Mohon tunggu...
Fadli Rais
Fadli Rais Mohon Tunggu... Jalan-jalan ke kawasan Industri Candi -

Jomblo yang galau liat peperangan agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buta Sejarah

6 Oktober 2015   17:41 Diperbarui: 6 Oktober 2015   17:48 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Embun pagi hari menyentuh rumput-rumput yang senantiasa masih berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lelaki tua samping rumah sudah bersiap-siap mengayuh sepedanya menuju pasar. Dua kotakan yang di sulap berada di atas boncengan untuk membawa kangkung. Usianya yang sudah mencapai kepala tujuh tidak pernah menyerah dengan keadaan. Di rumah hanya seorang diri karena istri yang sudah tenang di surge sana, sementara anak harus dinas di luar daerah. Lengkap sudah kesepian yang ia rasakan.

Sehari-hari menjual kangkung untuk menyambung hidup ke pasar-pasar yang ada di wilayah Kebumen. Menjadi sebuah “kewajiban” seorang pedagang di pedasaan untuk hafal hari pasaran. Mulai dari Wage, Pon, Kliwon, ilaa akhirikhi. Pernah saya bertanya mengenai hari pasaran.

“Mbah, memang pasar Clekatuk bukanya hari apa ?”

“Bukanya hari kamis kliwon, kalau pasar hewan setiap hari minggu. Kalau penjual kangkung pindah-pindah, dari pasar satu ke pasar yang lain” sambil terbata-bata karena faktor usia, untuk berbicara agak susah.

Memang begitu pentingnya hari pasaran bagi lelaki tua yang bernama Asep Sumi Ringah. Sebenarnya beliau ini lahir di Kota Kembang tapi karena faktor X, beliau memutuskan untuk pindah ke Kota Lanting.

“ Tanya apa lagi ?” jawab kakek sambil memegang tanganku.

Kakek tahu sejarah bangsa ini ?”

Tiba-tiba kakek terdiam membisu. Sepertinya dia akan memberikan pengharapan palsu (PHP) ala anak baru gede labil (ABABIL). Air matanya keluar, tanganya menggenggamku kuat-kuat. Aku seperti orang bego baru keluar dari rumah sakit jiwa. Tidak tahu kenapa sebabnya jadi begini. Tetesan air dari matanya berubah menjadi isak tangis. Tidak tahu aku harus bagaimana dan harus apa. Melihat kakek Asep yang tidak henti-hetinya menangis.

“Kenapa kakek ?” memberanikan diri untuk bertanya.

“Bangsa ini buta akan sejarah” menjawab dengan mata memerah.

Sontak, aku yang kaget berusaha menghindar. Mbo nanti kakek ngamuk gak jelas, di kira aku memperdayai dia atau berusaha menipu dia. Perlahan kakek mulai membersihkan air mata yang terurai di wajahnya. Tidak tahu, kenapa harus jadi seperti ? aku masi bingung.

“Apa yang salah dengan bangsa ini ?” tanyaku.

“Bangsa ini lupa daratan. Lupa untuk saling memaafkan. Ketika kakek masih berusia sepantaran kamu. Sejarah adalah bacaan wajib dan harus di ketahui. Sejarah dulu masih cukup otentik, berbeda dengan sekarang. Dimana sejarah mengikuti pemenang politik (PILPRES). Lihat saja peristiwa 1965 yang di plintir sedemikian rupa, sehingga traumatic terhadap lambang pun menjadi-jadi. Lucunya, peristiwa itu di jadikan landasan untuk melarang ideologi tersebut masuk. Begitu pula sejarah pra 1965 yang sering di lupakan, dimana pembantaian besar-besaran oleh salah satu partai politik sering kali dianggap sebuah peristiwa kecil”.

“Dulu kakek pelaku ?” sambil menawari kakek untuk menghisap kretek khas nusantara.

“Kamu anak baru kemarin selalu di bohongi oleh sejarah. Pelajaran SD sampai SMK mu selalu di jejali peristiwa 1965 sebagai tragedi nasional yang tidak boleh di lupakan. Dimana jendral-jendral mati di bunuh kemudian di buang ke Lubang Buaya. Itu hanya sejarah yang di setir saja nak. Sebetulnya sejarah yang kalian terima adalah buatan penguasa ORBA yang seperti “Tuhan”, seolah mengucapkan kun fayakun saja langsung jadi” sambil menghidupkan kretek khas Nusantara.

Buta Sejarah

Mengutip Kakek Asep “Bangsa ini buta akan sejarah”. Memang bukan hal baru, seringkali para seniman, budayawan, dan agamawan. Menyadarkan akan pentingnya sejarah. Bukan hanya menghafal sejarah saja, tetapi mencoba untuk mengerti akan sejarah bangsa. Konon katanya, sejarah bangsa kita yang begitu pelik membuat seseorang guru sekolah dasar menyarankan muridnya untuk tidak selalu menghafal sejarah. Melainkan berusaha untuk memberi pemahaman pada muridnya.

Sejarah bangsa ini tidak jauh dari yang namanya bangku pendidikan. UUD 1945 alinea ke empat mengamanatkan kepada kita semua supaya bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Untuk ikut berperan dalam melaksanakan amanat tersebut tidak melulu jadi guru. Bisa jadi Pak Bon, petugas TU, aktivis, yang paling mudah mengajak anak-anak untuk bersekolah di formal maupun non formal. Berperan jadi apapun, intinya kita bersama-sama melaksanakan cita-cita founding father yang terdapat pada UUD 1945.

Kedekatan sejarah dengan bangku pendidikan ibarat isi kacang dan kulitnya. Dimana mereka selalu beriringan kesana kemari. Pendidikan yang dibawahi oleh pemimpin A, maka sejarah akan mengikutinya. Pendidikan memang “sangar’ untuk masalah ikut-ikutan lho. Perilaku dari pemimpin yang apik dapat memberikan pendidikan yang moncer lha. Pendidikan maju, negeri ini bisa menjadi gudangnya ilmuwan, kaya Yunani. Pendidikan yang berhasil tentunya butuh proses. Seperti anak-anak “penikmat alam” naik ke Gunung Sumbing yang memiliki ketinggian lebih 2000 meter. Pasti banyak halangan, rintangan, yang menguji kesungguhan kita untuk terus memberikan.

Pendidikan yang kita terapkan hanyalah “menghafal” supaya paham dengan “saklek”. Imbasnya ketika terdapat sejarah yang kurang tepat bahkan salah, mereka sudah lanyah pada sejarah yang lalu-lalu saja tanpa memahami secara luas. Ujungnya sejarah seolah sakral dan nafi dari tindak kesalahan. Ngeri kali bukan kawan. Bangsa ini memang sudah terlalu sering “dicekoki” hal-hal yang tekstual oleh pemerintahan. Membayangkan hegemoni sejarah 1965 yang di setting semanis sirup Marijuana. Manis tetapi memabukkan sehingga membuat pikiran kita tidak mau berkembang dan hanya taqlid buta pada yang ada.

Semoga sirup itu cepat di temukan penawarnya. Supaya raksasa terbangun dari sejarah yang “di utak-atik” oleh pejabat-pejabat yang bermoral “sedikit” bejat. Tampang seperti lalat tak pernah telat kala ada rapat membahas tentang isi dompet.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun