Bahasa pada dasarnya adalah: "kumpulan nama-nama".Â
Dengan kata lain, semua "kata" yang kita kenal di dalam bahasa, pada dasarnya merupakan:Â
- nama-nama benda (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata benda)
- nama-nama tindakan (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata kerja)
- nama-nama sifat (dalam ilmu tata bahasa dikelompokkan dalam golongan kelas kata sifat).
Suatu hal menarik, karena pemahaman bahwa bahasa sebagai "kumpulan nama-nama," rupa-rupanya telah pula dimiliki oleh leluhur kita jauh di masa lalu. Hal ini dapat kita temukan buktinya pada bahasa tae' (bahasa tradisional yang pada umumnya digunakan orang Luwu dan Toraja di Sulawesi Selatan), yakni pada kata "sanga"Â yang bermakna: "kata" dan juga "nama", tergantung penempatannya pada bentuk kalimat mana ia digunakan.Â
Contoh pertama: apa na sanga? -Â artinya: apa katanya? (pada contoh kalimat ini "sanga" bermakna "kata", yang mana kita ketahui bahwa "kata" adalah satuan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri).Â
Contoh kedua: inda sanganna? -Â Artinya: siapa namanya? (pada contoh kalimat ini "sanga" bermakna "nama").Â
Dari uraian ini, dapat kita lihat bahwa dengan cara yang unik, bahasa tae' menunjukkan kepada kita bahwa "kata" dan "nama" adalah leksikon yang identik satu sama lain.
"Nama" atau "kata" inilah yang jika disusun sedemikian rupa dapat memunculkan "makna" -yang berwujud: sebagai sebuah pesan dalam kegiatan berkomunikasi; dan, sebuah struktur logika dalam kegiatan berpikir. Dengan kata lain, Bagi manusia, guna bahasa bukan hanya untuk berkomunikasi tapi juga untuk berpikir.
Ada beberapa tokoh pemikir berpengaruh yang tampil menunjukkan bahwa "pikiran dan bahasa" sebagai hal yang sama. Antara lain: Plato, Kant, Watson, Wittgenstein, dan Humboldt.
Humboldt misalnya, mencatat bahwa "Language is the formative organ of thought... Thought and language are therefore one and inseparable from each other." Yang kurang lebih artinya: bahasa adalah formatif organ pemikiran... Karena itu pikiran dan bahasa adalah satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Jerry Fodor dalam bukunya The Language of Thought (1975), untuk pertama kali, memperkenalkan The language of thought hypothesis (LOTH), yakni sebuah hipotesis bahwa representasi mental memiliki struktur linguistik, atau dengan kata lain, pemikiran itu terjadi dalam bahasa mental.
Bisa jadi inilah makna dari Surat Al-Baqarah Ayat 31: "Dan Dia mengajarkan kepada Adam semua nama..." yang pada dasarnya sama dengan mengajarkan Adam berbahasa.
Fungsi Bahasa
Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa (divine teachers). Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language). Terkait hal ini, Dalam tulisan yang lain, telah saya ulas suatu dugaan bahwa figur Batara Guru tidak lain adalah personifikasi dari Nabi Adam. (baca: di sini)
Demikianlah, setelah Nabi Adam turun ke bumi, ia mengajarkan manusia bahasa, yang merupakan kebutuhan utama yang memungkinkan manusia dapat merintis peradaban di muka bumi. Ini karena dengan bahasalah kemampuan kognisi manusia dapat bekerja dengan sangat baik.
Yuval Noah Harari dalam bukunya "Sapiens"Â mengatakan: Homo Sapiens menaklukkan dunia terutama berkat bahasanya yang unik. Lebih lanjut Yuval mengatakan bahwa bahasa manusia yang luar biasa luwes yang mungkin menyebabkan penggunaannya sesuai fungsinya sebagai instrument berpikir sekaligus berkomunikasi dapat berlangsung mulus dan selaras.
Ini memungkinkan manusia dapat mengutarakan apa yang dia pikirkan secara lugas. Dengan demikian, ketika dua orang manusia berkomunikasi, kita sebut itu kegiatan "bertukar pikiran," yang di sisi lain dapat pula kita asumsikan sebagai kegiatan membangun ingatan kolektif.
Dalam kurun waktu yang sangat lama, kegiatan bertukar pikiran atau kegiatan membangun ingatan kolektif - yang terus mengalir - dan melibatkan banyak pihak yang memiliki kemampuan analisa berpikir, wawasan dan pengalaman yang beragam - mengakibatkan perbendaharaan bahasa yang awalnya sederhana, secara bertahap berevolusi menjadi sangat kompleks (Terlebih, ketika "makna" menjadi subyek analisis bahasa dari para peserta tersebut).
Perbendaharaan "nama" atau "kata" dalam bahasa menjadi sangat banyak, yang seiring dengan itu kompleksitas berpikir manusia peserta kegiatan "bertukar pikiran" atau kegiatan "membangun ingatan kolektif" pun berada di tingkat yang lebih rumit dibandingkan peserta kegiatan di tahap-tahap awal.
Di titik ini, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya bahasa di satu sisi memungkinkan manusia berpikir secara individu dan di sisi lain memungkinkan manusia berpikir secara kolektif. Pada tataran dimana manusia berpikir secara kolektif, bangunan "rekaman pengetahuan" dapat diilustrasikan sebagai suatu jaringan yang menghubungkan seluruh ingatan manusia dari masa lalu hingga masa yang akan datang.
Luar biasa kompleks dan sangat massive. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pierre Teilhard de Chardin (Seorang filsuf idealis Prancis, merupakan profesor geologi di Institut Catholique di Paris, dan dikenal sebagai Pastor Jesuit, paleontolog, dan paleoanthropologist) tentang konsep noosphere.
Teilhard (The phenomenon of man : 1959) berhipotesis tentang adanya suatu arah dalam evolusi sepanjang poros peningkatan Kompleksitas/ Kesadaran. Noosfer atau Noosphere adalah lingkup pemikiran yang melingkupi bumi yang muncul melalui evolusi sebagai konsekuensi dari pertumbuhan kompleksitas/kesadaran ini. Oleh karena itu noosfer adalah bagian dari alam seperti barysphere, litosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer.Â
Akibatnya, Teilhard melihat fenomena sosial adalah puncak dan bukan atenuasi fenomena biologis. Fenomena sosial ini adalah bagian dari noosfer dan termasuk, misalnya, sistem hukum, pendidikan, agama, penelitian, industri dan teknologi. Menurut Teilhard de Chardin, noosfer muncul melalui dan didasari oleh interaksi pikiran manusia.
Sir Julian Huxley dalam kata pengantarnya dalam buku "The phenomenon of man" mengomentari: Dalam Le Phnomne Humain (hlm. 201) ia [Teilhard] merujuk noosphere sebagai lapisan atau membran baru di permukaan bumi, sebuah "lapisan pemikiran" yang ditempatkan di atas lapisan hidup biosphere dan lapisan tak bernyawa dari bahan anorganik, lithosphere (...)
Teilhard mengusulkan bahwa jika kehidupan terus ada maka planetisasi, sebagai proses biologis menghasilkan otak global, yang tentu juga akan menghasilkan pikiran global, yaitu: tingkat kesadaran planet baru dan jaringan pemikiran yang didukung teknologi, yang kemudian disebutnya sebagai noosfer. Oleh sebagian kalangan, lapisan teknologi yang diusulkan Teilhard ini diartikan sebagai suatu antisipasi dini dari kemunculan Internet dan Web.
Tapi, dari perspektif mana sesungguhnya konsep Teilhard ini berkembang?
Saya melihat bahwa tampaknya itu dimulai dari pandangan absolutnya tentang evolusi, yang menurutnya akan menuju ke satu arah. Teilhard menyebut titik akhir evolusi alam semesta itu sebagai "Omega Point".
Teilhard merumuskan pemahaman gagasannya dalam bentuk persamaan sebagai berikut: Evolution = Rise of consciousness; Rise of consciousnesss = Union effected.
 "Rise of consciousness" yang dianggap sebagai Persamaan "Evolution" bisa dikatakan suatu wujud respons yang dimunculkan berbagai objek di alam (organik ataupun anorganik), terhadap setiap fenomena kejadian yang berlaku disekitarnya berdasarkan hukum sebab akibat.
Saya menduga kesadaran yang dimaksud, adalah apa yang dalam terminology Islam dikenal sebagai "Sunnatullah"Â yaitu hukum ketetapan Allah.
Beberapa ayat dalam Al Quran yang membahas tentang Sunnatullah antara lain:
- Surat Al Fath ayat 23: "Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu."
- Surat Al Kahfi ayat 84: "Kami datangkan bagi setiap sesuatu dengan adanya sebab."
- Surat Al-Furqan ayat 2: "Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."
- Surat Al-Qamar ayat 49: "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."
Adapun maksud dari "Union effected"adalah kolaborasi hukum- hukum alam (Sunnatullah) dalam satu irama keteraturan yang absolut. Demikianlah, Evolusi alam semesta dapat dikatakan merupakan wujud mekanisme hukum alam (Sunnatullah).
Bisa jadi apa yang dimaksudkan sebagai Noosfer oleh Teilhard, adalah Catatan Akashic (Akashic Records) yang dikenal dalam teosofi dan anthroposophy -- ataupun "Lauh Mahfudz" yang dalam tradisi Islam dipercaya merupakan kitab (catatan) di mana Allah menulis takdir seluruh makhluk sebelum mereka diciptakan.
Catatan Akashic (Akashic Records) dalam teosofi dan anthroposophy dipercaya mengandung ringkasan semua peristiwa manusia, pikiran, kata-kata, emosi, dan niat yang pernah terjadi di masa lalu, sekarang, atau masa depan. Akashic berasal dari kata Sanskrit akasa yang bermakna: "aether".
Menurut Ormond McGill (1979) dalam bukunya "Hypnotism Amd Mysticism Of India," : dalam substansi tak terbatas dari akasha ada apa yang disebut "The Akashic Records." Ini adalah catatan kejadian masa lalu dan berbagai hal ihwal lainnya yang dicantumkan pada substansi halus dari akasha. Persis seperti yang sesungguhnya, sebagaimana peristiwa masa kini yang dapat difoto pada film film.Â
Para Magician mengatakan, catatan-catatan ini dapat direproduksi untuk dilihat dengan cara yang sangat mirip dengan menampilkan film. Sama seperti yang dijelaskan oleh Sadhu Parimal Bandhu: Segala sesuatu yang pernah terjadi, setiap peristiwa, setiap kejadian, setiap tindakan, dinyatakan oleh serangkaian catatan pada substansi Akasha Universal yang melingkupi semua ruang.Â
Dalam ruang rekaman Akashic, ada catatan-catatan yang tidak dapat binasa tentang setiap kejadian yang pernah terjadi di Alam Semesta. The Askashic Records mewakili "memory" dari substansi universal, seperti catatan di sel otak seseorang yang dapat menyimpan ingatan, atau komputer yang memiliki "memory banks".Â
Masih menurut Ormand McGill, di bank-bank memori besar di alam semesta terdaftar dan tersimpan semua catatan tak terbatas dari semua yang telah terjadi sebelumnya.
Seseorang yang dengan pengembangan yang tepat dari kekuatannya dapat memperoleh akses ke catatan-catatan ini, dan dapat membacanya seperti halaman-halaman sebuah buku. Sama seperti film film bioskop modern yang merekam dan mereproduksi gambar peristiwa yang dapat ditampilkan ulang pada saat peristiwa yang asli sudah lama hilang...
Dalam Al Quran terdapat beberapa ayat yang membahas mengenai Kitab "Lauh Mahfuzh"Â antara lain:
- Surat Al Hadid ayat 22-23:Â "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."
- Surat Al An'am ayat 59:Â "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
- Surat Hud ayat 6: "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
- Surat Al Naml ayat 75: "Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)."
Jika Noosfer, The Akashic Records, dan Lauh Mahfuzh memang sama adanya, maka dapat diduga manusialah yang mengunggah informasi data melalui kegiatan pikirannya. Asumsi ini merujuk pada teori Teilhard bahwa noosfer muncul melalui dan didasari oleh interaksi pikiran manusia.Â
Tapi, jika merujuk pada Surat Al Hadid ayat 22-23 dan Surat Al An'am ayat 59, Â maka dapat dipastikan kitab induk Lauh Mahfuzh telah ada jauh sebelum manusia ada di muka bumi, bahkan jauh sebelum lapisan hidup Biosphere mulai terbentuk.Â
Titik temu yang mungkin bisa dimunculkan dalam hal ini adalah bahwa Lauh Mahfuzh sebagai pusat server informasi alam semesta telah memang tersedia ketika dunia ini diciptakan -- manusia hadir di bumi dan mulai mengisinya data riwayat, dikarenakan perangkat berpikir manusia yakni otak, terkoneksi ke pusat server alam semesta tersebut. Jadi, Lauh Mahfuzh bukan saja berisikan data riwayat manusia saja, tapi seluruh hal yang berlaku di jagad raya ini sejak mulai diciptakan Allah SWT.
Sebagai pusat server alam semesta Lauh Mahfuzh bukan hanya mencatat semua hal yang terjadi di jagad raya, tetapi bekerja layaknya pusat informasi yang dapat di akses manusia melalui kegiatan berpikir di perangkat otaknya.
Bisa dikatakan pada saat berpikir itu kegiatan upload dan download data kita lakukan dalam saat yang bersamaan. Apapun hal yang kita olah dalam proses berpikir sifatnya adalah kegiatan upload, sedangkan ide yang kita dapat dalam proses berpikir, itulah yang kita download.
Mengenai fakta fungsi bahasa sebagai instrument berpikir manusia, mungkin akan timbul pertanyaan; apakah informasi data yang dapat kita akses di Lauh Mahfuzh hanyalah data informasi yang ter-upload dari bahasa yang kita ketahui saja? Jawabnya, tentu saja tidak.
Menurut riset terbaru, diperkirakan ada 7000 bahasa yang ada di dunia saat ini. Namun pun demikian, dari literatur yang ada, kita ketahui bahwa pada awalnya manusia berbicara dalam satu bahasa. Hal ini dikisahkan Al Kitab Kejadian 11 (1-9):
Pada awalnya, orang-orang di seluruh dunia hanya memiliki satu bahasa dan menggunakan kata-kata yang sama. Saat orang bergerak ke arah timur, mereka menemukan dataran di Shinar dan menetap di sana.Â
Mereka berkata satu sama lain, "Ayo, mari kita membuat batu bata dan memanggangnya secara menyeluruh." Mereka menggunakan batu bata, bukan batu, dan ter untuk mortir.Â
Kemudian mereka berkata, "Mari, mari kita membangun sebuah kota, dengan menara yang mencapai ke langit, sehingga kita dapat membuat nama untuk diri kita sendiri, jika tidak kita akan tersebar di seluruh permukaan bumi."Â
Tetapi TUHAN turun untuk melihat kota dan menara yang dibangun orang-orang. Tuhan berkata, "Jika sebagai satu orang yang berbicara bahasa yang sama mereka telah mulai melakukan ini, maka tidak ada yang mereka rencanakan untuk dilakukan tidak mungkin bagi mereka. Ayo, mari kita turunkan dan membingungkan bahasa mereka sehingga mereka tidak akan saling memahami."Â
Jadi, Tuhan menyebarkan mereka dari sana ke seluruh bumi, dan mereka berhenti membangun kota. Itulah sebabnya mengapa kota itu disebut Babel, karena di sanalah Tuhan membingungkan orang-orang dengan bahasa yang berbeda. Dengan cara ini dia menyebarkannya ke seluruh dunia.
Saya berpikir bahwa tentunya setiap morfologi bahasa yang terjadi dari sejak awal hingga hari ini, dari satu bahasa menjadi ribuan bahasa, dan bahwa karena hal itu pada dasarnya berlangsung di akal manusia, maka bisa dikatakan semua proses itu terekam juga di pusat server Alam semesta.Â
Jadi apapun bahasa yang digunakan manusia ketika berpikir, pusat server alam semesta akan tetap mengenalinya, lalu mentransformasinya menjadi data informasi yang sifatnya umum, sehingga dapat diakses oleh setiap orang dari beragam pengguna bahasa di dunia.Â
Tentu saja ini hanyalah suatu bentuk perkiraan yang sebisa mungkin diupayakan untuk memahami pusat server alam semesta yang sangat misterius tersebut. Setidaknya pola-pola kerja demikianlah yang dapat kita jumpai dalam kehidupan nyata kita, yaitu pada sistem kerja internet dewasa ini.
Demikianlah, bahasa  sebagai "kumpulan nama-nama" yang diajarkan Sang Pencipta kepada Nabi Adam, menjadi sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan fisik dan metafisik manusia dari awal hingga akhir kehidupan nanti.
Satu hal yang teramat penting, yang saya pikir mesti ditekankan dalam hal ini, adalah bahwa di tahap yang paling awal, bahasa merupakan suatu pemberian langsung dari Tuhan, bukan hadir melalui evolusi dengusan dan erangan orang gua seperti yang menjadi spekulasi beberapa kalangan.
Berangkat dari pemahaman ini, secara holistik, dapat kita lihat bahwa instrumen bahasalah yang memungkinkan manusia dapat membangun peradaban pada titik yang paling awal.
Jadi, ketika dalam berbagai kisah kuno diceritakan bahwa pada tahap-tahap awal kehadirannya di muka Bumi, Nabi Adam mengajari manusia bahasa dan berbicara, maka hal ini dapat kita pahami sebagai wujud dari upaya Nabi Adam membentuk peradaban manusia di muka Bumi di masa-masa yang paling awal.
Demikian ulasan ini. Semoga bermanfaat... Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H