Mohon tunggu...
Fadli Firas
Fadli Firas Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Sang Penjelajah

email: rakhmad.fadli@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Honeymoon Keliling Asean ala Backpacker (8): Megahnya Masjid di Chiang Rai

21 Maret 2016   14:03 Diperbarui: 21 Maret 2016   14:32 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Masjid Darul Aman, Chiang Rai"][/caption]Rabu, 27 Januari 2016. Tak terasa perjalanan kami memasuki hari kedelapan. Pagi ini kami akan meninggalkan Chiang Mai menuju Chiang Rai. Jarak antar dua kota berbeda provinsi itu hanya 3 jam perjalanan. Bis yang kami tumpangi tiba di terminal bis Chiang Rai saat mentari hampir tepat di atas kepala. Meski siang terik namun tak mampu mengalahkan cuaca dingin yang masih melanda. Kesan pertama melihat terminal ini: tenang, nyaman, dan bersih. Sebagaimana kota-kota sebelumnya di Thailand, terminal bis ini berkonsep terbuka. Ditata dengan rapi, ramah bagi penumpang. Sepertinya semua terminal bis di setiap provinsi di negara ini memang dirancang serupa, kecuali Bangkok.

Kami turun di terminal dua. Ternyata bis yang kami tumpangi tadi masih akan berhenti di terminal satu yang terletak di pusat kota. Terlanjur turun di sini. Tidak mengapa, di terminal dua ini juga tersedia platform khusus untuk tuk-tuk. Jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki ke luar untuk mencari angkutan umum khas Thailand itu. Tuk-tuk ini akan membawa ke terminal satu yang terletak di pusat kota dengan ongkos 15 Baht. Terminal dua ini khusus melayani keberangkatan jarak jauh atau internasional, seperti Bangkok dan beberapa kota di Negara Laos seperti Luang Prabang. Jika hendak menuju kota-kota terdekat maka harus berpindah ke terminal satu yang berjarak tujuh kilometer dari sini.

Akhirnya kami tiba di pusat kota Chiang Rai. Seperti biasa kami menuju tempat persewaan motor yang berlokasi tak jauh dari terminal bis satu. Tarif sewa masih sama dengan di kota-kota sebelumnya, 200 Baht. Informasi pertama yang kami tanyakan adalah lokasi keberadaan Masjid. Pemilik persewaan motor yang non-muslim itu langsung menjawab pertanyaan kami. Ternyata terletak di pusat kota ini. Senang mendengarnya.

Sambil menuju ke arah Masjid dengan menggunakan motor, mata kami melirik ke kanan – kiri untuk mencari hotel. Tepat di sisi kiri jalan kami menemukan Hotel Sukirand dengan tarif 400 Baht per malam. Beruntung hotel ini terletak tidak jauh dari Masjid. Usai meletakkan ransel di hotel, kami menuju Masjid untuk menunaikan Sholat Dzuhur dan Ashar yang dijamak. Kami kembali tercengang. Setelah melihat Masjid nan megah di Chiang Mai, kini hal serupa kami temukan lagi. Masjid di pusat kota Chiang Rai ini sungguh besar dan mewah. Terlihat artistik dengan ornamen khas Negeri Tiongkok.

Menurut informasi, Masjid ini dibangun dengan donasi dari komunitas Muslim di Tiongkok. Hal ini terlihat dari gaya arsitektur dan aksara Tiongkok yang tertera di pintu masuknya. Ada yang unik di dalamnya, terdapat beberapa kursi dan meja yang diletakkan pada bagian pinggir. Meja ini tidak mendatar melainkan miring 45 derajat menghadap ke wajah. Semula saya mengira ini adalah tempat belajar mengaji bagi anak-anak. Ternyata difungsikan untuk lansia atau orang yang tidak bisa sholat dengan berdiri. Lantai di dalamnya dialasi dengan karpet tebal nan empuk dan nyaman. Masjid ini juga difasilitasi dengan lift. Mewah sekali. Saya terheran-heran karena umat Muslim sangat minoritas di sini. Seketika saya membandingkannya dengan di negara sendiri. Subhanallah.

[caption caption="Fasilitas lift di Masjid Chiang Rai"]

[/caption]

[caption caption="Teras atas Masjid"]

[/caption]

[caption caption="Pakaian sholat yang bisa dipinjam"]

[/caption]

[caption caption="Ruangan parkir di lantai bawah Masjid"]

[/caption]

[caption caption="Pedagang makanan halal di depan Masjid"]

[/caption]

 

Suku Berleher Panjang

Usai sholat kami melanjutkan penjelajahan. Kali ini kami akan menuju sebuah suku yang sungguh unik di utara Kota Chiang Rai. Suku Karen yang terkenal dengan tradisinya memanjangkan leher, khususnya bagi wanita. Jaraknya cukup ditempuh selama 30 menit perjalanan menggunakan motor dari pusat kota. Saya sedikit mengebut membawa motor, karena jalanan yang di lalui sangat lebar serupa jalan tol. Tidak ada angkutan umum menuju ke sana. Pilihan lain bisa menggunakan jasa tur yang disediakan oleh agen-agen tur di pusat kota.

Cukup mudah menemukan tempat tinggal suku tersebut. Plang penunjuk bertuliskan “Long Neck” banyak terdapat di sisi jalan. Kemudi motor saya belokkan ke kanan. Jalanan sudah berubah menjadi lebih sederhana hingga semakin tak beraspal. Suasana semakin sepi. Hari semakin petang. Namun kami nekat saja untuk memasukinya. Ternyata tempat ini dimanfaatkan sebagai objek wisata. Memasukinya harus membayar tiket sebesar 300 Baht kepada petugas yang berjaga.

Suasana perkampungan terasa sekali di sini. Sensasi berada di wilayah pedalaman. Ternyata suku-suku yang berada di dalamnya sangat ramah. Setiap kali diajak berfoto mereka langsung memasang pose dan tersenyum. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan kedatangan wisatawan. Pemerintah setempat tampaknya sangat memperhatikan keberadaan mereka. Di beberapa tempat tersedia kotak donasi yang bisa disumbangkan dengan sukarela. Mereka juga menjual kain tenun asli dan aneka souvenir yang dibanderol mulai dari harga 50 Baht hingga 200 Baht.

Konon katanya wanita-wanita Suku Karen itu memanjangkan leher agar terlihat cantik. Cara mereka memanjangkan leher adalah dengan memasang ring-ring besi berwarna emas. Setiap bertambah usia maka bertambah pula satu ring di leher mereka. Sehingga leher mereka akan terlihat semakin memanjang. Sebenarnya bukan leher mereka yang bertambah panjang melainkan bahu yang semakin menurun ke bawah.

[caption caption="Memasuki desa Suku Karen"]

[/caption]

[caption caption="Bersama gadis Suku Karen"]

[/caption]

[caption caption="Warga Suku Karen sedang bersantai di sore hari"]

[/caption]

[caption caption="Anak-anak Suku Karen sedang bermain"]

[/caption]

[caption caption="Plang penunjuk jalan menuju desa Suku Karen"]

[/caption]

Sebelum hari semakin gelap, kami bergegas meninggalkan perkampungan Suku Karen. Laju motor saya tancapkan kembali menuju Kota Chiang Rai. Malam ini kami berjalan-jalan melihat suasana Kota Chiang Rai sembari melihat-lihat night market dan hal-hal menarik lainnya di kota ini. Salah satunya adalah sebuah tugu cantik di tengah-tengah persimpangan jalan. Tugu yang mirip kuil ini bentuknya mengerucut ke atas dan sangat eksotis dengan ukiran-ukiran artistik yang menghiasinya. Pada jam-jam tertentu tugu ini akan beraksi; cahaya yang menempel di bodi tugu tersebut berubah-ubah dari merah, kuning, hijau, ungu, hingga biru bersamaan dengan alunan musik nan mendayu merdu yang keluar dari dalamnya. Terkesan romantis sekali. Malam semakin larut. Namun esok hari kami masih akan mengeksplorasi Chiang Rai. Ya, Chiang Rai menyuguhkan banyak destinasi dibandingkan Chiang Mai.

[caption caption="Tugu ini akan berubah-ubah warna diiringi dentingan lagu mendayu pada jam tertentu"]

[/caption]

Hari berganti. Memasuki hari kesembilan. Masih di Chiang Rai. Kami akan menuju White Temple. Sebuah kuil yang semua bodinya dipoles polos dengan warna putih. Dari kota hanya membutuhkan waktu 10 menit perjalanan dengan motor. Kuil ini terlihat eksotis. Warna putih yang menutupinya terkesan seperti salju yang menyelimuti. Cantik sekali. Sayang sekali dilewati tanpa mengabadikannya. Terlihat sangat menawan saat difoto. Masuknya gratis, hanya saja harus berpakaian sopan. Tempat ini dipadati wisatawan, terutama dari Tiongkok dan Korea.

[caption caption="White Temple nan eksotis"]

[/caption]

[caption caption="Wisatawan memadati White Temple"]

[/caption]

[caption caption="White Temple bak diselimuti salju"]

[/caption]

Destinasi kami selanjutnya adalah Golden Triangle. Tempat ini merupakan batas 3 negara yang hanya dipisahkan oleh Sungai Mekong: Thailand, Laos, dan Myanmar. Oleh pemerintah setempat dimanfaatkan sebagai objek wisata. Berjarak 1,5 jam perjalanan dari Kota Chiang Rai. Dari sini bisa dengan jelas terlihat dua negara berbeda di seberang sungai: Laos dan Myanmar. Namun hanya Laos yang terlihat lebih hidup dibandingkan Myanmar yang dipenuhi pepohonan dan semak belukar dan sebuah bangunan mirip kantor berlantai dua. Wisatawan diperbolehkan untuk menyeberang ke Laos, namun terbatas hanya pada wilayah tertentu. Sementara Myanmar tampaknya tidak boleh disentuh.

Thailand memang sungguh kreatif. Kawasan Golden Triangle ini dikemas menarik untuk pariwisata. Para pedagang souvenir dan oleh-oleh tampak memenuhi di hampir di semua titik. Beberapa bangunan berbentuk tugu dan monumen dibangun apik di sini. Termasuk sebuah patung besar Buddha. Para wisatawan memanfaatkan tempat-tempat menarik tersebut untuk berfoto.

[caption caption="Melihat Laos dan Myanmar dari Thailand di Golden Triangle"]

[/caption]

Hari semakin sore. Kami kembali ke Chiang Rai, menuju terminal bis satu. Sore ini kami akan melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Menuju negara berbeda. Menembus batas, Laos.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun