Komunikasi politik di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dengan kemunculan media sosial sebagai salah satu alat utama untuk membangun citra diri. Di era digital ini, politisi dan partai politik menggunakan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk menyampaikan pesan politik dan membangun hubungan dengan publik. Media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga medan interaksi dan pertempuran opini yang memengaruhi persepsi masyarakat. Namun, media sosial juga membawa tantangan, termasuk polarisasi politik, manipulasi informasi, dan reaksi keras dari masyarakat. Hal ini menjadi penting karena media sosial tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga ruang interaksi yang dapat membentuk persepsi publik secara cepat dan luas. Tetapi, dampak dari strategi pencitraan ini perlu dikaji secara kritis: apakah menciptakan hubungan yang lebih dekat antara politisi dan rakyat, atau malah memperburuk polarisasi di masyarakat?
Seperti fenomena cuitan lama Ridwan Kamil di Platform X yang menjadi sorotan netizen saat ia mencalonkan diri dalam pemilihan yang diusung oleh partai besar adalah salah satu contoh yang menarik untuk dianalisis adalah kasus Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, yang baru-baru ini menjadi sorotan karena cuitan-cuitan lamanya yang kembali diungkit oleh netizen. Kasus ini menunjukkan bagaimana rekam jejak digital dapat digunakan untuk menyerang kredibilitas tokoh politik, sekaligus menggambarkan dinamika komunikasi politik di era media sosial. Dalam esai ini, akan dianalisis bagaimana pencitraan politik di media sosial memengaruhi persepsi publik, dampaknya terhadap masyarakat, serta tantangan yang dihadapi dalam membangun komunikasi politik yang sehat.
Pencitraan dalam politik di era sosial media sering kali dilakukan dengan memanfaatkan berbagai teknik komunikasi yang menarik perhatian publik. Politisi menggunakan platform-platform ini untuk menyampaikan pesan, membangun narasi, dan menciptakan citra yang diinginkan. Misalnya, Ridwan Kamil, yang dikenal sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat, harus menghadapi backlash ketika cuitan-cuitan lamanya yang menyindir karakter orang Jakarta diungkit kembali. Cuitan-cuitan tersebut, yang berisi kritik terhadap perilaku warga Jakarta, menjadi senjata bagi netizen untuk menyerang pencalonannya sebagai calon presiden.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana media sosial berfungsi sebagai arena di mana citra publik dibentuk dan dihancurkan. Cuitan-cuitan Ridwan Kamil yang dihapusnya tidak menghapus jejak digitalnya, dan ketika netizen mengangkat kembali cuitan tersebut, hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi politisi untuk mengendalikan narasi yang beredar di dunia maya. Meskipun Ridwan Kamil telah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, respons publik menunjukkan bahwa pencitraan yang dibangun melalui media sosial tidak selalu dapat dengan mudah dipulihkan.
Dampak dari pencitraan politik di era sosial media ini juga dapat dilihat dari polarisasi yang terjadi di masyarakat. Ketika politisi berusaha membangun citra positif, mereka sering kali melakukannya dengan cara yang dapat memecah belah opini publik. Dalam kasus Ridwan Kamil, dukungan dari Bobotoh, pendukung setia Persib Bandung, tidak cukup untuk menetralkan kritik yang datang dari warga Jakarta yang merasa tersinggung. Hal ini menunjukkan bahwa pencitraan yang dilakukan tidak selalu menciptakan kedekatan dengan rakyat, tetapi justru dapat memperburuk polarisasi di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.
Media tradisional juga masih memiliki peran penting dalam komunikasi politik di Indonesia. Meskipun media sosial memberikan ruang bagi politisi untuk berinteraksi langsung dengan publik, media tradisional seperti televisi dan surat kabar tetap menjadi sumber informasi yang berpengaruh. Namun, dengan semakin banyaknya informasi yang beredar di media sosial, masyarakat sering kali terjebak dalam "echo chamber," di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Hal ini dapat memperburuk polarisasi dan mengurangi kualitas diskusi publik.
1. Teknik Pencitraan Politik di Media Sosial
Pencitraan politik melalui media sosial memanfaatkan berbagai teknik, seperti storytelling, penggunaan konten visual yang menarik, dan interaksi langsung dengan pengguna. Platform seperti Instagram, X, dan TikTok memainkan peran penting dalam strategi ini. Instagram sering digunakan untuk menampilkan sisi humanis dan kegiatan sehari-hari politisi, sementara X menjadi alat untuk menyampaikan opini singkat dan membangun narasi politik. TikTok, di sisi lain, digunakan untuk menjangkau generasi muda melalui konten kreatif dan hiburan.
Sebagai contoh, banyak politisi memanfaatkan Instagram untuk membangun citra sebagai tokoh yang merakyat. Mereka membagikan foto dan video yang menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat, seperti ikut serta dalam kegiatan sosial atau menghadiri acara keagamaan. TikTok digunakan untuk menyampaikan pesan kampanye dengan gaya yang lebih santai dan menghibur, menggunakan tren musik atau tantangan viral yang menarik perhatian kaum muda.
Namun, strategi ini tidak selalu berjalan mulus. Fenomena cuitan lama Ridwan Kamil menjadi bukti bagaimana rekam jejak digital dapat memengaruhi persepsi publik. Beberapa cuitan yang menjadi sorotan, yang dilansir dari laman tempo.co seperti, "Tengil, gaul, glamor, songong, pelit, gengsian, egois, pekerja keras, tahan banting, pamer, hedon. Itu karakter orang Jakarta" (2011) dan "Kawasan Mangga Besar Jakarta itu seperti Azahari Sisers: Gak jelas dan suka bikin kehebohan menggel*njang" (2011), memicu reaksi keras dari masyarakat. Meskipun cuitan tersebut telah dihapus dan Ridwan Kamil telah meminta maaf, dampak negatifnya tetap terasa, terutama karena cuitan-cuitan itu dicuatkan kembali oleh netizen sebagai bentuk kritik terhadap pencalonannya.