Di era globalisasi ini perkembangan teknologi semakin pesat. Suatu hal yang tidak mungkin terjadi menjadi kenyataan pada saat ini khususnya di bidang  teknologi contohnya dahulu seseorang ketika ingin mengirimkan kabar harus membuat surat lalu dititipkan ke jasa pengantaran surat ( Pos Indonesia) tentunya membutuhkan waktu yang lama, sekarang dengan kemajuan teknologi orang dapat mengirimkan kabar sendiri tanpa memerlukan jasa transportasi pengiriman barang hanya dilakukan sendiri dan pesannya pun diterima hanya dalam sepersekian detik ini merupakan kemajuan di luar logika berpikir manusia pada masa lampau.
Manusia dikenal akan sifatnya sebagai makhluk yang konsumtif. Dengan majunya teknologi seperti saat ini banyak kemudahan yang kita dapatkan bukan hanya kemudahan dalam hal berbalas kabar  namun kemudahan seperti membeli barang secara online dengan adanya kemudahan ini semakin menimbulkan perilaku manusia yang konsumtif mengapa begitu?, seperti yang saya rasakan misalnya ingin membeli suatu barang  namun rasanya malas untuk melakukan hunting di mal atau di pasar tradisional karena tidak memiliki waktu yang cukup, dengan hadirnya marketplace ( tempat penjualan barang secara online) begitu memudahkan saya dalam berbelanja. Tentunya dengan adanya kemudahan ini manusia tidak ragu untuk mengeluarkan uangnya, apalagi setiap saat muncul iklan di gawai kita seperti adanya launching produk baru dengan diskon yang menggiurkan.
Dengan majunya zaman menumbuhkan berbagai kebutuhan manusia terutama terhadap suatu barang sebagai hasrat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya ditambah lagi dengan berbagai kemudahan yang didapat, sehingga sekarang dapat dikatakan bahwa kebutuhan primer itu tidak hanya sandang pangan. Ada kalanya manusia memiliki hasrat akan suatu barang namun tidak memiliki cukup uang untuk membelinya maka manusia harus melalukan peminjaman uang untuk memenuhi kebutuhan maupun hasratnya. Lalu dengan berubahnya pola berbelanja manusia berubah pula cara untuk meminjam uang sebagai modal untuk membeli suatu barang. Hadirlah yang namanya pinjaman uang secara online yang merupakan salah satu wujud hadirnya fintech (financial technology) di era modern ini. Jadi bukan hanya memudahkan didalam hal melakukan transaksi tetapi juga meningkatkan literasi keungan.
Perusahaan fintech di Indonesia yang sekarang  didominasi oleh starup dengan potensi yang besar. karena itu, fintech berkembang cepat ke berbagai sektor seperti ke start up pembayaran (payment gateway), manajemen keuangan, pembiayaan , dan peminjaman (lending) dan lain sebagainya.
Pada penulisan opini ini, penulis akan membahas mengenai salah satu jenis fintech di Indonesia yaitu peminjaman (lending) khususnya yang menjadi konsen ialah peer to peer lending (P2P). Tentunya dengan banyaknya kemudahan di era digital ini maka timbul permasalahan baru yang menarik untuk dibahas, penulis akan membahas peer to peer lending ini atau yang dikenal orang awam sebagai instrumen peminjaman uang secara online yang dilihat dari segi perlindungan konsumen. Mengapa dilihat dari aspek perlindungan konsumen?, hal ini dikarenakan konsumen sebagai pemain utama sehingga fintech ini tetap eksis keberadaannya.
Kehadiran P2P lending sebagai jasa penyedia pinjaman uang online diatur oleh OJK dalam PJOK 77/2016 yang menyebut P2P sebagai lembaga pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Peranan P2P lending atau biasa disebut pinjol ini, mendorong urgensi adanya payung hukum untuk melindungi konsumen. Saat ini perlindungan konsumen telah diatur dalam undang-undang  No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Hadirnya pinjol memberikan angin segar kepada masyarakat karena menawarkan banyak kemudahan mengambil kredit. Namun, sejumlah resiko pinjaman online perlu di cermati calon nasabah seiring maraknya kasus pinjol.
Fokus pembahasan kali ini pinjol yang berbasis legal artinya ada peran atau persetujuan pemerintah disitu sedangkan yang illegal tentunya namanya saja sudah illegal tidak diakui pemerintah keberadaannya sehingga perjanjian pinjol yang dibuatnya tidak diakui karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terdapat pada pasal 1320 KUHperdata  yang memiliki 4 syarat sahnya perjanjian, pada pinjol illegal tidak memenuhi syarat ke 4 "suatu sebab yang halal" artinya tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum.
Menurut laporan LBH bahwasanya mereka menerima laporan adanya 25 dari 89 aplikasi penyelenggara pinjol resmi melakukan pelanggaran hukum. Mengutip laporan LBH tersebut dapat dilihat bahwasanya tidak menutup kemungkinan pinjol online legal pun ada juga yang melakukan kecurangan sehingga merugikan konsumen. Ada beberapa kelemahan pinjol yang dapat mengancam perlindungan konsumen yang akan penulis bahas.
Pertama, dengan mudahnya melakukan pinjol dengan menggunakan ktp, verikasi wajah,  dan data pribadi penunjang lainnya menimbulkan kekhawatiran di konsumen nyatanya banyak terjadi pelanggaran berkaitan dengan penggunaan data pribadi konsumen ada pinjol yg menggunakan data pribadi konsumen sebagai alat untuk menagih hak nya ke konsumen namun dengan cara yang dilarang, misalnya mereka mengancam akan menyebar data pribadi konsumen apabila tidak melakukan pelunasan pembayaran bahkan disuatu kasus ada konsumen yg di fitnah telah melakukan perbuatan tercela dan sebagainya dengan adanya mekanisme pengumpulan, pengambilan, dan penyebaran data pribadi yang dilakukan oleh aplikasi pinjaman online itu tidak diperbolehkan karena melanggar undang-undang  ITE pasal pasal 27 dan pasal 29 merupakan tindak pidana sanksinya diatur dalam pasal 45 UU ITE. Pengambilan data pribadi yang dilakukan juga tidak terbatas pada apa yang diizinkan tapi juga pada yang secara ilegal diambil seperti foto-foto dan video dari media selain juga penagihan yang dilakukan tidak hanya pada peminjam artinya nomor kontak penagihan bukan hanya nomor konsumen tetapi juga nomor hp kerabat konsumen sehingga mereka merasa terganggu seharusnya ada persetujuan lebih dahulu.
Sampai saat ini aturan tentang data pribadi merujuk pada Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Perkominfo ini belum secara jelas memuat dan menjamin hak konsumen sebagai pemilik data. Hak konsumen dalam hal ini adalah hak yang melekat pada konsumen pada saat dia mengkonsumsi sebuah produk atau memanfaatkan layanan tertentu.
Kedua, permasalah penagihan pada pinjol P2P lending. Didalam pengaturannya dijelaskan bahwasanya batas waktu penagihan paling lama 90 hari jika dalam waktu 90 hari pembayar tidak membayar maka ditinggalkan yang akibat hukumnya ktp pelanggan akan dimasukkan ke daftar hitam ojk atau bahasa awamnya diblacklist, artinya  pelanggan yang bersangkutan tidak bisa mengajukan kredit lagi. Namun pada kenyataan di lapangan ada pinjol legal yang nakal mereka masih melakukan penagihan terhadap konsumen setelah 90 hari bahkan ada yang melakukan penyitaan suatu barang dengan kekerasan, sehingga membuat konsumen tidak nyaman. Tentunya ini menjadi permasalahan apalagi yang melakukan pinjol legal yang telah tergabung di dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Dalam melakukan penagihan mereka mengancam bila tidak mampu membayar maka konsumen akan dikenakan pidana tentunya mendengar hal ini sebagian masyarakat telah takut padahal telah jelas bahwasanya klausula yang mengikat mereka adalah klausula perjanjian artinya yg bersifat keperdataan, hal ini juga dijelaskan di dalam undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwasanya  " terkait hubungan hutang piutang tidak dapat menjadi dasar pemidanaan seseorang". Kecuali apabila mereka menggelapkan uang atas nama perusahaan baru tergolong penipuan dan bisa dipidana.
Sadar akan masih banyaknya celah hukum yang terdapat didalam pinjol pemerintah sebagai regulator harus membuat aturan tegas mengenai ini apalagi di era digitalisasi ini pemerintah selalu ketinggalan menghadapi isu hukum baru. Dalam hal ini penulis menyarankan kepada pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi karena permasalahan data pribadi dianggap urgent pada saat ini dan merupakan akar dari setiap problematika pinjol. Berikutnya OJK selaku pengawas harus lebih tegas dalam hal menindak pinjol nakal bukan hanya mencabut izin aplikasinya namun saran penulis juga mencabut izin usahanya. Dengan dibuatnya pengaturan diatas diharapkan akan tercapainya kepastian hukum sehingga masyarakat dapat dengan tentram menikmati kemudahan berbagai akses di era modern ini. Disisi lain tentunya hal ini akan membuat keberadaan penyedia layanan pinjol tetap eksis keberadaannya.
       Penulis menyimpulkan dari hasil pemaparan diatas perlunya regulator (pembuat Undang-Undang) untuk duduk bersama dengan pelaku bisnis PINJOL dan FINTECH untuk membuat aturan atau standar bersama mengenai pengelolaan dan operasional bisnis bukan hanya fokus mengembangkan pembaharuan bisnis digital namun tetap memperhatikan aspek perlindungan kepada konsumen. Lalu saran berikutnya yang merupakan point utama ialah konsumen harus lebih berhati-hati dalam melakukan pinjol  kita harus mengedukasi diri bahwa besarnya value data pribadi di jaman digital ini, jadi kalau mau meminjam uang di PINJOL pertimbangkan apakah itu memang kebutuhan mendesak dan jangan lupa pertimbangkan tanggung jawab anda berupa kewajiban membayar hutang  tepat waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H