Mohon tunggu...
Reza aka Fadli Zontor
Reza aka Fadli Zontor Mohon Tunggu... -

Bukan Siapa-siapa, Hanya seorang Pemerhati Masalah Politik dan Sosial Zonk.Fadli@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

CCTV dan Rekonstruksi Jadi Senjata Polisi, Jessica Akhirnya Divonis Bersalah

8 Februari 2016   05:59 Diperbarui: 8 Februari 2016   09:52 4355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BENARKAH INDONESIA DIKENAL DENGAN PERADILAN SESATNYA?

Tugas polisi sangat banyak. Dari kasus penipuan, kasus sengketa tanah, Kasus Korupsi, Kasus Copet dan masih banyak lagi hingga Kasus Pembunuhan.  Dari sekian ragam Kasus mungkin yang langsung bersentuhan dengan rasa keadilan masyarakat dan yang sering sekali  menjadi perhatian  masyarakat adalah Kasus Pembunuhan.

Kalau mau jujur sebenarnya telalu banyak Kasus-kasus Pembunuhan yang kontroversial yang diingat masyarakat.  Ada Kasus Sengkon-Karta dan ada Kasus Peragawati Dietje pada tahun 80-an. Kemudian kasus kontroversial  yang sangat  terkenal dan selalu menjadi perdebatan masyarakat adalah Kasus Antasari dan Kasus Munir.  Belum lagi kasus-kasus dalam  3 tahun terakhir yang berakhir kontroversial seperti Kasus Sisca Yofei, Kasus Engeline, Kasus Akseina dan mungkin yang terakhir nanti adalah Kasus Mirna.

Semua kasus-kasus kontroversial diatas mengundang kata Tanya dari masyarakat luas, benarkah mereka pembunuhnya? Sudah benarkah cara polisi dan Jaksa menangani kasusnya? Profesinalkah cara polisi bekerja?

Berandai-andai jika Kasus Mirna ini tidak tuntas terselesaikan maka Cap Tidak Profesional  pada polisi kemungkinan besar akan tetap melekat lama pada institusi ini hingga beberapa waktu kedepan.

Membaca berita-berita lama, Sengkon dan Karta bukanlah pembunuh korban sebenarnya. Mereka terpaksa mengaku di BAP karena disiksa polisi. Begitu juga dengan Kasus Pembunuhan Diece dimana dikabarkan  Pelaku yang merupakan guru spiritual  disiksa dan dipaksa mengaku di BAP.  Sidik jari tersangka dikabarkan baru ada  pada pestol yang dipakai pembunuh  setelah polisi melakukan rekonstruksi.

Kasus Antasari juga sangat Kontroversial. Bukti polisi yang menyebut adanya SMS ancaman dari Antazari ke korban ternyata tidak bisa dihadirkan di pengadilan.  Laporan forensic tentang proyektile peluru dan lain-lainnya diberitakan tidak sinkron.  Kasus kontroversial berikutnya  Kasus Munir. Pembunuh Munir  disimpulkan adalah Polycarpus yang berprofesi sebagai Pilot. Polycarpus terbukti menaruh racun arsenikum di minuman Munir tetapi ternyata polisi tidak bisa menemukan motif Polycarpus meracuni Munir. Masyarakat menduda keras dalang pembunuh sebenarnya belum tertangkap. Kasus-kasus itulah yang akhirnya disebut oleh sebagian masyarakat disebut sebagai Peradilan Sesat.

Dalam 3 tahun terakhir kasus pembunuhan yang paling menyita perhatian public adalah Kasus Sisca Yofei yang tewas karena diseret motor sejauh 500 meter. Masyarakat yang mengikuti berita-berita terkait yakin bahwa pelaku yang tertangkap bukanlah Pelaku sebenarnya.   Begitu juga cara polisi menangani Kasus Engline yang kontroversial dan terakhir Kasus Akseyna yang   tidak tuntas.

Akankah Kasus Mirna menambah daftar Kasus-kasus Pembunuhan yang kontroversial?  Akankah selamanya polisi diragukan profesionalitasnya oleh masyarakat? Siapa yang tahu.

POLISI HARUS INTROPEKSI DIRI

Gw dan banyak masyarakat yang meragukan kinerja polisi  dalam Kasus Mirna sebenarnya bukanlah  pembela Jessica.  Nggak ada tuh hubungannya kami-kami ini  dengan Jessica.  Jessica juga warganegara Austraila sehingga tidak ada kepentingan kami untuk membela Jessica.  Lagipula  bukan  kami tidak percaya  sama sekali  tentang kemungkinan Jessica adalah pembunuh Mirna.  Proses penyidikan polisilah yang membuat banyak orang meragukan kebenarannya.

Yang kami tuntut dari polisi adalah Keadilan bagi semua orang. Yang kami tuntut dari polisi adalah profesionalitasnya.  Tidak lebih tidak kurang.  Kita semua tidak pernah benci polisi, justru mungkin cukup sayang sehingga tidak lelah untuk mengkritisi mereka.  Kita semua berharap polisi bisa professional sehingga mampu menciptakan keadilan sesuai dengan  pasal-pasal hukum yang ada di saku bajunya.

Betul bahwa faktanya banyak masyarakat yang benci polisi. Tapi  itu pasti ada sebabnya.  Siapa yang tidak akan benci sama polisi yang kerap  merazia kendaraan yang lewat dengan maksud mencari  uang receh? Siapa yang tidak akan benci dengan polisi yang korup ataupun suka kongkalikong dengan kasus hukum? Siapa yang tidak benci dengan polisi yang ikut melakukan kejahatan narkotika dan lain-lainnya? Dan siapa yang tidak dendam ketika keluarganya  mendapat perlakuan salah tangkap/ salah tembak/ salah tuduh oleh polisi?

Semuanya itulah yang membuat  masyarakat  terkesan membenci  polisi. Sebenarnya bukan institusinya yang dibenci tetapi  oknum-oknumnya.  Banyak oknumm-oknum  polisinya yang menggunakan jabatannya untuk melakukan kejahatan maupun menciptakan ketidak-adilan.

Intinya adalah, selama masih ada polisi yang menerima uang receh di jalan raya, selama masih ada polisi yang meminta uang pada masyarakat agar kasusnya diproses dan selama masih banyak Kasus-kasus pembunuhan yang kontroversial maka selama itu juga polisi dianggap tidak professional.

Kasus Mirna ini menjadi salah satu ajang pembuktian profesionalitas Polri.  Masyarakat sangat berharap Kasus Mirna ini tidak berakhir seperti Kasus  Akseyna, Kasus Sisca Yofei, Kasus Munir, Antazari dan kasus-kasus kontroversial lainnya.

KONTROVERSI KASUS MIRNA, CCTV DAN SENJATA REKONSTRUKSI

 Pada tulisan sebelumnya gw udah mengurai semua kronologis peristiwa dari tanggal 6 Januari 2016 hingga tanggal 30 Januari 2016 pada saat Jessica ditetapkan sebagai Tersangka.  (tulisan terkait ada dibawah). Dan kesimpulan gw dari Kasus ini adalah Polisi memang tidak punya bukti konkrit bahwa Jessica  adalah penaruh racun sianida di Kopi Mirna.

Polisi hanya memiliki  Asumsi bahwa Jessica yang membunuh Mirna.  Asumsi itu datang dari  Tindak-tanduk Jessica yang dianggap mencurigakan. Baik yang ada pada rekaman CCTV maupun informasi dari  kesaksian para pegawai Café.  Polisi berasumsi  Jessica sebagai  pelaku karena polisi sangat percaya dengan keterangan  pihak Café dan  sangat percaya dengan Asumsi/ tuduhan ayah Mirna.

Hanya itu yang dimiliki oleh Polisi.  Akhirnya Polisi mencari tahu riwayat hidup Jessica. Tentu ini dimaksud mencari motif pelaku yang bisa dikaitkan dengan asumsi bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna. Sayangnya polisi tidak berhasil mendapatkan data apa-apa tentang riwayat hidup Jessica.

Sangat jelas sekali  polisi sejak awal sudah menuduh Jessica.  Kita lihat saja dengan Olah TKP yang dilakukan sangat lambat atau tepatnya tanggal 11 Januari (5 hari setelah kejadian). Mengapa sampai telat begitu karena Polisi sudah mengantongi  nama calon Tersangka.  Status Jessica sejak awal adalah Saksi Spesial dan benar-benar dijadikan target pemeriksaan berkali-kali.

Perjalanannya ternyata dari rekaman CCTV dan lainnya tidak bisa membuktikan bahwa Jessica bersentuhan langsung dengan sianida. Tidak ada jejak sianida sama sekali, sementara Motif Jessica untuk membunuh Mirna pun tidak mampu ditemukan polisi.

Akhirnya polisi memanggil para Psikolog untuk menganalisa tindak-tanduk Jessica. Kesimpulan-kesimpulan  para Psikolog inilah yang akhirnya dijadikan dasar polisi untuk menetapkan Jessica sebagai Tersangka.  Jadi total data yang dimiliki polisi kurang lebih adalah :

1.CCTV yang berisi rekaman gambar bahwa Jessica  celingak-celinguk  pada saat memesan kopi.  Jessica juga  dianggap sengaja menutupi  kopi yang ada di meja dengan 3 tas belanjaannya.  Dan reaksi Jessica yang dianggap aneh ketika Mirna sedang kejang-kejang.  Hanya itu yang ada di gambaran CCTV.

2.Keterangan saksi-saksi seperti Para Pegawai Café Olivier, Keluarga Mirna dan Hani yang semuanya memberatkan Jessica.

3.Bukti-bukti  administrasi seperti : Nota Pesanan Minuman, Surat Kematian Dokter, dan bukti hasil lab bahwa korban meninggal akibat Racun Sianida.

4.Pendapat-pendapat  para Ahli Psikolog yang berasumsi kemungkinan besar Jessica adalah Pelakunya.

Hanya itulah data-data yang dimiliki polisi. Lalu mengapa polisi masih berani mengajukan berkasnya ke Kejaksaan maupun ke Pengadilan?  Salah satu kuncinya adalah Polisi  akan mengandalkan Rekontruksi kasus.

Di Poin inilah fakta terpenting ataupun Alat Pembuktian yang paling kuat dalam Pengadilan nanti. Rekonstruksilah yang bisa menggambarkan kronologis kejadian kepada  Hakim sehingga Hakim bisa yakin Terdakwa tersebut bersalah atau tidak.

BENARKAH  REKONSTRUKSI  BISA DIREKAYASA POLISI?

Berdasarkan pendapat ahli Psikolog Forensik Reza Indragiri,  manusia punya kecenderungan mengalami bias obsesi.  Seseorang kalau sudah yakin  sebuah kondisi adalah A maka ia tidak akan pernah mencari alternative lainnya. Ia tidak akan mencari tahu bahwa kondisi itu bisa saja B atau C.  ini berlaku universal untuk setiap manusia apapun profesinya.

Kita lihat ayah Mirna yang sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa Jessica yang membunuh Mirna. Ada buktinya? Belum ada pastinya.  Keyakinan ayah Mirna itu berdasarkan nalurinya.  Naluri bisa saja benar tetapi bisa juga salah besar.  Umumnya orang-orang sukses dalam bisni selalu mengandalkan nalurinya. Jadi tidak salah kalau ayah Mirna  gigih dan keukeuh mencari bukti baru untuk membuktikan tuduhannya.

Itu tidak masalah buat ayah Mirna. Tetapi untuk seorang Penyidik polisi kecendrungan yang disebut Bias Obsesi itu tidak boleh terjadi sama sekali.  Seorang Penyidik tidak diperbolehkan  hanya  mengandalkan nalurinya untuk  menyidik Kasus Pembunuhan.  Cara berpikir seorang Penyidk harus terbuka lebar kepada semua kemungkinan.   Kalaupun sudah ada seseorang yang berpotensi kuat sebagai Tersangka bukan berarti penyidikan itu selesai.  Jangan sampai  Pelaku sebenarnya tidak terpantau/tidak tertangkap tetapi  orang yang tidak bersalah akhirnya harus menjalani hukuman.

Dalam kasus Mirna ini yang dikuatirkan kemudian, Penyidik  sudah terlanjur menetapkan Jessica menjadi Tersangka tetapi bukti pendukung tidak kuat.   Untuk mengulang penyidikan dari awal sangat sulit. TKP sudah jauh berubah dan sangat jauh dari Steril.  Memanggil kembali 20 saksi juga sulit begitu juga meminta keterangan para pakar psikologi dan lainnya.  Akhirnya penyidik melakukan gambling dan tetap meneruskan  status tersangkanya.  Bila tidak lewat pengakuan Tersangka di BAP mungkin lewat Rekontruksi.

Kasus Sengkon dan Karta puluhan tahun yang lalu harus menjadi pelajaran. Sengkon dan Karta dipukuli polisi sehingga mau mengaku membunuh.  Begitu juga Pakde Sirajudin yang disiksa polisi agar mengaku melakukan pembunuhan terhadap Dietje.  Sengkon, Karta dan Pakde  mengaku di BAP dan melakukan  Rekontruksi.  Bahkan untuk Pembunuh Dietje,  dikabarkan Sidik Jari Pakde di pestol yang dipakai untuk membunuh peragwati cantik itu  baru ada setelah Tersangka dipaksa polisi melakukan Rekonstruksi.i

Jadi untuk menjawab pertanyaan diatas, Bisakah Rekonstruksi direkayasa oleh Polisi? Jawabannya tentu bisa. Makanya  tidak heran  Novel Baswedan penyidik KPK menolak untuk melakukan rekonstruksi.untuk kasus lamanya.

BAGAIMANA DENGAN  JESSICA DAN REKONTRUKSI KASUSNYA?

Ada  3  tanda Tanya besar dari masyarakat dibalik penetapan Jessica sebagai Tersangka.  Meskipun Jessica sudah ditetapkan jadi Tersangka tetapi ternyata Polisi tidak mampu menjelaskan Motif Pelaku. Padahal umumnya setiap ada berita Pembunuhan dan tertangkap pelakunya tanpa diminta media pun polisi langsung menjelaskan apa motif pelaku.

Yang kedua, tidak seperti umumnya pada kasus-kasus  pembunuhan lain, dalam kasus ini Polisi tidak berani menyebut apalagi memperlihatkan  Alat Bukti konkrit yang dimilikinya.  Umumnya setiap menyelidiki pembunuhan biasanya Polisi sigap memperlihatkan alat bukti/ alat pembunuh. Kadang ada CD korban, kadang ada pisau ataupun benda-benda kecil lainnya.  Bila demikian kondisinya  maka asumsi public  untuk alat bukti yang  dimiliki polisi  saat ini pastilah hanya  rekaman CCTV saja.

Dan yang ketiga yang menjadi  tanda tanya besar adalah mengapa  rekaman  CCTV itu tidak boleh dilihat oleh Pengacara Jessica?  Contoh dulu pada kasus Sisca Yofei yang namanya rekaman CCTV yang ada malah dipublish oleh media dan disaksikan jutaan orang.  Pada waktu itu polisi bersikukuh  Sisca terseret karena  rambutnya  tersangkut Gear ban belakang sementara yang menyaksikan rekaman sebagian besar berkesimpulan  korban diseret oleh pelaku. Mungkin karena pengalaman itulah akhirnya polisi tidak berani mempublish rekaman CCTV  karena beresiko rekaman itu membuat masyarakat tidak percaya pada penyidikan polisi

Kemarin  ( tanggal 7 Februari 2016) sejak jam 8 pagi hingga jam 10 malam polisi melakukan Rekonstruksi di Café Olivier dan  di seputar Mal Grand Indonesia.  Rekonstruksi dilakukan dalam 2 versi yaitu Versi Jessica dan Versi Polisi.

Diberitakan bahwa Jessica  yang didampingi Pengacaranya  menolak untuk melakukan 2 adegan rekontruksi  dimana salah satunya ada adegan gerakan tangan menaruh sesuatu (racun) di dalam gelas kopi Mirna dan satunya lagi adegan dimana Jessica  marah pada pegawai Café dan menanyakan  Kopinya dicampur apa.

Untunglah Jessica didampingi pengacaranya.  Kalau tidak  bisa-bisa Jessica akan dikondisikan melakukan adegan dengan gerakan menabur sesuatu di kopi Mirna sehingga  Hakim Pengadilan nantinya  tidak ragu untuk memutus vonis Bersalah.  Dengan melakukan adegan tersebut secara fisik/sikap  dapat disimpulkan bahwa Jessica telah mengakui bahwa dirinya memang menaruh sesuatu dalam kopi Mirna.

Mudah-mudahan polisi memang punya bukti fisik lainnya selain CCTV sehingga tidak perlu berharap dari Rekontruksi dan BAP yang jelas-jelas sudah ditolak oleh Jessica.

Soalnya bila polisi tidak memiliki bukti lain selain yang 4 diatas : (1) CCTV, (2)Kesaksian Para Pegawai Café /Pihak Café  dan keluarga Mirna, (3)Bukti Administrasi dan (4)Kesimpulan Pakar Psikologi, maka posisi polisi akan sangat sulit. 

Sudah sangat sulit bagi polisi untuk kembali ke Penyidikan awal. Sangat sulit melakukan Olah TKP lagi dan sangat sulit memanggil saksi-saksi dari awal lagi. Hingga akhirnya polisi akan pasrah dan siap menerima kekalahan di Pengadilan.  Dampaknya kemudian bila Jessica divonis bebas maka polisi harus kerja lebih keras untuk melakukan penyelidikan lagi. Di sisi lain dimata masyarakat polisi dianggap tidak professional.

Rekonstruksi  atau Reka Adegan kemarin adalah Upaya terakhir dari Polisi untuk mencocok-cocokan Asumsi Polisi dengan  kronologis kejadian berikut  mensikronkan dengan  rekaman CCTV.  Asumsi polisi harus cocok dengan gerakan-gerakan  tersangka, harus cocok dengan keterangan saksi dan sinkron dengan rekaman CCTV.

Andai saja  reka adegan  yang dilakukan  Jessica cocok dengan asumsi polisi dan cocok juga dengan CCTV maka di pengadilan nanti kemungkinan besar Hakim akan menjatuhkan Vonis Bersalah untuk Jessica.

Demikian.

Tulisan sebelumnya 

Ayah Mirna Yang Tendensius dan Dugaan Korban Persaingan Bisnis

 

 catatan : Plis Admin, artikel gw jangan dijadiin HL atau Highlight.  tq.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun