Munculnya kembali kegiatan terorisme pasca kematian Nurdin M Top menguak fakta bahwa gerakan teroris merupakan aktifitas yang tetap simultan meski dalam rentang waktu yang tidak bisa diprediksi. Pelaksanakan eksekusi hukuman mati bagi Mukhlas dkk serta keberhasilan Densus-88 Polri membunuh Dr. Azhari dan Nurdin M Top beserta beberapa pembantu dekatnya, ternyata tidak berhasil meredam aksi terorisme bahkan mengundang turun gunung tokoh kunci teroris lainnya yang berkaliber lebih tinggi dari mereka yang telah mati yaitu Dulmatin yang diyakini oleh Polri sebagai aktor yang memiliki keahlian dan tingkat kepemimpinan lebih tinggi dari pelaku terorisme yang telah ditangkap maupun dibunuh oleh Polri. Keberhasilan Polri membunuh Dulmatin dan beberapa pengawalnya seharusnya menjadi perhatian bahwa Indonesia adalah sasaran empuk terorisme dan mereka meyakini bahwa untuk dapat tetap eksis, maka jaringan di Indonesia harus tetap ada dan terjaga.
Pimpinan Polri dalam berbagai kesempatan baik kepada media cetak maupun elektronik selalu menyatakan bahwa pelaku terorisme yang ada di Indonesia adalah jaringan Al Qaeda baik secara langsung maupun organisasi onderbouwnya, lulusan Moro-Filipina maupun Kabul-Afghanistan. Pernyataan tersebut seolah mempertegas kepada publik bahwa kekerasan yang dilakukan oleh para teroris adalah karena mereka memang adalah anggota jaringan Al Qaeda, kelompok yang dinyatakan teroris dan harus diperangi oleh Amerika Serikat serta mereka adalah alumni Filipina dan Afghanistan yang senantiasa berperang untuk menegakkan ideologinya. Penegasan kepada publik tersebut seolah membutakan fakta penyebab mereka melakukan kekerasan bahkan hingga mengorbankan nyawanya. Publik hanya diberi simplikasi masalah sehingga yang nampak ke permukaan hanyalah persoalan kekerasan dan keamanan semata. Polri dan segenap jajaran intelejen di negeri ini seyogyanya memahami akar persoalan terorisme di Indonesia dan memberikan pencerahan kepada publik agar seluruh elemen bangsa dapat ikut berperan menanggulangi terorisme.
Memahami Terorisme
Dalam buku karya Charles Townshend (2002) yang berjudul ‘Terrorism a very short introduction", Amerika Serikat dan Inggris menggambarkan terorisme sebagai ancaman kekerasan yang menimbulkan ketakutan, pemaksaan kehendak atau intimidasi kepada pemerintahan maupun masyarakat" dan menurut Dictionary of Social Sciences, terorisme adalah hal yang menyangkut penggunaan kekuatan yang tidak sah untuk mengacaukan keteraturan sosial, politik dan ekonomi yang ada. Terorisme telah ada seumur sejarah manusia. Sejarah pertentangan dan perlawanan senantiasa mengiringi kemajuan zaman namun terorisme tetap memiliki dua sisi sehingga muncul slogan yang sangat terkenal dalam sejarah perlawanan, "on man's terrorism is another person's freedom fight" seorang yang dianggap teroris boleh jadi adalah pahlawan bagi yang lainnya. Perlawanan Kashmir adalah teroris bagi India dan Amerika Serikat, padahal pejuang Amerika Serikat dahulu pun dicap teroris oleh Inggris. Di negara kita, Bung Karno, Bung Hatta dan seluruh pejuang kemerdekaan dahulu juga dicap oleh Belanda sebagai ekstrimis - kata lain untuk teroris. Mereka yang memutuskan menjadi teroris pada dasarnya memiliki keyakinan terhadap suatu hal yang tidak diakomodasi oleh pemerintahan yang berkuasa dan mereka menunjukkan eksistensinya dengan melakukan kekerasan secara sporadis.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terorisme, antara lain : (i) Rasa putus asa dan tidak berdaya. Kondisi psikologis ini sangat rawan untuk diprovokasi. Orang yang merasa terabaikan dalam lingkungan masyarakat, menderita secara sosial ekonomi dan merasa diperlakukan tidak adil secara politis akan dengan mudah diagitasi untuk meluapkan kemarahan dengan cara kekerasan untuk memperoleh perhatian dari masyarakat sekeliling maupun pemerintah yang berkuasa; (ii) Hilangnya hak politik maupun ekonomi. Faktor ini menjadi pendorong terbesar kegiatan terorisme di berbagai penjuru dunia. Jika hak politik termasuk wilayah politik & ideologi maupun hak ekonomi suatu kelompok tidak diakui maka mereka akan menunjukkan eksistensinya dalam luapan kemarahan yang berujung kekerasan untuk mewujudkan aspirasi mereka; (iii) Kemiskinan dan eksploitasi ekonomi. Faktor ini juga menjadi sumber munculnya berbagai aktivitas perlawanan di berbagai negara. Terorisme tumbuh sangat subur pada masyarakat yang buta huruf, kelaparan dan terjadi kesenjangan ekonomi. Bahkan filsuf Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan adalah induk terorisme dan revolusi; (iv) Pemerintahan yang diktator dan tidak demokratis juga menjadi ruang bagi munculnya kegiatan terorisme. Kediktatoran menciptakan ketakutan dalam masyarakat dan pemerintahan yang tidak demokratis, masyarakat tidak memiliki ruang untuk menyatakan ketidaksetujuan sehingga sebagian kelompok akan memilih kekerasan sebagai cara berekspresi; (v) Ekstrimisme agama menjadi faktor dominan dalam kegiatan terorisme saat ini. Mark Juergensmeyer menyatakan bahwa agama adalah hal krusial dalam tindakan terorisme sejak adanya pembenaran moral untuk pembunuhan dan memberikan gambaran perang kosmis yang membuat para pelaku percaya bahwa mereka berada dalam skenario perang spiritual. Michael (2007) menyebutkan kelompok Islam di Lebanon, Kristen militan di Amerika Serikat, Yahudi di Israel, sekte Budha di Jepang, Tamil di Srilanka, Sikh dan Hindu radikal di India; (vi) Elemen biologis dan sosial manusia turut menjadi faktor dasar seseorang menjadi teroris. Ini sesuai dengan teori psikolog Sigmund Freud bahwa pada setiap orang terdapat nafsu dan naluri untuk menyerang dan menaklukkan orang lain dan juga teori sosiolog Jean Jacques Rousseau bahwa pikiran manusia adalah lembar kosong yang akan diberi warna oleh lingkungannya.
Berkaca pada kegiatan terorisme yang terjadi di Indonesia nampak bahwa romantisme pra kemerdekaan Indonesia yang didominasi oleh perlawanan tokoh-tokoh Islam seperti Sultan Alauddin, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dan lain-lain yang mengobarkan semangat perlawanan dengan panji-panji agama nampaknya menginspirasi perlaku terorisme untuk mengadopsi cara tersebut. Masih banyaknya kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi di negeri ini menjadi pintu masuk bagi gerakan terorisme. Pemerintahan Indonesia yang meskipun tidak dilaksanakan dengan tangan besi (diktator) namun dianggap mengekang pelaksanaan syariat Islam secara formal dan terlalu membuka diri dengan dunia barat yang dianggap simbol-simbol kafir bahkan Amerika Serikat dan sekutunya terus menyerang negara-negara dimana tumbuh pergerakan Islam.
Meskipun sasaran jangka pendek teroris di Indonesia belum pada taraf merebut kepemimpinan negara, namun efek yang ditimbulkan dari kegiatan terorisme adalah untuk menciptakan ketakutan dalam masyarakat yang berujung kepada ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan polisi dalam menciptakan rasa aman sehingga dapat menimbulkan efek pada hubungan personal dalam masyarakat. Kekacauan relasi sosial serta gangguan pada sektor bisnis dan ekonomi menjadi target jangka menengah para teroris. Jika hal ini terjadi maka saling curiga antar masyarakat akan tumbuh sehingga payung negara menjadi rapuh.
Melawan Terorisme
Ada satu pertanyaan yang menggelitik, mengapa ahli bom Malaysia seperti Dr. Azhari dan Noordin M Top melakukan aksi terorisme di Indonesia ? jawaban masyarakat Malaysia adalah di Indonesia banyak orang miskin yang mudah diprovokasi oleh teroris dan masyarakat Malaysia tidak memberi ruang bagi orang-orang yang berperilaku teroris.
Untuk melawan terorisme dibutuhkan peran seluruh elemen bangsa. Terorisme bukan hanya urusan polisi dan pemerintah. Seluruh elemen masyarakat harus bersama-sama memerangi kemiskinan dan membuka kran aspirasi yang merupakan permasalahan serius penyebab terorisme. Penerapan otonomi daerah yang mendekatkan akses masyarakat kepada kekuasaan dalam perencanaan pembangunan harus lebih ditingkatkan agar tercipta pembangunan partisipatif. Masyarakat harus diedukasi bahwa terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan juga kejahatan sosial yang berdampak sistemik secara langsung maupun tidak langsung. Gambaran ketatnya pengawasan di bandara luar negeri bagi pemegang paspor Indonesia apalagi yang menggunakan nama khas Islami mencermikan perubahan struktur sosial akibat terorisme pasca serangan WTC. Peningkatan solidaritas, tenggang rasa dan tepa selira sebagai ciri masyarakat Indonesia harus digali kembali agar tidak ada masyarakat sekitar yang merasa terabaikan dan tidak berdaya. Di sisi lain, kampanye perlawanan terhadap terorisme dapat dilakukan dengan mencela perbuatan terorisme mulai dari diri sendiri, keluarga, RT/RW, tempat ibadah hingga kepada kelompok-kelompok masyarakat lain yang lebih besar. Jika ini dilakukan oleh semua elemen masyarakat, maka Indonesia pun akan jauh dari sasaran terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H