Mohon tunggu...
Fadli Firas
Fadli Firas Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Sang Penjelajah

email: rakhmad.fadli@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Begini Rasanya Perjalanan Darat 3 Hari dari Medan ke Jakarta

11 Februari 2016   12:05 Diperbarui: 11 Februari 2016   12:36 18853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Awan nan Bisa Digapai di Rao, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat."][/caption]Bus ALS (Antar Lintas Sumatera) kelas eksekutif tujuan Medan - Jakarta menjadi pilihanku. Tentunya, perjalanan panjang selama 3 hari ini ingin aku nikmati senyaman mungkin. Dari Kota Medan bus bergerak pukul sebelas siang. Aku duduk di kursi paling depan tepat dibelakang supir yang dipisahkan oleh kaca pembatas transparan. Here we go!

Dari Kota Medan berpindah ke Kabupaten Deli Serdang tepatnya di Kota Lubuk Pakam yang merupakan ibukotanya. Suasana perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di sisi kanan terlihat rapi dan bersih di tumbuhi pepohonan rindang.

Kemudian berpindah ke Kabupaten Serdang Bedagai. Ini adalah pecahan dari Kabupaten Deliserdang yang resmi terbentuk sejak tahun 2004. Disini terdapat banyak deretan penjual oleh-oleh khas setempat, dodol. Di sepanjang sisi kiri dan kanan ragam makanan dan minuman ringan tersaji di toko oleh-oleh.

Tak lama lalu berpaling ke Kota Tebing Tinggi. Terus bergerak ke Kota Pematang Siantar. Bus berhenti makan sejenak di sebuah rumah makan disini, sore hari. Harga makanan masih terbilang wajar, Rp. 15 ribu per porsi.

Kemudian menembus Kabupaten Simalungun. Disini panorama semakin eksotis. Keajaiban alam berupa danau terbesar di Asia ada disini, Danau Toba. Danau keren ini terdapat di daerah Parapat. Saking luasnya, melintasi di tepian danau ini membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Puas. Meski tak sempat menyambanginya (sudah pernah sih hehe).

Hamparan danau terbentang luas. Bus masih berjalan di ketinggian hampir 100 meter. Jurang-jurang nan curam yang dibawahnya notabene adalah Danau Toba tampak di sisi kanan. Para hewan primata seperti monyet dan sejenisnya duduk-duduk cantik di pagar tepian jalan. Ada juga yang sambil menggendong anaknya.

Bus terus berjalan menurun. Pondok-pondok makan tempat bersantai berderet dan berdiri persis di sisi-sisi jurang tinggi. Duduk-duduk santai di dalamnya sungguh asyik sambil memandang lepas Danau Toba yang tenang.

Tiba di keramaian kota Parapat. Ketinggian permukaan danau sudah hampir menyamai daratan. Disinilah titik utama destinasi tempat berkumpul para wisatawan. Terdapat kapal yang bisa membawa ke pulau di tengah danau tersebut, Samosir. Suasana khas kota mulai terlihat disini. Deretan toko seperti penjual buah, rumah makan padang, dan lainnya tampak memenuhi si sepanjang jalan. Sebuah Masjid Agung Parapat terletak tak jauh dari tepian danau.

[caption caption="Danau Toba, Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara."]

[/caption]Kota demi kota dilalui. Hingga melewati Tanah Tarutung, ibukota Kabupaten Tapanuli Utara. Disini pemandangan eksotis masih bisa dinikmati. Deretan perbukitan panjang. Meski sudah berjalan jauh dari Parapat, namun pinggiran Danau Toba masih dapat dilihat di beberapa kabupaten. Hanya saja belum dikelola secara maksimal sebagaimana di Parapat.

Malam menjelang. Dari Tapanuli Utara (Taput) kemudian beranjak ke Tapanuli Tengah (Tapteng), hingga Tapanuli Selatan (Tapsel). Jika di Taput didominasi Suku Batak beragama Nasrani, maka di Tapsel hampir seluruh penduduknya adalah Suku Batak beragama Islam, atau lebih sering disebut Orang Mandailing. Beranjak sedikit terdatap Kota Padang Sidimpuan yang terlihat modern sebagaimana kota pada umumnya yang merupakan pecahan dari Tapsel.

Hingga bus tiba di titik terakhir wilayah Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Daerah ini berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat. Ujung wilayah dari Madina terdapat di Muara Sipongi. Disini penduduknya sudah menggunakan bahasa tersendiri, kontaminasi dari bahasa Batak - Minang, meski marga Suku Batak masih tersemat di belakang nama mereka.

Selamat datang di Provinsi Sumatera Barat. Kalimat tersebut tertulis di sebuah gapura perbatasan di wilayah yang masih sepi penduduk, didominasi hutan-hutan perbukitan. Kabupaten pertama memasuki Ranah Minang ini adalah Pasaman, tepatnya di daerah bernama Rao. Di sini terlihat asri. Suasananya masih terlihat tradisional. Hamparan sawah terbentang di kedua sisi jalan. Di ujung sana, di daerah persawahan tepat di bawah perbukitan tampak gumpalan putih semacam asap yang bisa digapai oleh tangan. That's sky! Awannya rendah, bro. Wuih.

