februari 2019   21:52 Diperbarui: 24 Februari 2019   12:53 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan kisah kepahlawanan tokoh mitologi Sawerigading yang terdapat dalam naskah kuno I La Galigo (sumber: Kompas.com)

Sawerigading adalah salah satu nama tokoh sentral dalam cerita naskah I La Galigo. Anak dari Batara Lattu', cucu dari Batara Guru, dan ayah dari La Galigo. Keempat nama inilah yang mengisi silsilah Raja-Raja Luwu, yang secara khusus ditempatkan dalam periode mitologi.

Dalam tradisi Luwu dan Bugis pada umumnya, Sawerigading diartikan "keluar atau terlahir dari batang bambu".

Tapi, dalam naskah disertasi Andi Zainal Abidin Farid yang berjudul "Wajo' Pada Abad XV-XVI - Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara'" (1979) hlm. 382, diurai bahwa Lontara sejarah beberapa kerajaan seperti Soppeng, Bone, Pammana, otting, Lamuru, Mampu, Bulo-Bulo, Sidenreng, dan konon juga Batu, serta suppa', memuat kisah raja pertama yang "turun dari langit" atau "menetas dari ruas bambu gading" ataupun "yang muncul dari busa air".

Juga buku sejarah Buton yang ditulis dengan huruf Arab berbahasa Wolio, yang tersimpan di Kantor Kebudayaan Kabupaten Buton, melukiskan ratu pertama di wolio Buton yang digelar wa Kaka sebagai "puteri yang keluar dari bambu gading".

Mencermati fakta ini, membuat saya yakin bahwa sebutan "Sawerigading" pada dasarnya merupakan sebuah bentuk ungkapan, bisa dikatakan sebagai sebuah gelar, dengan kata lain bukanlah sebuah nama tokoh yang nyata keberadaannya.

Pertanyaannya, jika itu sebuah ungkapan, apa makna yang dikandung di dalamnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan membawa pembaca untuk memahami tanaman bambu terlebih dahulu, karena dengan memahami hal ini, pembaca akan dengan mudah menangkap maksud penjelasan saya nantinya.

Bambu adalah tanamanan yang unik. Ketika bambu ditanam, pada tahun pertama hingga tahun ke empat ia memperlihatkan pertumbuhan yang sangat lambat. Bagaimana pun kita menyiram dan merawatnya, sepanjang masa itu, tak banyak berkembangan yang dinampakkannya. Orang yang menanam mungkin akan terkecoh, merasa dirinya telah gagal menanam pohon bambu tersebut.

Sebenarnya, itu karena pada empat tahun pertama tersebut bambu memperkuat struktur akarnya, mengeraskan tanah dan mengambil ruang bersaing dengan tanaman lain. Setelah pertumbuhan akar sudah rampung, memasuki tahun ke lima atau masa dewasanya, barulah bambu menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat, bisa mencapai pertumbuhan 60-100 cm per-hari.

Proses kehidupan pohon bambu ini mengandung filosofis buat manusia, yakni betapa fondasi yang kuat sangat diperlukan.

Ketika telah memiliki struktur akar yang kuat, bambu yang tergolong tanaman rumput, akan menjadi rumput yang berbeda. Tingginya bisa terentang dari 30 cm hingga 30 meter. hingga potensi dan Kegunaan yang ditimbulkannya, membuatnya memiliki nilai tersendiri. Dari hal ini, manusia bisa mengambil pelajaran bahwa latar belakang bukanlah penentu, melainkan bagaimana kita berupaya mempersiapkan dan mengekspresikan potensi diri, Itulah yang akhirnya membuat kita menjadi pribadi luar biasa.

Dalam khazanah kesusastraan Makassar (Sulawesi Selatan), terdapat jenis kesusastraan klasik yang mengandung ajaran moral. Masyarakat menyebut atau menamakan jenis kesusastraan ini dengan nama pappasang atau sering disingkat pasang ("pesan" jika dalam Bahasa Indonesia). Berikut ini adalah pappasang yang menggunakan bambu sebagai latar belakang filosofinya:

"Abbulo sibatang paki antu, mareso tamattappu, nanampa nia sannang ni pusakai". (Artinya: Jadilah seperti sebatang bambu, yang mengusahakan sesuatu secara diam-diam dengan tidak menyebutkannya, hingga kemudian memiliki kesejahteraan yang bisa diwariskan)

Pappasang (ajaran moral) ini, nampaknya menimba pesan moral dari pertumbuhan bambu tahun pertama hingga tahun keempat, yaitu dalam masa pertumbuhan struktur akar, yang pada masa itu kelihatannya tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan batang yang signifikan di permukaan. Hingga setelah memasuki tahun kelima yaitu masa dewasanya, barulah bambu kemudian memperlihatkan pertumbuhan yang sangat pesat.

Jadi, saya pikir, penyampaian Pappasang (ajaran moral) tersebut harus diikuti dengan penuturan fase hidup tanaman bambu, agar pendengarnya dapat mencerna dengan mudah maksud dari ajaran moral yang ingin disampaikan. Jika sekedar pappasang itu saja, saya yakin, yang tidak mengetahui fase hidup tanaman bambu tak akan mengerti maksud sebenarnya.

Sepanjang sejarah, bambu telah disimbolkan banyak hal yang berbeda pada berbagai Negara. Di Cina bambu melambangkan umur panjang karena kekuatannya, ketahanan, kemampuan beradaptasi dan daya tahan untuk bertahan hidup dalam kondisi paling keras dan masih bertahan dan berkembang.

Dalam kebudayaan Cina, Bambu adalah salah satu dari  "empat kemuliaan" (bambu, anggrek, bunga plum dan krisan). Bambu memainkan peranan penting dalam budaya tradisional Cina, bahwa ia dianggap sebagai model perilaku manusia. Bahwa Bambu memiliki fitur seperti kejujuran, keuletan, kelapangan hati, ketulusan, keanggunan, meskipun tidak kuat secara fisik.

Di Cina, ada banyak puisi metafora tentang Bambu yang ditulis oleh penyair Cina kuno. seorang penyair kuno, Bai Juyi (772-846), berpikir bahwa untuk menjadi sosok yang dihargai dan memiliki kemuliaan, seorang pria tidak perlu kuat secara fisik, tapi ia harus kuat mental, tegak, dan gigih. Sama seperti bambu yang berongga, Dia harus membuka hatinya untuk menerima apapun yang bermanfaat dan tidak pernah memiliki kesombongan atau prasangka.

Banyak budaya Asia memiliki legenda dan keyakinan di seputaran tentang bambu. Selain penuturan Orang Luwu, yang mengatakan leluhurnya (Batara Guru) muncul dari batang bambu, ternyata, hal ini ada kesamaan dengan kepercayaan orang Andaman, yang menganggap bahwa manusia pertama lahir di dalam sebatang bambu besar.

Selanjutnya, Orang China pun juga memiliki penuturan kisah leluhur seperti itu. Hanya saja, disana, mereka menyebutnya muncul dari sesuatu yang mirip tunas bambu (rebung). Lalu, ada juga sebuah legenda di Malaysia, juga bercerita tentang bagaimana seorang pria menemukan seorang wanita di dalam sebuah batang bambu.

Demikianlah, dari kesemua uraian di atas, secara intuitif, saya menangkap kemungkinan bahwa yang dimaksud "keluar atau terlahir dari batang bambu" dalam mitologi leluhur atau manusia pertama di berbagai daerah tersebut, bisa jadi bermakna bahwa leluhur atau manusia pertama itu adalah sosok yang penuh perjuangan dalam proses awal merintis kehidupannya dan kehidupan di sekitarnya. Hingga akhirnya berhasil dan menjadi figur yang sangat dihormati oleh pengikutnya atau masyarakat di sekitarnya.

Dengan kata lain, kemungkinan perspektif orang zaman dahulu ketika melihat sosok yang tekun dan sabar dalam suatu usaha lalu kemudian berhasil, seperti melihat sosok yang menetas atau lahir dari bambu. Inilah saya pikir makna sesungguhnya dari sebutan SAWERIGADING: "keluar atau terlahir dari batang bambu". Dan jika kita cermati, pemaknaan ini jelas memiliki keterkaitan dengan pappasang ""Abbulo sibatang paki antu, mareso tamattappu, nanampa nia sannang ni pusakai" yang telah kita urai penjelasannya di atas.

Kita dapat melihat "Sawerigading" atau "terlahir dari batang bambu" sebagai sebuah bentuk ungkapan "kelahiran simbolis".

Contoh pernyataan "kelahiran simbolis" lainnya dapat kita temukan diucapkan dalam film Mongol yang bercerita tentang tokoh legendaris "Genghis Khan" atau Temujin. Dalam film tersebut, terdapat scene dimana seorang dukun perempuan berkata kepada temujin kecil bahwa ia baru beberapa hari yang lalu terlahir di padang rumput (merujuk pada situasi temujin yang seorang diri di tengah padang rumput setelah berhasil menyelamatkan diri dari kawanan musuh yang menghancurkan desanya serta membunuh kedua orang tuanya).

"pelaut ulung tidak lahir dari laut yang tenang" juga bisa dikatakan sebagai wujud ungkapan "kelahiran simbolis".

Jadi, sekali lagi, SAWERIGADING pada dasarnya adalah sebuah gelar atau julukan.

Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun