Menjadi hal yang wajar jika seorang mahasiswa bersikap seolah punya kepentingan, ingin memperjuangkan misinya untuk kepentingan maslahat orang banyak dan hal-hal yang mengarah kepada tridharma perguruan tinggi. Mahasiswa memang seperti itu karena memang pada faktanya kondisi dan situasi mahasiswa yang sering bersinggungan dengan hal-hal kritis seperti di ruang kelas, kegiatan diskusi bahkan dihadapkan pada realitas politik kampus.
Kebetulan penulis merupakan mahasiswa di UIN Jakarta. Dinamika politiknya sangat panas dan intens. Sedikit penulis jelaskan seperti yang penulis perhatikan bahwa di kampus yang katanya "miniatur politik Indonesia"---mempunyai beberapa entitas yang menghidupkan pergolakan politik di kampus tersebut. Entitas yang berupa organisasi ekstra kampus (HMI, PMII, IMM, KAMMI) yang merupakan wadah dimana para mahasiswa dikaderisasi untuk menjadi sesosok yang diidealkan oleh masing-masing organ ekstra tersebut.
Pemilwa (Pemilihan Mahasiswa) menarik untuk diperhatikan karena pada kegiatan ini banyak hal yang menarik didiskusikan dan disampaikan, entah mulai proses pencalonan, kampanye, debat para calon pemimpin jurusan, fakultas dan universitas hingga tahap pencoblosan.
Dalam tahap-tahap kegiatan tersebut, satu persatu bisa dilihat perilaku dari masing-masing mahasiswa terutama yang ikut kontestasi Pemilwa. Banyak ragam perilaku yang mahasiswa perlihatkan. Hanya dalam kondisi seperti itu, jalinan pertemanan seolah dipinggirkan dulu dan lebih penting mengutamakan kepentingannya dulu---itu kentara pada orang yang saling berbeda (partai). Mahasiswa yang berbeda partai (organisasi ekstra) tersebut bisa saling sindir-menyindir, berlakon layaknya pementasan drama yang masing-masing punya sifat karakter yang disetting. Setelah Pemilwa usai, biasanya mereka terkonsolidasi dan menyatu kembali. Penulis harap sih semoga seperti itu.
Kurang lengkap kalau tulisan ini tidak dielaborasi dengan sedikit konsep akademis untuk mengkaji beberapa aktor yang terlibat---salah satunya para pemilih yang ingin memutuskan untuk memilih pemimpin yang mana. Konsep yang penulis pakai di sini ialah Studi Perilaku Pemilih (Political Voting Behavior).Â
Studi Perilaku pemilih punya pertanyaan utama yang harus dijawab; pertama, mengapa orang ikut berpartisipasi dalam pemilihan? Kedua, apa alasan orang untuk memilih suatu calon tertentu? (Heryanto, 2022).
Untuk menjawab pertanyaan pertama, maka ditentukan oleh beberapa faktor tertentu antara lain faktor sosiologis, psikologis dan rasionalitas. Dan salah satunya menurut penulis ialah faktor psikologis yang mungkin bisa jadi jawaban. Faktor psikologis apa? Jadi bisa karena tau akan informasi politik, ketertarikan politik, menjadi bagian dari identitas kelompok/partai tertentu dan yang menurut penulis paling penting ialah merasa ada kegunaannya dalam memilih.
Kemudian untuk menjawab pertanyaan kedua faktornya tidak jauh berbeda dengan pertanyaan pertama. Seperti yang penulis lihat di kampus, faktor psikologis lah yang sangat terlihat. Pemilih mendasarkan pilihannya atas kesamaan identitas kekelompokan atau PartyID. Kesamaan organisasi ekstra yang menjadi keputusan para pemilih memilih siapa pemimpin selanjutnya. Terlihat bahwa para pemilih di kampus mempunyai loyalitas dan rasa kepemilikan yang tinggi (Sense of Belonging) terhadap organisasi ekstra mereka berasal. Walaupun hal itu tidak bisa digeneralisir ke semua pemilih.
PartyID/Partisanship adalah hal yang bisa dibilang wajar tetapi dalam konteks memilih pemimpin yang baik, track record yang bagus dan juga punya visi misi yang jelas-- maka faktor rasionalitas lah yang paling ideal menurut penulis.
Tidak hanya itu saja, intervensi pihak lain kepada para pemilih juga ada. Itu adalah hal yang tidak etis---mengontrol orang lain untuk memilih calon tertentu. Perihal ini penulis rasakan sejak Pemilwa sebelumnya. Strategi yang diupayakan timses itu-itu saja, tidak beralih ke hal yang lebih etis dan demokratis. Seharusnya seseorang dalam memilih itu tidak ada paksaan. Hemat penulis ialah, dalam konteks upaya timses untuk memenangkan kandidatnya, tidak perlu dengan cara yang seperti itu---jikalau memang setelah kampanye berlaku demikian, maka timses tidak yakin dengan kualitas calonnya. Sehingga cenderung untuk melakukan upaya-upaya kecurangan. Biarlah kualitas dari demokrasi yang sehat berbicara dan menentukan.