Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

I La, Tanri, dan Petta, Gelar Bangsawan Bugis dan Dewa Tertinggi di Masa Kuno

8 Februari 2019   06:22 Diperbarui: 1 Juli 2021   11:25 2103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Akkadians of Mesopotamia, dan peta wilayah kekasiaran Akkad c. 2350 SM -- 2230 SM (sumber foto: akkadians.htm dan themaparchive.com/)

Bagi orang-orang di Sulawesi selatan, bentuk "I La" bisa dikatakan merupakan bentuk bahasa yang sudah sangat kuno. Bentuk predikat ini umumnya kerap terlihat digunakan pada penyebutan nama kitab terpanjang di dunia " I La Galigo".

Sebenarnya, hingga hari ini, "I" sebagai bentuk predikat masih umum digunakan. Contohnya pada orang Bugis, ketika menyebut nama seseorang. Contoh: I Baso, I Besse, dll. Bentuk "I" dapat pula kita temukan digunakan orang-orang di Bali, ditempatkan di depan nama, seperti; I Made, I Wayan, dsb. 

Sementara itu, bentuk "La" nampaknya pada hari ini lebih dianggap orang di Luwu sebagai gelar sesungguhnya dari para bangsawan, dianggap digunakan oleh para bangsawan sebelum gelar "Andi" menjadi lebih populer.

Baca juga: Pelras dan Serangan Brutalnya pada Kesejarahan Bugis dan Perahu Phinisi

Hal lain yang menarik tentang "I La" adalah karena ternyata bentuk predikat ini rupa-rupanya telah digunakan pula dalam peradaban Akkadia Kuno dan Amorite. Frank Moore Cross (1973) dalam bukunya "Canaanite Myth and Hebrew Epic - Essay in the History of the Religion of Israel" menjelaskan sebagai berikut: ...ila adalah bentuk ejaan dari nama ilahi yang mana banyak ilmuwan memilih bentuk normalnya sebagai / 'ilah /. (...) menunjukkan bentuk predikat dalam Amorite dan Akkadia Kuno. Ila atau Il adalah dewa utama dari Mesopotamia pada periode Pra-Sargonik.

Dalam tata bahasa, predikat merupakan bagian kalimat yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang subjek. Kata predikat berasal dari bahasa Latin praedicatum yang artinya: "apa yang dibicarakan". Dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, predikat harus mengandung unsur verba (kelas kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya). Dari pemahaman prinsip tata bahasa ini, kita dapat melihat adanya kemiripan penggunaan bentuk "La" di dalam aksen bahasa Luwu dengan penggunaan bentuk "La" atau "El" dalam bahasa spanyol. 

Contohnya, untuk mengatakan "si bodoh", orang spanyol menyebut "el estupido", orang Luwu menyebut "la baga" (yang menarik kata "baga" yang dalam bahasa tae' berarti "bodoh," sama dengan kata "baka" dalam bahasa jepang yang juga berarti "bodoh" - kata ini biasanya kita temukan diucapkan dalam film kartun manga, serta juga sering dilontarkan Lara Croft dalam film Tomb Raider). 

Demikianlah, penggunaan bentuk "La" dalam aksen Luwu bisa dikatakan tidak ada bedanya dengan penggunaan bentuk "La" atau "El" dalam bahasa Spanyol, Hanya saja dalam bahasa spanyol terdapat pembagian peruntukan, "El" untuk kata benda maskulin, sementara "La" untuk versi feminin. Di dalam tradisi Luwu sendiri pun dikenal hal demikian. bentuk "La" untuk pria, dan "We" untuk wanita.

Jika "I La" atau "La" sebagai gelar bangsawan di Sulawesi Selatan kita temukan sebagai nama Dewa utama di Mesopotamia, sebagaimana telah diuraikan di atas, maka situasi yang sama, yakni gelar bangsawan Bugis lainnya dapat pula kita temukan digunakan sebagai nama Dewa di wilayah lainnya di masa kuno.

Baca juga: Warisan Budaya dari Tanah Bugis, "I La Galigo"

Di Mesir kuno, nama Ptah dikenal sebagai dewa pencipta. Ia dianggap sebagai arsitek agung alam semesta. Sementara itu, "Petta" sebagai gelar bangsawan dalam tradisi Bugis, bisa kita lihat penggunaannya pada nama pejuang Nasional Andi Pangerang Petta Rani. Gelar Petta masih umum digunakan hingga hari ini.

Di sebelah utara wilayah Mesir, tepatnya diseberang Laut Mediterania, di wilayah yang dikenal sebagai asia kecil, orang-orang Turki kuno mengenal nama "Tanri" atau "Tengri", sebagai dewa utama... (The Cambridge Ancient History vol. I, Part I: Prolegomena and Prehistory. Edited by: I.E.S. Edwards F.B.A, C.J. Gadd F.B.A., dan N.G.L. Hammond F.B.A. - Cambridge University Press, 1970)

Tengri, sebagai kata untuk menyebut dewa atau makhuk surgawi juga dikenal dalam kepercayaan orang-orang Mongol di Asia Tengah. Hal ini terungkap secara jelas dalam sumber sejarah Mongol tertua "The Secret History of the Mongols", bahwa bangsa Mongol pada abad ketiga belas menyembah kekuatan surgawi, yang mereka sebut Mnh Tenger (Surga Abadi) atau Hh Tenger (Langit Biru), Khan (penguasa) Surga abadi, atau Tuhan Maha Segalanya, yang digambarkan sebagai yang tertinggi dari semua makhluk surgawi. Di bawahnya, ada fenomena surgawi lainnya yang dipersonifikasikan sebagai dewa atau Tengri. (Carole Pegg. Mongolian Music, Dance, & Oral Narrative: Performing Diverse Identities - University of Washington Press, 2001)

Di dalam tradisi Bugis pada masa lalu, sebutan Tanri biasanya digunakan khusus bagi mereka yang merupakan keturunan bangsawan saja. Sama seperti nama Baso dan Besse, yang di masa lalu, hanya boleh digunakan oleh keturunan bangsawan saja, sehingga tanpa menggunakan gelaran Opu, andi atau gelar bangsawan lainnya pun, seorang yang menggunakan nama Baso atau Besse sudah dapat dipastikan merupakan keturunan bangsawan. Namun, di masa sekarang hal ini sudah tidak berlaku lagi. 

Baca juga: Jodoh dan "Uang Panai" di Kalangan Masyarakat Suku Bugis Makassar

Khusus pada rumpun keluarga bangsawan di Luwu dan Toraja, nama "Tanri" biasanya kita temukan dengan bentuk "Tandi". Dalam hal ini terdapat kasus perubahan antara fonetis r dan d. Ini umum kita temukan dalam kosakata-kosakata dari masa kuno, seperti karatuan menjadi kadatuan, kraton menjadi kdaton, parang menjadi padang, ...rukun menjadi dukun? - hmm nggak kayaknya.. :)

Dalam sesi wawancara Tanri Abeng di majalah Matra Issues 42-47 pada halaman 22, Tanri Abeng menjelaskan arti namanya: "Guru saya bilang, dalam bahasa Bugis halus, Tanri itu artinya tinggi di atas." ...hal ini sangat menarik karena sangat selaras dengan pemaknaan "tanri"  sebagai sebutan dewa yang bertempat di langit dalam kepercayaan orang-orang Turki kuno atau pun orang-orang Mongol. Dalam bahasa bugis sendiri, terdapat kata "tanre" atau "matanre" yang artinya tinggi.

Sebagai bahan pertimbangan untuk bentuk "tanri" dan "tanre" adalah bahwa dalam bahasa Bugis terdapat kecenderungan aksen yang mengubah bunyi fonetis i menjadi e, contohnya pada frase cina' pi (artinya: nanti saja) yang jika penyebutan frase tersebut digabung, maka menjadi "cinampe" (fonetis m timbul sebagai konsekuensi penggabungan kata cina' dan pi yang berfungsi menjembatani keduanya; sementara itu, dapat kita lihat setelah penggabungan tersebut fonetis i berubah menjadi fonetis e).

Di masa sekarang, orang-orang di Sulawesi Selatan pada umumnya menerjemahkan "Tanri" secara harafiah, yakni: "tidak...", contohnya pada nama "Tanri Bali", Tanri= tidak - Bali= lawan, jadi, "Tanri Bali" dimaknai sebagai "tidak ada lawan". 

Demikian ulasan ini, Semoga bermanfaat... salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun