Karya Fadli Herman
Aku masih mengenal suara itu
Suara-suara yang berdengung dari ruang-ruang hatinya yang paling dalam
Aku masih ingat cahaya lembut itu
Cahaya yang terpancar dari senyum tulusnya
Aku mampu merasakan hangat tubuh itu
Hangat dari peluknya yang penuh seluruh
Aku merindukan suara itu
Aku merindukan cahaya lembut itu
Aku bahkan tak kuasa menahan kerinduan akan pelukan hangat itu
Telah kutempuh jalan panjang mencari makna hadirku
Namun, tak kutemukan
Aku menjalani malam-malam tanpa cahaya, tanpa arah tujuan
Hawa dingin menerpa badanku yang hampa, padahal tak ada angin
Sukmaku terbuang dalam belantara kegelapan yang sunyi senyap
Hidup ini, hidup tanpa makna
Hidup yang telah kehilangan daya, kehilangan fitrahnya
Adakah secercah harapan bagi jasad yang hina ini
Adakah secuil cinta yang tersisa bagi insan yang penuh noda ini
Aku ingin kembali
Aku ingin kembali mendengar dengung suara itu dekat di telingaku
Akan kubiarkan mata ini silau karena menatap cahaya itu
Teruslah memendar dan takkan kubiarkan meredup
Akan kudekap pelukan hangat itu lebih erat dan takkan kulepaskan
Biarlah jiwa ini melebur dalam jiwa-jiwa yang damai
Sampai nurani ini mampu merasakan betapa besar pengorbananmu
Sampai hati yang telah beku ini menjadi luluh sebab cinta yang tak pernah putus darimu
Ibu. . .
Aku baru tersadar
Betapa bahagianya dikau saat kali pertama terdengar tangis dari mulut mungil ini
Aku baru tersadar
Bahwa engkau telah bertaruh nyawa demi kelahiran buah hatimu ini
Bahkan aku baru tersadar
Bahwa engkaulah malaikatku di dunia ini
Ibu. . .
Dalam mimpiku selalu terbayang dosa-dosaku padamu
Pun dalam kesendirian, dosa-dosa itu terus membayangiku
Dahulu, satu waktu aku pernah mengangkat telunjuk kiri ini tepat di depan keningmu
Dengan suara lantang aku menghardikmu dengan wajah garang:
Ibu.
Hari ini aku sudah cukup dewasa
Engkau tak berhak lagi mengatur kehidupanku
Engkau tak berhak lagi mengatur dengan siapa aku harus berkawan
Bahkan engkau tak berhak lagi melarangku pulang malam
Kata-kata itu terlontar tanpa rasa
Lalu kubalikkan badan dan bertolak punggung meninggalkanmu, sendiri.
Aku tahu
Aku tahu bahwa saat itu engkau tak berucap sepatah kata pun
Sebab tak kuasa menerima kenyataan itu
Aku tahu bahwa ketika aku membalikkan badan darimu
Di wajahmu, titik-titik air mata mulai menetes
Aku tahu bahwa sejak saat itu engkau tak pernah putus
mendoakan keselamatan anakmu ini
Meski telah kutorehkan luka dihatimu
Tak pernah sekalipun engkau memendam marah padaku
Meski telah kuabaikan cinta kasihmu
Tak pernah sekalipun engkau memendam benci padaku
Ibu . . .
Aku tahu bahwa suatu saat nanti kita akan berpisah
Bahwa suatu saat nanti tak ada lagi dengung suara itu
Tak ada lagi cahaya lembut yang memancar dari senyummu
Tak akan ada lagi pelukan hangat itu
Ibu . . .
Sekali lagi aku ingin mendengar dengung suara itu
Sekali lagi izinkan aku melihat cahaya lembut yang memancar dari senyummu
Sekali lagi biarkan kupeluk erat ragamu dan jangan kau lepaskan
Biarlah kutumpahkan air mata ini di bahumu
Ampunilah anakmu ini
Maafkanlah segala kesalahan buah hatimu ini
Aku berjanji akan membahagiakanmu
Membuatmu bangga telah melahirkanku
Ampunilah . . .
Maafkanlah aku Ibu
Hari ini engkau hadir tepat di sampingku
Aku tahu bahwa engkau ingin menunjukkan perhatianmu
Membuktikan betapa besar cinta dan kasih sayangmu yang tak pernah putus
Aku tahu bahwa engkau hadir untuk mengulurkan tanganmu
Mengobati kerinduan untuk melihat anakmu ini kembali menyalami tanganmu
Tangan yang sudah terlampau lama tak pernah kukecup dan kusalami
Biarlah perjumpaan ini menghapus seluruh amarah dan kesombonganku
Ayah . . . Ibu . . .
Sebelum engkau tutup usia
Lihatlah harapan yang engkau lekatkan dipundak anakmu ini
Hari ini, anak yang engkau banggakan ini
Sungguh akan membuatmu bangga
Akan kubuktikan bahwa hari ini
Engkau akan mendengar berita kelulusanku
Akan kubuktikan bahwa perjuanganmu membesarkan dan mendidikku
Sungguh tidaklah sia-sia
Ridhahilah. . .
Restuilah. . .
Usaha dan perjuangan anakmu ini
Sorowako, 8 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H