"Hati-hati agamamu rusak kalau baca buku itu,"Â ujarku sedikit menyindir. Dia tak merespon.
Belakangan saya merasa protesnya sebelumnya hanya sebatas protes dogmatis yang apologi doktriner. Ini wajar bagi mereka yang tak peka pada wawasan filsafati, atau bagi mereka yang... Ah sudahlah, nanti ada yang ngamuk lagi.
Dengan mempelajari dan memahami pemikiran orang lain, dapat membantu kita merumuskan pemikiran kita sendiri.
Mengonsumsi pemikiran-pemikiran yang berbeda dari kebanyakan orang memang sulit diterima oleh bedes-bedes yang notabene 'orang percaya'. Credo naif khas abad pertengahan. Namun, manusia-manusia langkah nan garib seperti Nietzche dan kawan-kawan tentu memiliki persona juga pesona sendiri, alih-alih bagi mereka yang baru mengenalnya. Memahami alur paradigma mereka memang kadang sulit, tapi saya percaya satu hal: dengan mempelajari dan memahami pemikiran orang lain, dapat membantu kita merumuskan pemikiran kita sendiri.
Berbeda pandangan atau pemikiran itu sah-sah saja dan nyatanya Tuhan sendiri-lah yang menciptakan itu. Hemat saya, ini bukan soal belajar apa atau baca buku apa, atau aliran apa, tapi soal proses menelaah dan jalan berpikir yang dihasilkan. Kiranya mungkin tak lagi bijak jika kita selalu ringan mulut mengadili apakah ini salah atau apakah ini benar; Apakah ini sesat atau tidak; Atau apakah ini kafir atau tidak.
Sementara sibuk mengayang di alam pikiran sendiri, suara yang tak asing itu memanggil, "Lan, sudah,"
"Hah? Betul sudah? Buku tebal begitu sudah habis kau baca?" ujarku dengan nada terkejut. Antara terkejut dengan kata "sudah"nya dan terkejut karena dia yang memanggil tiba-tiba.
Â
"Bukan. Maksudku, saya sudah mengerti apa maksud ucapan orang ini (Nietzche)," nampak senyum tanda puas ia perlihatkan sambil memandang buku digenggamannya itu.
"Oh bagus. Bukunya simpan ulang pale. Kasih rapi," ujarku dengan jari yang masih sibuk bergumul dengan touchscreen smartphone. "Tapi...." ucapku menggantung.
"Tapi apa?"
"Agamamu tidak rusak, kan?"
Dia hanya tersenyum dan pergi.