Mohon tunggu...
Fadlil Chairillah
Fadlil Chairillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jakarta

Berawal dari ketidaktahuan dan berusaha untuk tahu.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Senyuman Menyambut Hari yang Fitri

2 Mei 2022   07:00 Diperbarui: 2 Mei 2022   07:03 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : jatimnetwork.com

Selama sebulan penuh, rohani dan jasmani kita menahan hal-hal yang membatalkan puasa---guna menambah daya imunitas tubuh dan juga iman. Rutinitas tahunan yang wajib kita tunaikan ini merupakan sebuah bulan untuk membentuk pribadi kita menjadi lebih bertaqwa. La'alakum tattaqun. 

Semoga kita selalu berusaha untuk menanamkan sikap evaluatif dalam segala hal.

Beberapa hari kebelakang, Ramadhan diisi oleh hal-hal yang kurang etis dan merusak kekondusifan bulan yang mulia ini. Sebutlah insiden pengroyokan, kasus pencurian, tawuran dan beberapa peristiwa yang sangat mengacaukan kesucian bulan puasa. 

Bagaimana bisa orang-orang merusak kesakralan bulan ini dengan hal yang remeh-temeh dan anehnya kasus-kasus demikian selalu terulang---entah dibulan Ramadhan ataupun diluar bulan Ramadhan.

Bukan hanya merusak kekondusifan bulan Ramadhan tetapi yang paling esensial adalah merusak ikatan sosial yang terjalin lewat nilai kemajemukan. Ini sesuatu hal yang sangat merusak sekali dan menimbulkan luka bopeng yang susah disembuhkan---bagaimana mungkin puasa mereka tidak bisa mengendalikan perilakunya yang serong itu.

Sekumpulan insiden tersebut mestilah kita lihat sebagai bahan pelajaran agar mulai detik ini juga hal tersebut jangan sampai terulang lagi.

1 Syawal 1443 H

1 Syawal datang diikuti gema takbir yang bersaut-sautan. Banyak orang bersedih sekaligus senang. Bersedih karena Ramadhan telah berpamitan, senang karena bulan fitri menghampiri.

Suatu waktu yang dimana setiap orang ada yang membeli baju lebaran baru, menghidangkan kue-kuehan, opor ayam dan juga ketupat. Tapi bukan itu yang esensial dari eksistensi hari nan fitri ini. Tapi yang paling esensial dan penting ialah menjadi pribadi yang kembali kepada fitrah (suci) karena telah melewati proses penyucian jiwa dan raga saat bulan Ramadhan. 

Lewat pribadi yang suci itulah hati kita menjadi lapang untuk memberi dan meminta maaf. Kelapangan hati itulah yang menurut penulis merupakan suatu hal yang harus dirasakan bagi tiap-tiap insan manusia.

Tak ada dendam didalam dada jika hati seseorang lapang. Bicara soal dendam, ada kutipan menarik dari George Bernard Shaw, "jika anda menghukum orang untuk membalas, maka anda akan menyakiti. Jika anda ingin meluruskan, anda mesti memperbaiki dia, dan manusia tidak menjadi baik kalau disakiti.

Oleh sebab itu, manusia pada fitrahnya tidak suka bertikai, cenderung mencintai jalinan persahabatan daripada berkonflik. Dengan cinta dan kedamaian manusia sampai saat ini tetap lestari, ujar sejarawan Rutger Bregman. Manusia sebagai makhluk sosial sangat butuh yang namanya interaksi, saling bersilaturahmi. Kesemua itu demi menjaga eksistensi manusia sebagai makhluk sosial.

Lalu bagaimana menjaga hubungan sosial agar tetap lestari, apalagi dalam konteks yang dimana masyarakat sangat majemuk, banyak keberbedaan. Kuncinya itu pada diri manusia itu sendiri, dengan punya kelapangan hati, kesepahaman bersama dan saling pengertian---itulah yang bisa menjaga manusia dari konflik antarindividu bahkan antarkelompok.

Hilangkanlah rasa prasangka buruk, kesalahpahaman dan tak punya daya tahan dalam menghadapi keberbedaan. Manusia sejatinya harus cenderung kearah proses sosial yang positif, bersikap preventif (mencegah) dari yang namanya masalah sekecil apapun.

Dengan begitu esensi dan substasi dari Idul Fitri ini bisa dirasakan bersama, bukan hanya dirasakan oleh umat muslim, melainkan sejuknya dirasakan juga oleh umat dari agama lain.

Tebarkan senyuman dihari yang suci ini, saling meminta dan memberi maaf, saling menjaga tali silaturahmi. Hemat penulis, hari raya bukan ajang pamer baju branded, bukan ajang memamerkan pencapaian. Hari raya Idul Fitri haruslah dimaknai secara positif. Jangan kerdilkan makna idul fitri sebatas ajang menunjukan eksistensi strata sosial masing-masing.

Selamat Idul Fitri 1443 Hijriah.

Taqabbalallahu minna wa minkum.

Minal aidin wal faidzin.

Mohon maaf lahir dan batin 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun