Awalnya, di bulan ramadan ini saya yakin benar bahwa manejemen keuangan kita mungkin bisa lebih hemat karena seharian tidak ada ongkos perut yang mesti di isi kecuali saat berbuka dan sahur. Namun Buka Bersama (Bukber) datang bagai rayap. Biarpun hanya sekali, tapi pengeluaran yang dilakukan pun tidak main-main. Belum lagi sederet ajakan bukber disana-sini. Dari grup alumni-lah, dari grup kelas-lah, jurusan-lah, organisasi-lah. Entah siapa yang pandai buat mengkalkulasikan itu semua.
Tentu bukber merupakan kesempatan yang pas untuk kumpul bersama teman atau mungkin mantan-mantan Anda (jika 'iya'). Lah, kalau bukbernya dengan orang-orang yang tiap hari nampak batang hidungnya dengan kita, bagaimana? Bicara buat sekedar basa-basi pun mungkin sudah terasa garing, apalagi bagi manusia intovert seperti saya. Konon adanya adat buka bersama (bukber) ini hanya khusus bagi mereka yang memang jarang bertemu. Misalnya bagi kalian yang LDR-an. Hiks..
Tidak banyak yang diicip melainkan sekedar bacotan yang tendensius dan unfaedah. Belum lagi sederet pertanyaan yang kadang membuat telinga kita panas. Tidak banyak pula yang didengar kecuali suara piring dan sendok yang saling bergumul dan hiruk pikuk korban bukber lain di meja depan atau samping kita (hah? Kita?)
Ini terjadi dengan teman saya, sebut saja Ojo. Usai mendapat kiriman dari orang tuanya di kampung, Ojo dengan anggaknya meng-amin-kan semua ajakan bukber yang di kirim via grup whatsapp teman-temannya tanpa ba bi bu. Lantas saja semua uang kiriman yang tadinya ingin digunakan untuk membayar kos dan membeli beberapa keperluan kuliah itu pun habis bak ditelan lumpur. Belakangan ia sadar kalau belum membayar iuran kos dan ternyata sudah menunggak beberapa bulan. Sekarang akhirnya kelabakan sendiri sampai pinjam uang disana-sini.
Dari cerita itu kita (hah? Kita?) bisa belajar banyak hal agar tidak lupa dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang mungkin lebih penting. Dalam filsafat Epicurean, walaupun tokoh se-hedon Epikurus atau Aristippus yang konon senangnya berfoya-foya dan numpukin harta demi kesenangan diri, menurut mereka seseorang itu mesti pandai menahan godaan kenikmatan yang sifatnya semu dan terkadang nantinya justru menyusahkan diri sendiri. Kita juga perlu memikirkan kenikmatan yang sifatnya jangka panjang.
Walaupun pandangan mereka soal hidup adalah juga soal 'kenikmatan' namun ia maklum bahwa kenikmatan juga perlu perhitungan yang tepat. Epikurus juga menekankan bahwa hasil-hasil yang menyenangkan dari suatu tindakan harus selalu mempertimbangkan efek samping yang mungkin ditimbulkan.
Kenikmatan yang dimaksud disini bukan sekedar kenikmatan makanan ya, ferguso. Tapi juga kenikmatan kumpul bersama, gosip bersama, atau nge-bacot bersama. Yang jelas kenikmatan yang sifatnya general.
Saya percaya bukber seperti ini punya value yang penting (walaupun tidak penting-penting amat) dan tentu punya kenikmatan tersendiri apalagi di meja kita sudah disajikan makanan kesukaan, gado-gado misalnya. Atau jangan-jangan masing-masing kita juga punya nilai tersendiri dalam mengukur kenikmatan primordial kita. Namun, alih-alih bisa menikmati makanan dengan lahap atau nostalgia bersama mantan, kita tidak sadar tengah melupakan keperluan yang lebih penting. Apalagi teman-teman yang tinggal di kos-an seperti kasus diatas. Finansial kalian mungkin perlu diperhatikan kembali.
Saya harap bagi pembaca tidak salah paham dengan maksud tulisan saya ini. Fokus saya bukan pada kegiatan bukber pada umumnya, tapi bukber yang secara filosofis justru lebih banyak menyusahkan diri sendiri sebagaimana kasus di atas.
Pernah terpikirkan, tidak? Biar tidak ada Ojo-Ojo yang lain lagi di antara kita (hah? Kita?).
18 Mei, di balik lindung selimut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H