Bus terus menyusuri wilayah Pasaman nan eksotis. Dari kejauhan terbaca sebuah tulisan di atas gapura "Khatulistiwa". Ternyata tidak hanya di Pontianak, Kalimantan Barat, disini juga ada titik bumi. Namun saya hanya bisa melihatnya, tidak bisa didatangi secara dekat. Karena bus terus bergerak. Never mind.

Masih di dataran tinggi wilayah Sumbar. Bus memasuki Kota Bukittinggi. Meski terletak di puncak namun suasana kota sudah terbilang modern. Ini merupakan wilayah kotamadya. Hawanya tentu saja dingin. Airnya pun tak jauh berbeda dengan dinginnya es. Romantis sekali kota ini.

Tidak hanya Danau Toba, bus ini juga melintasi danau eksotis yang menjadi kebanggaan Ranah Minang, Danau Singkarak. Danau ini pun cukup luas. Meski tidak seluas Danau Toba, namun sepanjang melintasi pesisir danau dilewati hampir 20 menit. Puas memandang danau lagi. Keren.

Melewati Kabupaten Solok. Kemudian  berlanjut ke Kabupaten Dharmasraya. Daerah ini tidak semenarik wilayah Sumbar lainnya. Terkesan monoton. Semacam kota baru yang dibangun di tengah hutan, namun sudah lebih ramai tentunya. Jalur ini tempat berlalu-lalangnya kendaraan besar antar propinsi. Sesekali terlihat perkebunan sawit. Disini merupakan titik terakhir Propinsi Sumbar.

Memasuki Muaro Bungo wilayah Propinsi Jambi. Penampakan disini didominasi kawasan perkebunan, terutama tanaman Kelapa Sawit. Ronanya tak jauh berbeda dengan daerah sebelumnya, Dharmasraya.

Berpindah ke Kota Sungai Penuh. Daerah ini terlihat lebih modern sebagaimana Kota Jambi. Lalu menembus batas propinsi lagi. Halo Sumatera Selatan! Bus melintasi Kota Lubuk Linggau. Wilayah ini memang sudah pantas disebut sebagai kotamadya. Pembangunan disini terlihat berkembang pesat. Modern.

Sepanjang menempuh beberapa daerah di wilayah Sumatera Selatan terutama di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Komering Ulu (OKU) deretan rumah khas warga setempat menjadi pemandangan yang menarik. Rumahnya berbentuk panggung yang bagian bawahnya tetap dimanfaatkan sebagai gudang atau ruangan lain. Tangga naik ke lantai dua langsung dari luar. Posisi tangga menyamping menempel pada bangunan, bukan bagian ujung tangga sebagaimana rumah panggung khas Melayu. Rumah tradisional ini masih dilestarikan oleh warga, ada juga yang sudah berbahan beton.

[caption caption="Sepanjang Sumatera Selatan akan terlihat rumah khas seperti ini"]

[/caption]Memasuki Kabupaten Lahat. Paras di sepanjang jalan ini masih serupa seperti di OKI. Daerah ini menyimpan kenangan spesial buat saya, dimana disinilah ajakan melalui telepon genggam untuk mengunjungi Istana Negara aku terima. Undangan dari Kompasiana. Unforgettable moment.

Di Sumatera Selatan bus melintasi jalur berbeda sehingga tidak melewati ibukotanya, Palembang. Selanjutnya memasuki Kota Baturaja, titik wilayah terakhir di propinsi ini sebelum berpindah ke provinsi sebelahnya. Kota ini hawanya tak jauh berbeda dengan Dharmasraya, panas, hanya saja sudah lebih ramai sehingga pantas berstatus kotamadya.

Masuk ke Propinsi Lampung. Namun sayang sekali, selama di propinsi paling ujung di Pulau Sumatera ini tidak bisa menikmati panorama kota-kotanya. Disebabkan perjalanan berlangsung malam hari. Terlebih lagi, dari ujung ke ujung propinsi ini memakan waktu sekitar 10 jam. Sehingga berangkat dari perbatasan Sumsel - Lampung saat menjelang malam dan tiba di ujung Lampung, tepatnya di pelabuhan menuju Propinsi Banten, waktu sudah subuh.

Dari Propinsi Lampung menuju Propinsi Banten, atau tepatnya dari pelabuhan Bakauheni menuju pelabuhan Merak menggunakan feri besar atau kapal roro. Kapal ini mengangkut bus yang aku naiki. Perjalanan mengarungi lautan selama tiga jam. Tiba di Merak pukul 7 pagi. Suasana kota pelabuhan nan sumpek tergambar disini. Bus mampir sejenak sarapan pagi di sebuah rumah makan.

Bus kembali melaju menuju titik terakhir, Jakarta, melewati jalan tol. Sepanjang perjalanan, hamparan sawah masih bisa dinikmati. Namun semakin mendekati ibukota, gedung-gedung pencakar langit mulai mendominasi. Kendaraan semakin padat. Jakarta mulai menampakkan wajah aslinya. Macet. Dan bus mendarat di terminal Rawamangun, Jakarta, dengan selamat. Alhamdulillah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun