Mohon tunggu...
Fadli Firas
Fadli Firas Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Sang Penjelajah

email: rakhmad.fadli@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Honeymoon Keliling ASEAN ala Backpacker (13-habis): Takana Jo Bukittinggi

11 April 2016   11:28 Diperbarui: 11 April 2016   11:35 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Jam Gadang dan bangunan pemerintahan yang menggunakan atap khas Minangkabau"][/caption]

Pagi ini, di hari keempatbelas, 4 Februari 2016, kami akan meninggalkan Hanoi, Vietnam. Sebelum mentari menampakkan dirinya kami sudah bergegas check out dari hotel menuju pool bus bandara di dekat kantor Vietnam Airlines dengan berjalan kaki. Jaraknya tidak begitu jauh, masih berada di kawasan yang sama, Old Quarter. Bus bandara bergerak pukul 7 pagi menuju Bandara No Bai Hanoi selama 45 menit perjalanan. Kabut masih menyelimuti Hanoi. Musim dingin masih setia berada di ibukota Negara Vietnam ini.

Pesawat Air Asia akan membawa kami dari Hanoi ke Kualalumpur, Malaysia pada pukul 9.45 waktu Vietnam (Tidak ada perbedaan waktu dengan Indonesia). Perjalanan antar dua negara tersebut ditempuh selama 2 jam. Menjelang siang pesawat mendarat di Bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) 2. Dari sini kami akan melanjutkan perjalanan lagi ke negeri tercinta Indonesia tepatnya menuju Pekanbaru.

Pekanbaru hanya menjadi persinggahan sementara. Sejatinya kami hendak menuju kota wisata di Sumatera Barat, Bukittinggi. Perjalanan dari Pekanbaru ke Bukittinggi normalnya memakan waktu 5 jam perjalanan. Kami menggunakan minibus alias mobil APV pada salah satu agen travel di daerah Panam dengan ongkos Rp. 110 ribu per orang. Tak sabar rasanya ingin menikmati perjalanan yang menanjak menuju kota di atas puncak, Bukittinggi.

[caption caption="Bandara di Pekanbaru"]

[/caption]

Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa tidak transit via Padang saja yang juga memiliki rute pesawat langsung ke Kualalumpur? Terlebih lagi jarak Padang-Bukittinggi lebih dekat dibandingkan dengan Pekanbaru. Sengaja kami tidak memilih alternatif tersebut karena pertimbangan jadwal keberangkatan yang tidak sesuai. Selain itu, karena jalur Pekanbaru-Bukittinggi ini akan melewati sebuah jalan cantik nan artistik yang dikenal dengan “kelok sembilan” (walau pada akhirnya kami tidak bisa melihatnya karena jadwal bus yang ngaret sehingga hanya terlihat gelap di malam hari. Fiuuh).

Tujuan kami ke Kota Wisata Bukittinggi tentu saja tidak sekadar berwisata. Tetapi hendak berkunjung ke rumah nenek. Meski usia nenek sudah 80-an namun masih tetap terlihat bersemangat. Mungkin resep dari kebiasaan bangun pagi sebelum subuh yang sering dilakoninya. Rumah nenek terletak di perbatasan Kota Bukittinggi dengan Kabupaten Agam tak jauh dari Desa Pekankamis. Sebenarnya rumah nenek saya ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Agam. Tetapi karena jarak yang lebih dekat ke Bukittinggi dibandingkan dengan Ibukota Kabupaten Agam, Lubuk Basung, sehingga kami lebih sering menyebutnya sebagai Bukittinggi. Bahkan segala aktifitas dan kebutuhan semuanya dilakukan di wilayah kota yang terletak di atas bukit nan tinggi ini.

Rumah nenek yang berada di pinggiran Kota Buktinggi menghadirkan panorama pedesaan yang dipenuhi dengan bentangan sawah yang luas dimana-mana. Pesona perbukitan pun sangat mudah dilihat sejauh mata memandang. Di sini juga banyak terdapat pertambakan ikan yang dibangun di sebelah rumah. Beberapa rumah warga ada yang menempatkan kuburan keluarganya di halaman rumah. Jalanan di sini semuanya sudah berlapis aspal meski hanya selebar 3 meter. Semuanya serba hijau. Ah segarnya...

[caption caption="Jalanan di sekitar rumah nenek"]

[/caption]

 

[caption caption="Pemandangan di sekitar rumah nenek"]

[/caption]

 

[caption caption="Bersama Nenek hendak berziarah ke makam Atok (kakek)"]

[/caption]

Meski lebih banyak berkunjung ke rumah saudara namun kami tetap bisa menikmati pesona wisata Kota Bukittinggi. Bayangkan, menuju ke rumah saudara yang terletak di Sungai Jaring saja harus melewati batu-batu yang menjulang tinggi yang berada tepat di atas kepala kami. Dan yang lebih ekstrim lagi batu ini sedikit miring ke arah jalan. Bikin sport jantung saat melintasinya. Tidak hanya itu, pemandangan berupa ngarai nan indah pun dapat kami saksikan di sepanjang perjalanan. Lembah berisi persawahan nan eksotis yang dikelililingi jurang-jurang tinggi menghadirkan penampakan yang menurut kami, fantastis.

Berada di Bukittinggi terasa tidak sah jika belum menghampiri ikon kota ini, Jam Gadang. Letaknya berada di jantung kota dekat kawasan pasar yang menjadi tempat wajib wisatawan saat hendak membeli oleh-oleh. Pasar ini dikenal dengan Pasar Ateh yang berarti pasar atas. Letak pasar ini berada di dataran tinggi sehingga harus melintasi tangga yang berjumlah sekitar 40 anak tangga untuk menuju ke sana.

Di daerah pasar ini kami juga menikmati minuman khas Bukittinggi Ampang Dadiah. Minuman ini sempat saya tulis di Kompasiana untuk mengikuti sebuah lomba 2 tahun lalu. Namun baru kali ini bisa menyicipinya. Bentuk minuman ini terlihat meriah seperti es campur, terdapat beberapa campuran di dalamnya. Seperti butiran beras yang telah di penyetkan yang teksturnya terasa masih sedikit keras saat digigit. Campuran yogurt putih bertekstur lembut menjadi sasaran saya. Kuahnya terbuat dari bahan gula merah. Manis dan dingin. Sebenarnya rasanya kurang bersahabat di lidah saya. Tetapi istri saya yang berdarah Batak justru menyukai minuman ini.

[caption caption="Jam Gadang ramai dipenuhi wisatawan"]

[/caption]

[caption caption="Pasar wisata di Bukittinggi"]

[/caption]

[caption caption="Keliling kota naik Bendi"]

[/caption]

[caption caption="Bersilaturahmi ke rumah saudara naik Bendi"]

[/caption]

[caption caption="Suasana Kota Bukittinggi yang sedang berawan mendung"]

[/caption]

[caption caption="Ampang Dadiah"]

[/caption]

Sama dengan kota-kota yang kami kunjungi di sepanjang Malaysia hingga Vietnam, di Bukittinggi kami juga hanya bisa menikmati selama sehari mengingat masa cuti yang akan segera berakhir. Masa sehari ini kami manfaatkan sebaik-baiknya meski tidak bisa mengeksplorasi ke semua tempat karena tentu saja lebih mengutamakan bersilaturahmi ke rumah sanak saudara.

Dari Bukittinggi kami akan melanjutkan perjalanan lagi menju Medan keesokan harinya. Perjalanan ini memakan waktu selama satu hari dengan menggunakan bis ALS. Jalur bis dari Bukittinggi ke Medan melewati lintas barat ini menyuguhkan pemandangan berupa perbukitan nan eksotis. Selain itu juga melintasi danau terbesar di Asia Tenggara, Danau Toba. Jalur darat ini pernah saya lakoni sebelumnya saat hendak menuju Jakarta dari Medan dan pernah saya bagikan di Kompasiana.

Perjalanan bulan madu keliling Asia Tenggara ini kami habiskan dalam angka sekitar Rp. 10 juta saja untuk berdua. Hal ini karena biaya hidup di beberapa negara justru lebih murah dibandingkan dengan di Indonesia. Dan jika lebih mahal pun namun masih terbilang wajar karena hanya berbeda sedikit saja. Sepanjang perjalanan meski ada beberapa pengalaman yang cukup menantang, seperti kisah saat baru tiba di Hanoi, namun kami tetap menikmatinya. Ingin mencobanya juga? :)

 

Sekian..

*dokumentasi foto pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun