Mohon tunggu...
Fadli Herman
Fadli Herman Mohon Tunggu... -

Teacher

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sajak Senandung Asa dan Cinta

16 Juni 2014   01:39 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:35 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Karya Fadli Herman

Aku masih mengenal suara itu

Suara-suara yang berdengung dari ruang-ruang hatinya yang paling dalam

Aku masih ingat cahaya lembut itu

Cahaya yang terpancar dari senyum tulusnya

Aku mampu merasakan hangat tubuh itu

Hangat dari peluknya yang penuh seluruh

Aku merindukan suara itu

Aku merindukan cahaya lembut itu

Aku bahkan tak kuasa menahan kerinduan akan pelukan hangat itu

Telah kutempuh jalan panjang mencari makna hadirku

Namun, tak kutemukan

Aku menjalani malam-malam tanpa cahaya, tanpa arah tujuan

Hawa dingin menerpa badanku yang hampa, padahal tak ada angin

Sukmaku terbuang dalam belantara kegelapan yang sunyi senyap

Hidup ini, hidup tanpa makna

Hidup yang telah kehilangan daya, kehilangan fitrahnya

Adakah secercah harapan bagi jasad yang hina ini

Adakah secuil cinta yang tersisa bagi insan yang penuh noda ini

Aku ingin kembali

Aku ingin kembali mendengar dengung suara itu dekat di telingaku

Akan kubiarkan mata ini silau karena menatap cahaya itu

Teruslah memendar dan takkan kubiarkan meredup

Akan kudekap pelukan hangat itu lebih erat dan takkan kulepaskan

Biarlah jiwa ini melebur dalam jiwa-jiwa yang damai

Sampai nurani ini mampu merasakan betapa besar pengorbananmu

Sampai hati yang telah beku ini menjadi luluh sebab cinta yang tak pernah putus darimu

Ibu. . .

Aku baru tersadar

Betapa bahagianya dikau saat kali pertama terdengar tangis dari mulut mungil ini

Aku baru tersadar

Bahwa engkau telah bertaruh nyawa demi kelahiran buah hatimu ini

Bahkan aku baru tersadar

Bahwa engkaulah malaikatku di dunia ini

Ibu. . .

Dalam mimpiku selalu terbayang dosa-dosaku padamu

Pun dalam kesendirian, dosa-dosa itu terus membayangiku

Dahulu, satu waktu aku pernah mengangkat telunjuk kiri ini tepat di depan keningmu

Dengan suara lantang aku menghardikmu dengan wajah garang:

Ibu.

Hari ini aku sudah cukup dewasa

Engkau tak berhak lagi mengatur kehidupanku

Engkau tak berhak lagi mengatur dengan siapa aku harus berkawan

Bahkan engkau tak berhak lagi melarangku pulang malam

Kata-kata itu terlontar tanpa rasa

Lalu kubalikkan badan dan bertolak punggung meninggalkanmu, sendiri.

Aku tahu

Aku tahu bahwa saat itu engkau tak berucap sepatah kata pun

Sebab tak kuasa menerima kenyataan itu

Aku tahu bahwa ketika aku membalikkan badan darimu

Di wajahmu, titik-titik air mata mulai menetes

Aku tahu bahwa sejak saat itu engkau tak pernah putus

mendoakan keselamatan anakmu ini

Meski telah kutorehkan luka dihatimu

Tak pernah sekalipun engkau memendam marah padaku

Meski telah kuabaikan cinta kasihmu

Tak pernah sekalipun engkau memendam benci padaku

Ibu . . .

Aku tahu bahwa suatu saat nanti kita akan berpisah

Bahwa suatu saat nanti tak ada lagi dengung suara itu

Tak ada lagi cahaya lembut yang memancar dari senyummu

Tak akan ada lagi pelukan hangat itu

Ibu . . .

Sekali lagi aku ingin mendengar dengung suara itu

Sekali lagi izinkan aku melihat cahaya lembut yang memancar dari senyummu

Sekali lagi biarkan kupeluk erat ragamu dan jangan kau lepaskan

Biarlah kutumpahkan air mata ini di bahumu

Ampunilah anakmu ini

Maafkanlah segala kesalahan buah hatimu ini

Aku berjanji akan membahagiakanmu

Membuatmu bangga telah melahirkanku

Ampunilah . . .

Maafkanlah aku Ibu

Hari ini engkau hadir tepat di sampingku

Aku tahu bahwa engkau ingin menunjukkan perhatianmu

Membuktikan betapa besar cinta dan kasih sayangmu yang tak pernah putus

Aku tahu bahwa engkau hadir untuk mengulurkan tanganmu

Mengobati kerinduan untuk melihat anakmu ini kembali menyalami tanganmu

Tangan yang sudah terlampau lama tak pernah kukecup dan kusalami

Biarlah perjumpaan ini menghapus seluruh amarah dan kesombonganku

Ayah . . . Ibu . . .

Sebelum engkau tutup usia

Lihatlah harapan yang engkau lekatkan dipundak anakmu ini

Hari ini, anak yang engkau banggakan ini

Sungguh akan membuatmu bangga

Akan kubuktikan bahwa hari ini

Engkau akan mendengar berita kelulusanku

Akan kubuktikan bahwa perjuanganmu membesarkan dan mendidikku

Sungguh tidaklah sia-sia

Ridhahilah. . .

Restuilah. . .

Usaha dan perjuangan anakmu ini

Sorowako, 8 Juni 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun