Mohon tunggu...
Fadlil Chairillah
Fadlil Chairillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jakarta

Berawal dari ketidaktahuan dan berusaha untuk tahu.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membaca Pemilwa UIN Jakarta 2022

30 April 2022   21:05 Diperbarui: 30 April 2022   21:10 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi hal yang wajar jika seorang mahasiswa bersikap seolah punya kepentingan, ingin memperjuangkan misinya untuk kepentingan maslahat orang banyak dan hal-hal yang mengarah kepada tridharma perguruan tinggi. Mahasiswa memang seperti itu karena memang pada faktanya kondisi dan situasi mahasiswa yang sering bersinggungan dengan hal-hal kritis seperti di ruang kelas, kegiatan diskusi bahkan dihadapkan pada realitas politik kampus.

Kebetulan penulis merupakan mahasiswa di UIN Jakarta. Dinamika politiknya sangat panas dan intens. Sedikit penulis jelaskan seperti yang penulis perhatikan bahwa di kampus yang katanya "miniatur politik Indonesia"---mempunyai beberapa entitas yang menghidupkan pergolakan politik di kampus tersebut. Entitas yang berupa organisasi ekstra kampus (HMI, PMII, IMM, KAMMI) yang merupakan wadah dimana para mahasiswa dikaderisasi untuk menjadi sesosok yang diidealkan oleh masing-masing organ ekstra tersebut.

Pemilwa (Pemilihan Mahasiswa) menarik untuk diperhatikan karena pada kegiatan ini banyak hal yang menarik didiskusikan dan disampaikan, entah mulai proses pencalonan, kampanye, debat para calon pemimpin jurusan, fakultas dan universitas hingga tahap pencoblosan.

Dalam tahap-tahap kegiatan tersebut, satu persatu bisa dilihat perilaku dari masing-masing mahasiswa terutama yang ikut kontestasi Pemilwa. Banyak ragam perilaku yang mahasiswa perlihatkan. Hanya dalam kondisi seperti itu, jalinan pertemanan seolah dipinggirkan dulu dan lebih penting mengutamakan kepentingannya dulu---itu kentara pada orang yang saling berbeda (partai). Mahasiswa yang berbeda partai (organisasi ekstra) tersebut bisa saling sindir-menyindir, berlakon layaknya pementasan drama yang masing-masing punya sifat karakter yang disetting. Setelah Pemilwa usai, biasanya mereka terkonsolidasi dan menyatu kembali. Penulis harap sih semoga seperti itu.

Kurang lengkap kalau tulisan ini tidak dielaborasi dengan sedikit konsep akademis untuk mengkaji beberapa aktor yang terlibat---salah satunya para pemilih yang ingin memutuskan untuk memilih pemimpin yang mana. Konsep yang penulis pakai di sini ialah Studi Perilaku Pemilih (Political Voting Behavior). 

Studi Perilaku pemilih punya pertanyaan utama yang harus dijawab; pertama, mengapa orang ikut berpartisipasi dalam pemilihan? Kedua, apa alasan orang untuk memilih suatu calon tertentu? (Heryanto, 2022).

Untuk menjawab pertanyaan pertama, maka ditentukan oleh beberapa faktor tertentu antara lain faktor sosiologis, psikologis dan rasionalitas. Dan salah satunya menurut penulis ialah faktor psikologis yang mungkin bisa jadi jawaban. Faktor psikologis apa? Jadi bisa karena tau akan informasi politik, ketertarikan politik, menjadi bagian dari identitas kelompok/partai tertentu dan yang menurut penulis paling penting ialah merasa ada kegunaannya dalam memilih.

Kemudian untuk menjawab pertanyaan kedua faktornya tidak jauh berbeda dengan pertanyaan pertama. Seperti yang penulis lihat di kampus, faktor psikologis lah yang sangat terlihat. Pemilih mendasarkan pilihannya atas kesamaan identitas kekelompokan atau PartyID. Kesamaan organisasi ekstra yang menjadi keputusan para pemilih memilih siapa pemimpin selanjutnya. Terlihat bahwa para pemilih di kampus mempunyai loyalitas dan rasa kepemilikan yang tinggi (Sense of Belonging) terhadap organisasi ekstra mereka berasal. Walaupun hal itu tidak bisa digeneralisir ke semua pemilih.

PartyID/Partisanship adalah hal yang bisa dibilang wajar tetapi dalam konteks memilih pemimpin yang baik, track record yang bagus dan juga punya visi misi yang jelas-- maka faktor rasionalitas lah yang paling ideal menurut penulis.

Tidak hanya itu saja, intervensi pihak lain kepada para pemilih juga ada. Itu adalah hal yang tidak etis---mengontrol orang lain untuk memilih calon tertentu. Perihal ini penulis rasakan sejak Pemilwa sebelumnya. Strategi yang diupayakan timses itu-itu saja, tidak beralih ke hal yang lebih etis dan demokratis. Seharusnya seseorang dalam memilih itu tidak ada paksaan. Hemat penulis ialah, dalam konteks upaya timses untuk memenangkan kandidatnya, tidak perlu dengan cara yang seperti itu---jikalau memang setelah kampanye berlaku demikian, maka timses tidak yakin dengan kualitas calonnya. Sehingga cenderung untuk melakukan upaya-upaya kecurangan. Biarlah kualitas dari demokrasi yang sehat berbicara dan menentukan.

Perihal memilih pemimpin adalah hal yang krusial karena itu berkenaan dengan regenerasi proses kepemimpinan dan juga berkaitan juga kepentingan orang banyak nantinya. Rasionalitas dari pemilih jelas dibutuhkan di sini, pemilih harus bisa melihat secara retrospektif, maksudnya ialah pemilih mampu membandingkan kondisi sekarang dan kondisi pemimpin sebelumnya. Dan juga melihat secara prospektif---cara calon pemimpin memberi perbaikan yang evaluatif ke depan.

Para calon pemimpin bukan hanya mesti mengusahakan bagaimana caranya untuk menang kontestasi, tetapi juga harus melihat kepemimpinan sebelumnya seperti apa, menganalisis bagaimana membuat kebijakan yang baru untuk ke depan, serta berusaha untuk mengisi kerumpangan pemimpin sebelumnya dengan cara yang evaluatif.

Proses Pendewasaan dalam Berpolitik

Dalam ajang kontestasi politik, hal-hal yang biasa sering muncul ialah proses kampanye, panasnya adu gagasan dan black campaign yang seringkali merecoki jalannya dinamika kontestasi yang sedang berjalan. Sikap saling menjatuhkan, saling fitnah, saling hujat yang dilakukan para buzzer dari masing-masing kubu jamak dilakukan. Buzzer-lah yang sering menjadi "kompor gas" yang tugasnya memanaskan suasana.

Dalam kasus tersebut yang perlu dibenahi ialah dengan membangun mentalitas yang dewasa bagi para pendukung antarkubu---yang menekankan aspek etika dalam berpolitik. Khususnya dalam menyaksikan debat antar pasangan calon, di sini letak negatifnya bagaimana para buzzer memperlihatkan ketidakdewasaan mereka dalam berekspresi. Mereka saling melontarkan pernyataan yang tidak substansial dan malah melebar ke perlakuan pembunuhan karakter. Ini tidak benar dan tidak bisa dianggap suatu hal yang baik-baik saja.

Dalam pesta demokrasi pasti ada keterbelahan/polarisasi di tataran pendukung masing-masing calon. Umumnya, yang membentuk wajah polarisasi ialah karena ada perbedaan kebijakan atau ideologi yang berseberangan. Tetapi menurut yang penulis lihat, polarisasi pada pemilwa kali ini terbentuk atas dasar keberbedaan organisasi ekstra---entah itu karena faktor ideologis atau kebijakannya. Realitas pemilwa kali ini menunjukan adanya polarisasi yang cukup hebat, itu ditandai dengan adanya sikap antagonistis yang masing-masing pendukung lemparkan saat debat calon kandidat. Letak permasalahannya seperti yang penulis utarakan di atas---ditandai dengan saling hujat dan sindir-menyindir.

Lebih lanjut, bukan hanya dari peserta saja yang bermasalah tetapi pihak penyelenggara Pemilwa juga kerap bermasalah dan dipermasalahkan. Hal ini yang menjadi beberapa pemicu peserta lainnya tersulut emosi karena hal tersebut. Pihak penyelenggara Pemilwa atau yang dalam Pemilu disebut KPU dan Bawaslu harus membenahi hal ini, mulai dari perencanaan, rangkaian acara, pemberkasan, mekanisme voting, dan lain-lain. Kedepan penyelenggara harus bersikap professional, terbuka dan berkeadilan. Itu penting demi berjalannya Pemilwa yang kondusif.

Aklamasi ?

Terpilih dengan jalan tanpa kompetisi dalam konteks demokrasi aneh saja rasanya. Di UIN Jakarta setengah dari calon yang maju terpilih secara aklamasi alias mekanisme pencalonan tunggal. Sejauh yang penulis ketahui, penyebab terjadinya aklamasi bisa terjadi karena beberapa hal; pertama, kesemua elemen sepakat untuk suatu calon melaju tanpa adanya pemilihan. Kedua, ialah kurang maksimalnya organisasi ekstra (partai) dalam mengkader para calon yang berjiwa pemimpin---untuk kemudian diusung menjadi calon pemimpin yang siap bertarung dalam pemilihan. Ketiga, gagalnya dalam proses administrasi/pemberkasan sang calon yang ingin bertarung. Keempat, basis suara dominan pertiap fakultas yang mengakibatkan partai/ormek mengurungkan diri dalam mengusung calonnya. Singkatnya, realitas yang terjadi di UIN Jakarta, penyebab utama calon teraklamasi ialah dikarenakan basis suara dominan di suatu sektor/fakultas sehingga proses rasionalitas pemilih dalam menjatuhkan pilihannya tidak bisa dilakukan.

Terakhir sebagai kesimpulan, ingin penulis sampaikan bahwasannya berkompetisi secara politik tidak harus saling fitnah, saling hujat, atau cara-cara yang tidak beretika. Jalanilah dengan mentalitas ksatria bukan mentalitas pecundang. Janganlah menormalisasi budaya nirdemokratis" ucap seorang kawan. Kita semua berharap adanya kesadaran kolektif untuk bersama-sama menghidupi perpolitikan di kampus yang lebih sehat. Jika kompetisi telah usai hilangkan sekat-sekat ekslusivisme masing-masing dan kembali berkonsolidasi untuk memajukan nasib semua mahasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun