Film merupakan media massa yang sering digunakan untuk merepresentasikan suatu hal. Karena sebagai suatu medium (sebagai suatu sarana representasi), film adalah ilusi dalam kaitannya dengan realitas yang dianggap nyata diluar representasi itu (Lechte, 2001). Artinya meski film merupakan bagian dari fiksi/imajinasi manusia tetapi ide - ide yang diangkat mengambil dari realitas di kehidupan nyata. Itu sebabnya film dapat menjadi sarana efektif untuk mempelajari budaya atau kelompok sosial tertentu.
Budaya - budaya Indonesia seringkali direpresntasikan dengan beraneka jenis film kepada masyarakat. Dari film - film tersebut akhirnya kita mengidentifikasikan suatu budaya atau etnis tertentu. Film bisa berandil besar dalam memberikan steriotype etnis tertentu memperbesar rasisme di tengah masyarakat. Film yang beretika mampu menempatkan pesan - pesan yang disampaikan secara adil tanpa diskriminasi.
Selain representasi, identitas juga memiliki kaitan erat dalam mendefinisikan etnisitas. Konsep identitas sejatinya membentuk representasi. Representasi memiliki arti bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya (Eriyanto, 2001). Artinya, representasi itu dibentuk oleh individu atau sekelompok orang mengenai suatu hal. Berbicara mengenai representasi, terlebih representasi mengenai identitas sebuah budaya atau etnis minoritas yang selama ini “tersisih” dan kurang mendapat ruang di media mainstream maka prespektif yang digunakan dalam menggambarkan “mereka” penting untuk dicermati. Perspektif yang adil tentu sejalan dengan kemanusiaan. Sementara perspektif yang berat sebelah hanya akan menimbulkan perpecahan atau diskriminasi etnis minortitas. Hal itu sering ditemui melalui penggambaran di media massa, khususnya film.
Sebenarnya konstruksi representasi dari kelompok tertentu di media massa merefleksikan relasi kekuasaan yang ada. Hal ini lah yang terjadi pada penggambaran etnis Tionghoa di film Indonesia. Terlebih lagi dalam konteks zaman Orba. Representasi etnis merefleksikan nilai-nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi dari masyarakat yang memproduksinya. Kebijakan pemerintah berhubungan dengan keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia telah beberapa kali dikeluarkan. Salah satu film yang cukup jelas menggambarkan relasi kekuaasan dan etnisitas di negeri ini adalah film Dibalik 98.
Dibalik 98 berlatarkan kejadian Mei 1998 saat reformasi terjadi. terjadi suatu Kerusuhan besar yang menjadi tonggak awal sistem Demokrasi di Indonesia. Pada Hal ini pula yang mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto yang selanjutnya digantikan oleh Presiden B.J. Habibi. Kerusah ini berawal dari Kesenjangan sosial yang ada di Indonesia serta terjadinya Krisis Moneter saat itu. Serta dipicu oleh tewasnya 4 mahasiswa trisakti dalam demonstrasi yang terjadi pada 12 Mei 1998. Salah seorang mahasiswi (Chelsea Islan) yang berasal dari keluarga tentara memutuskan menjadi salah satu aktivis '98 yang mendapatkan tentangan dari keluarganya. Bersama kekasih (Boy William) serta anggota aktivis lainnya dia tetap menjalankan aksi demo yang berakhir membahayakan mereka semua.
Dalam film ini digambarkan sekumpulan orang Cina hanya dapat berdiam diri ketika masyarakat pribumi menjarah dan menghancurkan toko dan kendaraan yang berada dijalan, dari raut wajah mereka terlihat takut dan khawatir apa yang akan terjadi pada mereka nantinya. Mereka hanya dapat bersembunyi dari masyarakat pribumi. Hal yang melatar belakangi hal tersebut juga belum diketahui betul kasus tersebut tidak diperkarakan lebih lanjut. Namun, prasangka negatif muncul karena ada kesenjangan ekonomi antara warga pribumi dan etnis cina.
Apabila kita mengamati pembicaraan tentang isu etnisitas yang selama ini dikembangkan baik secara tertulis maupun lisan, tampak bahwa isu etnisitas selalu dikaitkan dengan konsep ”kelompok etnik” yang selama ini dikenal dalam studi-studi antropologi klasik, seperti Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference yang ditulis oleh Fredrik Barth (1969).
Dalam buku Fredrik Barth, sebuah kelompok etnik didefinisikan dengan batas-batasnya yang cenderung “alamiah” dan ”tetap”. Dalam pengertian yang demikian, etnisitas juga cenderung dilihat sebagai bagian dari kebudayaan yang baku, dan kurang lebih statis, yaitu sebagai suatu batasan identitas sosial-budaya yang membedakan kelompok etnik yang satu dengan yang lain. Perspektif yang demikian tidaklah salah, karena di masa lalu, khususnya ketika kelompok-kelompok etnik di Indonesia masih hidup terpisah-pisah satu sama lain, perbedaan-perbedaan di antara mereka memang sangat jelas, paling tidak apabila dilihat dari pilar-pilar budaya yang umum seperti bahasa, tradisi dan ritual keagamaan. Selain itu, tempat pemukiman mereka yang saling berjauhan menyebabkan interaksi di antara mereka sangat terbatas dan cenderung sporadik, sehingga kekhasan budaya masing-masing kelompok relatif terjaga atau terpelihara.
Namun, dewasa ini perbedaan antar etnis di Indonesia sudah membaur. Akses transportasi antar daerah, penyebaran media masa, aktivitas sosial di internet mempersempit jarak perbedaan antar etnis. Agama tidak lagi menjadi ciri bagi etnis tertentu. Bahasa Indonesia juga sudah menjadi bahasa pemersatu. Bangsa Indonesia saat ini tidak lagi hidup terpisah – pisah. Nilai – nilai pancasila bisa menjadi kekuatan untuk menghilangkan rasisme. Standar ganda yang sering dialami oleh etnis tertentu sangat mungkin dihilangkan dengan slogan Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”
Fadlan Fachri Fauzi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H