Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Swastika: Dari sebagai Metode Penentu Waktu, Menjadi Simbol Keagamaan, dan Akhirnya sebagai Ragam Hias

6 Februari 2019   06:32 Diperbarui: 6 Februari 2019   09:27 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian kalangan ilmuwan berpendapat bahwa swastika adalah simbol pertama yang dikenal dalam peradaban manusia. Swastika diyakini telah digunakan di berbagai peradaban kuno, melintasi banyak budaya dan benua. Simbol swastika terawal yang ditemukan di Mezine, ukraina, diukir pada patung gading, diklaim berusia 12.000 tahun.

Di India, disebut swastika, di cina disebut "wan", di jepang disebut "manji", di Inggris disebut "fylfot", di Jerman disebut "Hakenkreuz", di Yunani disebut "tetraskelion" atau "tetragammadion", sementara di Indonesia, umumnya disebut "banji".

Dengan mencermati penyebutnya di cina, yakni "wan", dan bahwa ia merupakan salah satu karakter hanzi, maka dapat diduga bahwa penamaan "manji" di jepang ataupun "banji" di Indonesia, berasal dari bentuk cina (Wan zi). 

Suku kata -ji pada man-ji ataupun ban-ji adalah bentuk (pinyin: zi / dzi) yang dalam Mandarin yang berarti "karakter" atau "huruf".  Sementara itu suku kata ban - man - wan adalah wujud perubahan fonetis - umum terjadi pada kelompok konsonan labial (p, b, w, m).

Sebagai penentu waktu

Beberapa kalangan berpendapat bahwa bentuk + (salib) yang terdapat dalam lingkaran merupakan wujud garis bujur yang menghubungkan kutub utara dan selatan, dan garis lintang yang menghubungkan timur dan barat.

Mengenai hal ini, kami berpendapat bahwa makna garis-garis vertikal dan horisontal tersebut ada keterkaitan dengan konsep kosmologi dualistik, sekaligus terkait pula dengan metode penentuan waktu. 

Konsep kosmologi dualistik yang kami maksudkan adalah konsep dunia atas (dunia siang hari) dan dunia bawah (dunia malam hari) yang masing-masing wilayahnya dibagi oleh keberadaan garis horisontal. Sementara itu, garis vertikal dalam lingkaran merupakan pembagian zona waktu posisi matahari di langit (lihat gambar di bawah: a, b dan c).

Dokpri
Dokpri
Logika yang bisa dibangun dalam hipotesa ini adalah bahwa, Ada kemungkinan setelah melihat benda langit (matahari dan bulan) yang berbentuk lingkaran, orang di masa kuno terinspirasi untuk mencari bentuk yang sama di sekitar mereka, dan itu mereka temukan pada bentuk buah jeruk ataupun apel (ataupun benda lainnya yang berbentuk lingkaran ketika dilihat dari satu arah, dan berwujud bola ketika benda tersebut dilihat dari berbagai sisi). Dari menyadari hal ini, timbullah kesimpulan mereka bahwa bumi yang mereka tempat juga berbentuk bola.

Dengan mengetahui bentuk bumi yang mereka tinggali, dengan mudah mereka mengasumsikan bahwa jalur gerak atau perubahan posisi matahari setiap hari (dari mulai terbit hingga tenggelam) tentulah membentuk lingkaran. Yang kemudian pada hari ini dalam ilmu fisika dikenal sebagai "gerak semu harian matahari". Dari mengetahui hal ini juga timbul pemahaman mereka bahwa ketika matahari sedang menyinari wilayah mereka (siang hari), dalam waktu bersamaan, di bagian bumi yang lain mengalami gelap (malam hari).

Relief roda matahari yang berada pada kuil Matahari konark di India, yang menggambarkan pembagian waktu
Relief roda matahari yang berada pada kuil Matahari konark di India, yang menggambarkan pembagian waktu
Etimologi Swastika

Swastika. Kata kuno ini, berasal dari tiga akar bahasa Sansekerta "su" (baik), "asti" (ada, menjadi) dan "ka" (dibuat), yang kemudian diasumsikan berarti "membuat kebaikan" atau, "penanda kebaikan (Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism: 2001, Hlm. 216).

Pemaknaan ini sudah cukup baik untuk diterima, dan sepertinya ini pula yang dipercayai berbagai budaya di dunia, namun begitu, kami melihat ada bentuk pemaknaan lain yang sekiranya dapat dipertimbangkan, yaitu: "dibuat menjadi ada dengan baik". 

Pemaknaan ini bukan saja kami ambil dari tiga akar kata Sanskerta diatas, tetapi secara intuitif mengingatkan kami pada Ucapan Allah dalam Al-Quran : "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" QS. At-Tin [95] : 4

Empat lengan pada swastika merepresentasi masing-masing empat unsur (angin, air, tanah dan api) yang menjadi unsur utama mikro kosmos manusia - yang di dalam tradisi Bugis, filosofi empat unsur ini dikenal dengan term  Sulapa Appa'. 

Yang menarik, adalah karena konsep 4 unsur mikro kosmos manusia ini, secara tersirat diungkap dalam ayat ke 4 surat At-Tin. Tentu ini bukanlah suatu kebetulan!

Pengembangan Swastika ke bentuk ragam hias yang tetap mengusung filosofi spiritualistik

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Pada gambar di atas kita dapat melihat bahwa dari swastika dilahirkan pula simbol "Endless Knot" (simpul tak berujung) atau "The eternal knot" (simpul keabadian), yang dalam tradisi Bugis kuno dikenal dengan istilah "Singkerru simulajaji".

Dalam perjalanannya kemudian, simpul tak berujung (endless knot) terus dikembangkan dan menghasilkan motif yang lebih rumit. Seperti yang terlihat dalam ragam hias bangsa Viking.

dokpri
dokpri
The Eternal Knot, atau simpul tak berujung, atau simpul keabadian; dalam Sanskrit dikenal dengan sebutan  rvatsa; dalam tradisi Tibet dikenal dengan sebutan dpal be'u; di Mongol dikenal dengan sebutan Ulzii, sementara dalam tradisi Luwu/Bugis dikenal dengan sebutan Singkerru Simulajaji yang dalam bahasa Indonesia dapat dipahami dengan sebutan "sengkarut mula jadi". 

Kata "sengkarut" dapat kita temukan Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dengan definisi: 1. berjalin-jalin, lilit-melilit (tentang akar, tali, dan sebagainya); 2. banyak seluk-beluknya; kait-berkait.

Dalam banyak tradisi, simbol keabadian dianggap sakral dan kadang terlihat digunakan sebagai jimat.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Diolah dari www.pinterest.com/bercawhartl
Diolah dari www.pinterest.com/bercawhartl
Diolah dari www.pinterest.com/hybridtype
Diolah dari www.pinterest.com/hybridtype
Diolah dari bharatkalyan97.blogspot.com
Diolah dari bharatkalyan97.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun