Oleh karenanya bencana akan terus terjadi dan mungkin akan se-makin parah jika pola tata ruang yang selama ini ada tidak segera dibenahi. Lalu bagaiamana dengan kondisi Kota Semarang, apakah kondisi bencana longsor yang selalu senantiasa menjadi ancaman warga masyarakat kota Semarang merupakan buntut dari pola penataan ruang yang tidak melihat aspek daya tampung dan daya dukung lingkungan?
Jika mencermati pergerakan Kota Semarang dari waktu ke waktu, bisa kita lihat dimana daerah yang dulunya daerah resapan air berubah menjadi perumahan-perumahan. Daerah-daerah curam yang berpotensi longsor juga kemudian banyak beralih fungsi menjadi kawasan perumahan. Inilah yang kemudian menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat luas. Apakah pembangunan yang ada sudah memasukan unsur-unsur kajian lingkungan sebelumnya, kemudian apakah pemerintah Kota Semarang sudah melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sesuai dengan perintah UU No 32 Tahun 2009 Pasal 19 yang menyatakan bahwa Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS.
Sudah semestinya penataan Tata Ruang yang baik menjadi landasan kita agar bencana-bencana alam dapat diminimalisir. Dalam kerangka yang lebih luas, penyusunan tata ruang harus sepaket dari program pembangunan sehingga rancangan tata ruang yang baik tak hanya menjauhkan masyarakat dari bencana, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Apalagi jika Semarang ingin “Hebat” dan tangguh dalam menghadapi bencana. Semoga!
Fajrul Falakh, SKM (Awardee LPDP Universitas Diponegoro)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H