Yang menarik justru adalah kemiskinan paling rendan pada rentang periode 2007 hingga 2016 justru terdapat di Pulau Kalimantan dengan rata-rata sebesar 7,20%, di saat ternyata pertumbuhan ekonomi Pulau Kalimantan berjalan paling lambat jika dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Jika dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi fiskal, hal ini mengindikasikan bahwa ternyata kualitas belanja pemerintah daerah belum menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan.
Selanjutnya adalah tinjauan kepada aspek kesejahteraan manusia di Indonesia berkenaan dengan kebijaakan desentralisasi termaksud. Jika dilihat secara nasional terjadi peningkatan kesenjangan sosial hingga periode 2012 dengan rata-rata sebesar 0,3817. Kemudian secara konsisten mengalami penurunan dari periode 2014 hingga 2016 dengan rata-rata sebesar 0,404. Angka ini masih menunjukkan bahwa sejatinya kesenjangan sosial di Indonesia masih cukup tinggi.Â
Kemudian jika ditinjau secara regional kedaerahan, data kembali menunjukkan fakta yang sangat menarik. Jika sebelumnya ditunjukkan bahwa belanja terbesar terdapat di Pulau Jawa-Bali dan pertumbuhan ekonomi tercepat berada di Pulau Sulawesi, ternyata kedua regional inilah yang memiliki tingkat kesenjangan sosial yang paling tinggi jika dibandingkan dengan regional lain di Indonesia.
Pulau Jawa-Bali menempati urutan tertinggi dalam hal kesenjangan sosial mencapai 0,3830, diikuti oleh Pulau Sulawesi dengan rata-rata sebesar 0,3794 pada rentang periode 2007 hingga 2016 (BPS, 2017). Fakta ini kembali menunjukkan bahwa optimisasi belanja daerah belum begitu membuahkan hasil bagi penurunan kesenjangan sosial yang ada di Indonesia.Â
Bahkan perlu digarisbawahi bahwa kualitas sumber daya (Human Development Index/HDI) manusia di Pulau Sulawesi berada di urutan kedua terbawah sebelum regional Nusa Tenggara-Maluku-Papua. Rata-rata HDI di Pulau Sulawesi adalah 69,51, sedangkan Nusa Tenggara-Maluku-Papua berkisar rata-rata 65,59 selama rentang periode 2007 hingga 2016. Kualitas sumber daya manusia yang tertinggi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa-Bali dengan kisaran rata-rata sebesar 72,69. Â Fakta ini tidak terlepas dari fakta bahwa memang di Pulau Jawa-Bali begitu banyak institusi pendidikan yang memiliki kualitas terbaik di Indonesia.
Dari beberapa temuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata belanja pemerintah daerah dalam kerangka kebijakan fiskal belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian terdapat beberapa solusi strategis untuk mengatasi masalah ini.Â
Yang pertama, harus ditingkatkan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menghindari mismatch pada pengelolaan APBD. Yang kedua adalah penerapan mekanisme insentif dan disinsentif bagi pencapaian pengelolaan fiskal, agar menjadi stimulus bagi daerah meningkatan kinerja pengelolaan APBD nya. Yang ketiga adalah membentuk unit kerja khusus yang secara teknis memahami detail program kerja yang dibiayai oleh belanja negara, sehingga dapat memberikan outcome yang sesuai dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Yang keempat adalah melakukan efisiensi pada overhead cost yang sebenarnya tidak perlu, seperti efisiensi belanja pegawai. Dan yang kelima adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia agar pengelolaan fiskal daerah dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dengan demikian, peran pemerintah untuk mengoptimalan masyarakat madani pun dapat segera diwujudkan.
Muhammad Fadli Hanafi
Konsultan Natural Resource Governance Institue (NRGI)
Kepala Departemen Pelatihan dan Sumber Daya Manusia
Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam PB HMI