Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, ironisnya Indonesia yang dikenal sejak dahulu sebagai negara agraris dan maritim dengan jumlah sumber daya raksasa di segala bidang masih saja kesulitan menghadapi masalah-masalah yang bisa dibilang "mudah" bagi negara dengan potensi sumber daya raksasa seperti Indonesia ini. Sebut saja kenaikan harga daging sapi, daging ayam bahkan hingga cabai dan bawang yang harganya selangit. Dari sejak abad 15 bangsa eropa berbondong-bondong datang ke nusantara untuk mendapatkan hasil bumi nusantara dan pada umumnya negara-negara eropa tersebut sudah menjadi negara maju saat ini berkat rampasan hasil bumi nusantara yang mereka dapat di masa lalu. Lalu bagaimana kita sekarang? Apakah kita masih mau bertindak yang sedikit-sedikit menyalahkan pemerintah? lalu, apakah kita pernah mengkoreksi diri kita sendiri sebagai rakyat?
Sejak orde baru runtuh dan memasuki era reformasi sejak itu pula bangsa Indonesia selalu di terpa dengan masalah-masalah kebutuhan pokok yang sebenarnya adalah sebuah masalah "sepele" bagi negara dengan sumber daya melimpah seperti Indonesia ini. Pada awalnya saya juga selalu menyalahkan pemerintah siapapun presiden Indonesia sejak era reformasi, namun belakangan ini khususnya setelah saya lulus kuliah dari IPB baru lah saya tahu ternyata sebagian besar penyebab masalah-masalah tersebut adalah RAKYAT INDONESIA sendiri. Mungkin pemikirian saya ini terlihat kontroversial dan bisa tidak disukai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya tetapi mau tidak mau kita harus mau melihat kedalam diri kita sendiri sebagai rakyat.
Jika kita perhatikan kenapa harga-harga bahan pokok itu bisa naik selangit padahal kita adalah negara agraris sekaligus maritim, sebenarnya mudah saja, dan para sarjana ekonomi pun tahu apa penyebabnya, HUKUM PERSEDIAAN DAN PERMINTAAN. Dimana ada ekses permintaan pasti harga naik, dan sebaliknya dimana ada ekses persediaan pasti harga turun. Jadi kita sudah mengetahui kenapa harga-harga kebutuhan pokok naik selangit penyebab utamanya adalah adanya kekurangan persediaan dan tingginya permintaan. Tapi mengapa kita bisa kekurangan persediaan ? mari kita lihat kenapa saya berani bilang bahwa rakyat Indonesia sendirilah yang menjadi penyebabnya.
Para Kompasianers saat baru lulus kuliah sebagian besar ingin bekerja sebagai karyawan, sukur-sukur bisa bekerja di perusahaan asing. Tapi sangat jarang, bahkan di lingkungan kampus saya sendiri di IPB dulu yang notabenenya sebagai kampus Pertanian saya jarang mendengar ada mahasiswa yang ketika lulus ingin menjadi petani ataupun sebagai peternak. Lebih ironisnya para orang tua menganggap jika seorang anak kuliah hingga di perguruan tinggi kemudian ingin menjadi petani atau peternak setelah lulus maka stigma yang timbul adalah bahwa anak itu tidak berhasil. Sudah menjadi justifikasi publik bahwa pekerjaan menjadi petani atau peternak itu adalah pekerjaan kelas bawah. Orang tua saat ini lebih baik anaknya menjadi kacung asing di banding menjadi petani atau pun peternak. Sekali lagi masyarakat Indonesia sebagian besar berpikir bahwa pekerjaan menjadi Petani atau Peternak adalah pekerjaan kelas bawah.
Kita tidak bisa munafik mengenai hal ini, mungkin satu atau dua tahun dampaknya tidak begitu terasa tetapi jika hal ini terus-menerus berjalan setidaknya 10 tahun barulah kita menyadari dan merasakan dampaknya seperti sekarang ini. Akibatnya lahan pertanian menyusut, hasil ternak dalam negeri pun jatuh. Akibatnya kita harus melakukan impor barang yang sebenarnya bisa sangat mudah kita kembangkan di negara kita sendiri. Untuk impor membutuhkan Dollar dan pada akhirnya menimbulkan efek domino seperti sekarang ini semuanya jadi serba mahal dan negara kita di ambang krisis.
Jadi mindset rakyat Indonesia sendiri yang menentukan dalam jangka panjang maju atau tidak nya negara ini. Jika mindset rakyat Indonesia masih terus-menerus seperti ini jangan pernah berharap negara kita akan menjadi negara yang sejahtera. Sebuah negara yang maju tidak hanya karena faktor pemerintahnya, tetapi juga pola perilaku dan berpikir rakyatnya sendiri yang sebenarnya memiliki dampak lebih besar untuk kemajuan sebuah negara.
Â
SUDAH SAATNYA KITA BERPIKIR DAN MENUNJUK KESALAHAN DIRI KITA SENDIRI KENAPA KEADAAN NEGARA KITA MENJADI SEPERTI INI DAN JANGAN HANYA BISA MENUNTUT, MENUNTUT DAN MENUNTUT. IBARAT SEMUT DI KEJAUHAN TERLIHAT, GAJAH DI DEPAN MATA SENDIRI TIDAK TERLIHAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H