Mohon tunggu...
Fadli Firas
Fadli Firas Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Sang Penjelajah

email: rakhmad.fadli@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dari Pulau Kundur ke Istana Negara ala Backpacker

20 Desember 2015   20:18 Diperbarui: 20 Desember 2015   20:53 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bersama Kompasianer menuju Istana Negara"][/caption]Klik! Aku telah mendaftar secara online untuk menghadiri iven Kompasianival 2015. Sebuah acara peringatan hari ulang tahun (HUT) media warga terpopuler di negeri ini, Kompasiana, yang akan memasuki tahun ke 7. Masih satu bulan lagi menjelang hari H, tepatnya tanggal 12 s/d 13 Desember 2015. Aku masih di Pulau Kundur, salah satu pulau di wilayah Provinsi Kepri, tanah tempat aku dibesarkan.

Dari Pulau Kundur aku tidak langsung ke Jakarta tetapi mampir dulu di Kota Medan karena ada acara yang harus aku hadiri. Perjalanan menuju Jakarta pun bertambah 2 kali lebih jauh. Untuk diketahui, posisi Pulau Kundur berada di antara Medan dan Jakarta dengan jarak yang hampir sama dari Kundur ke dua kota besar itu.

[caption caption="Kota Tanjungbatu, Pulau Kundur, Kepri"]

[/caption]

Aku memutuskan naik bis dari Medan menuju Jakarta dengan jarak tempuh selama 3 hari 2 malam. Demi kenyamanan aku memilih kelas eksekutif agar perjalanan nan panjang ini terasa menyenangkan. Harga tiket sebesar Rp. 530 ribu. Ditambah dengan pengeluaran untuk makan selama di perjalanan. Sekali makan bisa mencapai 25 ribu. Jika ditotal harganya tidak jauh berbeda dengan tiket pesawat Medan - Jakarta. Bahkan bisa lebih mahal. Perjalanan darat ini aku pilih hanya karena ingin menikmati panorama nan eksotis di setiap daerah yang dilintasi dengan ragam budaya dan bahasa yang dimiliki. It's my pleasure!

Perjalanan menggunakan bis ini melewati beberapa propinsi, diantaranya Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, dan Jakarta. Melintasi perbukitan panjang yang saling terhubung bernama Bukit Barisan. Menelusuri lereng bukit yang salah satu sisinya merupakan jurang-jurang nan tinggi. Panorama paling berkesan saat perjalanan terdapat di Muara Sipongi, Sumatera Utara dan Pasaman, Sumatera Barat. Dua wilayah ini merupakan batas provinsi.

Muara Sipongi merupakan bagian dari Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Disini, masyarakatnya hidup di lereng-lereng perbukitan nan tinggi. Tak jauh dari pemukiman terdapat sebuah sungai yang tak pernah berhenti mengucurkan derasnya aliran air. Meski masyarakat disini memiliki marga di belakang namanya, yang merupakan Suku Mandailing (Batak Islam), namun percakapan sehari-hari mereka menggunakan Bahasa Minang. Ya, jarak ranah minang dari Muara Sipongi sungguh dekat.

[caption caption="Duduk di kursi bis paling depan sambil menikmati panorama kota"]

[/caption]

[caption caption="Danau Toba, Parapat, Sumatera Utara"]

[/caption]

Pasaman, sebuah kabupaten di wilayah Sumatera Barat ini pemandangan alamnya sungguh fantastis. Bagaimana tidak, disini gumpalan awan bisa disentuh! Wajar saja, karena wilayah ini merupakan dataran tinggi. Sebagian wilayahnya memiliki jurang-jurang nan curam. Tetapi tidak semua, ada juga wilayah yang bertekstur datar sebagaimana wilayah kota pada umumnya. Hamparan sawah terbentang di sepanjang sisi kanan dan kiri. Amboi indahnya.

Hari kedua, bis memasuki wilayah Sumatera Selatan. Ketika melintas di wilayah Kabupaten Lahat, sebuah panggilan di telepon genggam dengan kode depan 021 menghubungiku. "Selamat siang, kami dari Kompasiana mau mengajak Mas Fadli dan 100 Kompasianer untuk bertemu dengan Presiden," ucap suara di seberang sana. Aku menanggapi biasa. Tidak terlalu excited. Hanya sekadar berjumpa. Nothing special.

"... di Istana Negara," lanjut suara itu lagi. Istana Negara? Serius? Dua kata terakhir membuat perasaanku seketika berubah bahagia. Seperti mendapat durian runtuh. Tawaran yang tidak boleh dilewatkan. Kapan lagi bisa melongok "daleman" rumah Presiden itu. Karena kesempatan memasuki Istana Negara lebih sulit dibandingkan dengan sekadar berjumpa dengan sosok presiden yang bisa ditemui dimana saja saat ada acara-acara tertentu.

[caption caption="Negeri di Atas Awan, Pasaman, Sumatera Barat."]

[/caption]

Untuk memenuhi undangan tersebut aku diharuskan mengenakan baju batik dan celana bahan. Namun aku tidak membawa keduanya. Sementara posisiku sudah di dalam perjalanan. Duh. Aku bingung hendak mencarinya dimana. Mau membeli pun dirasa tak sempat karena hari H pertemuan di Istana Negara adalah besok pagi! Akhirnya beberapa teman dan saudara yang berdomisili di Jakarta aku hubungi. Dari semua yang aku hubungi hanya satu orang yang memberikan harapan kepadaku. Dan orang itu ternyata juga akan menghadiri acara yang sama. Seorang Kompasianer. Dia memiliki 2 stel baju batik dan celana bahan. Ah, terimakasih Bang Udin.

Namun perasaan was-was masih saja menggangguku. Karena tujuan terakhir bis ini di Tangerang. Bukan Jakarta. Disebabkan terjadi miskomunikasi dengan petugas saat akan menaikinya di Medan. Jika tiba di Tangerang pagi hari, bertepatan dengan hari H, artinya aku harus mengejar waktu lagi menuju Jakarta.

Perjalanan pun tiba di Merak, Banten, tepat pukul 6.30 pagi. Jam segini masih di Merak? Sementara Menurut informasi yang aku dapatkan perjalanan dari Merak ke Jakarta memakan waktu sekitar 3 jam. Hah. Aku hanya bisa pasrah. Ditambah lagi dengan bis akan mampir makan sejenak di daerah Merak. Semakin memakan waktu. Semakin pasrah. Aku semakin khawatir bis yang aku naiki tidak bisa mengejar waktu ke Istana Negara yang dijadwalkan pukul 9 pagi ini.

[caption caption="Rumah khas masyarakat di sepanjang jalan di Suamtera Selatan"]

[/caption]

Perjalanan dilanjutkan menuju Tangerang. Aku masih berharap cemas. Dan ternyata bis tiba di Tangerang lebih cepat dari yang diperkirakan, tepat jam 9 pagi. Ya, jam 9 pagi, dimana semua Kompasianer sudah diwajibkan berkumpul di meeting point. Sudah pasti aku akan terlambat menuju titik kumpul di Gandaria City Mall. Aku bergegas mencari taksi untuk menuju Gandaria. Saat di dalam perjalanan tiba-tiba Bang Udin, Kompasianer yang juga turut dalam rombongan ke istana, meneleponku. Ia menanyakan posisi keberadaanku. "Sudah sampai Cengkareng," jawabku. Kemudian suara di telepon dialihkan Bang Udin kepada Kang Pepih. "Nanti Mas Fadli langsung ke Istana saja," saran Kang Pepih. Baiklah.

Taksi yang aku naiki langsung dialihkan ke Istana Negara. Tepatnya menuju kantor Sekretaris Negara (Setneg). Dengan berpakaian celana jeans, kaos oblong, dan sandal aku memasuki gedung setneg dan menemui petugas jaga di pos gerbang masuk. Aku disambut ramah oleh paspampres yang merupakan orang Sulawesi Utara itu. Oleh petugas tersebut aku dipersilakan menuju ruang tunggu yang berjarak 200 meter dari pos tersebut.

Aku tidak sendiri, ada satu kompasianer lagi yang juga terlebih dulu menuju Istana Negara, Pak Michael Sendouw asal Manado. Namun beliau sudah berpakaian rapi sesuai dengan ketentuan. Kami duduk di ruang tunggu sambil berbincang menanti rombongan kompasianer lainnya.

Dua bis besar berwarna biru memasuki kawasan Istana Negara. Rombongan kompasianer telah tiba. Bang Udin turun menemuiku untuk memberikan pakaian yang telah aku pesan. Penampilanku pun berubah seketika. Baju batik dan celana bahan telah menempel di tubuhku. Beres. Namun tiba-tiba masalah baru muncul. Aku baru sadar tidak membawa sepatu. Yasalaam.

Paspampres yang berjaga menjadi sasaranku bagi solusi permasalahan ini. Aku coba meminjam sepatu milik salah seorang paspampres. Sambil Berharap-harap cemas. Ternyata ia tidak keberatan untuk dipinjami sepatu. Syukurlah. Permasalahan selesai.

Ransel kutitipkan di pos penjagaan. Aku berjalan menyusul rombongan kompasianer lainnya. Ternyata mereka masih sibuk berfoto selfie ria di luar. Belum masuk ke dalam ruangan Istana Negara. Aku berbaur dan segera menemui Bang Udin. Ambil kamera, dan jepret! Teteup narsis haha.

Melongok "Daleman" Istana Negara

Penjagaan memasuki Istana Negara cukup ketat. Sebelum masuk, satu per satu Kompasianer diabsen terlebih dahulu sesuai dengan nama yang tercantum di buku hadir. Semua barang bawaan harus ditinggal di pintu masuk tak terkecuali telepon genggam. Semua memasuki istana dengan tangan kosong. Jarak dari pintu pemeriksaan menuju gerbang masuk istana masih sekitar 200 meter. Kami berjalan kaki menyusuri jalan yang dilapisi aspal dan diapit oleh gedung di kedua sisinya. Bersih dan tertata dengan apik.

[caption caption="Kompasianer dan Presiden Foto Bersama (Foto: FB Presiden Joko Widodo)"]

[/caption]

Assalaamu'alaykum Pak Presiden. Aku memasuki istana. Megah. Beberapa meja bundar telah tertata di tengah-tengah ruangan. Setiap meja diisi sekitar 5 hingga 6 orang. Terdapat sebuah panggung setinggi satu meter di depan yang biasa digunakan untuk kegiatan-kegiatan formal kenegaraan. Di bagian atas dekat panggung terdapat sebuah peta berukuran jumbo. Aku memerhatikan posisi Pulau Kundur di peta tersebut. Ternyata bentuknya sangat acak. Jangankan Pulau Kundur, Pulau Batam yang lebih populer saja bentuknya tidak seperti sesungguhnya. Hm. Yah sudahlah.

Sebelum memulai acara, Presiden Jokowi mempersilakan para Kompasianer untuk mencicipi hidangan khas istana terlebih dahulu. Tak jauh berbeda dengan sajian di hotel-hotel berbintang. Menu-menu yang disajikan sangat menggoyang lidah. Termasuk es koktail yang sungguh nikmat.

Aku menempati meja paling depan, berjarak paling dekat dengan meja Presiden. Di mejaku ditempati oleh Kompasianer Bang Syaifuddin Sayuti, Pak Al Johan, Pak Thamrin Dahlan, Michele, dan salah seorang staf khusus kepresidenan, Sunardi Rinakit. Sementara bersama meja Pak Presiden ditempati oleh salah seorang Kompasianer nan inspiratif, seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi roda dan telah melakukan perjalanan mengelilingi Eropa dengan kursi rodanya tersebut, Ibu Christie Damayanti. Dan seorang Kompasianer berusia paling senior namun juga paling aktif menulis, Pak Tjiptadinata Efendi.

[caption caption="Makan siang di Istana Negara (foto: FB Presiden Joko Widodo"]

[/caption]

Satu per satu perwakilan Kompasianer maju ke depan memberikan masukan dan gagasan kepada Presiden. Diantaranya Kompasianer perwakilan TKW (Tenaga Kerja Wanita) Hongkong, Perwakilan Ambon, Perwakilan Bali, dan beberapa perwakilan lainnya. Tak ketinggalan salah seorang Kompasianer penulis buku "Prabowo Presidenku", Pak Thamrin Dahlan, yang juga duduk semeja denganku. Ya, ini bukan soal lover-hater lagi. Perbincangan berlangsung hangat.

Pak Thamrin Dahlan saat maju memberikan uneg-uneg, ia menyelipkan sebuah harapan kepada Presiden agar tidak hanya jurnalis media mainstream saja yang diikutsertakan dalam kegiatan lawatan ke berbagai daerah dan negara. Namun perlu juga mempertimbangkan untuk mengajak Kompasianer. Mengingat para penulis blog keroyokan ini senantiasa menulis dari sisi yang berbeda. Lebih humanis. Dan gayung pun bersambut. Usul pak TD dicatat oleh Presiden. Dan 2 Kompasianer siap-siap untuk mengikuti lawatan Presiden ke berbagai tempat dengan menggunakan pesawat kepresidenan. Ayo gabung bersama Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun