Mohon tunggu...
Fadjar Hadi
Fadjar Hadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Unpad Jurusan Ilmu Sejarah 2012.

Selanjutnya

Tutup

Money

Perkembangan Keuangan Pemerintah VOC di Indonesia

21 Juni 2015   20:03 Diperbarui: 5 Juli 2015   14:54 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan Konstitusional Sesudah Pengambilalihan VOC

Sejak abad ke 18 terjadi perubahan penting dalam sifat kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu disertai dengan perubahan besar mengenai pentingnya dana yang dipakai untuk memenuhi tugas-tugas pemerintah. Ketika pada tahun 1769 VOC diambil alih oleh Republik Batavia ( Belanda ), terjadi sedikit perubahan dalam pengaturan milik di Hindia-Belanda. Kekita akhirnya VOC dibabarkan pada 1798 karena korupsi administrasi pun tidak berubah. Dalam beberapa dasawarsa pertama abad 19, orang masih akan menjumpai cara pembukukan VOC yang disusun terutama untuk mengatur kegiatan perdagangannya. Sebelumnya pada tahun 1795 selain melalui cara itu hampir tidak mungkin diambil kesimpulan tentang penerimaan dan pengeluaran untuk tugas-tugas VOC sebagai pemerintah territorial atau dari berbagai tagihan teritorialnya yang lain. Jadi untuk sementara tidak terjadi banyak perubahan.

Walaupun dalam UUD sudah ditetapkan bahwa Negara menjalankan hak-hak kedaulatan atas milik di kepulauan Nusantara, kemajuan arah ke suatu pemerintah territorial yang lengkap demikian lembatnya, sehingga sukar untuk menetukan titik permulaannya. Seperti dikatakan sebelumnya, sampai tahun 1829 pembukuan umum pemerintah masih diatur menurut cara yang dipakai untuk perdagangan, yang merupakan peninggalan dari zaman VOC. Hampir tidak ada data yang diketahui mengenai periode 1795-1811.

Untuk menjamin perdagangan dalam produk ekspor VOC memperoleh berbagai macam hak selama masa kerjanya, VOC menjalankan hak-hak territorial langsung atas daerah yang relative terbatas antaralain sekitaran Batavia dan Maluku. Disamping itu, daerah-daerah lain juga diperoleh pula hak pengawasan terhadap pengusaha pribumi mula-mula semacam apanage seperti di pantai utara dan timur Jawa dan di bagian selatan Jawa (priangan), liat juga De Klien. Banyak dari hak itu didasarkan pada kontrak monopolis untuk menyerahkan hasil-hasil dan disamping itu ada perjanjian dagang yang langsung tanpa ada wewenang administrative. Proses konsilidasi terhadap hak itu sudah dimulai sejak abad ke 18, dan pada permulaannya dapat dikatakan bahwa dalam praktek ada pemerintah dibawah kekuasaan Belanda yang berdaulat dan pada waktu itu pun hanya pada bagian-bagian yang ditunjuk sebagai daerah langsung berada didalam pengawasan pemerintah.

Ini tentunya berbeda dengan kesultanan Jawa dan pulau-pulau lain yang tetap memegang unsur dalam negeri mereka walaupun mereka tunduk kepada Belanda. Atas pengatruran Gubernur Genderal Daendels (1808-1811), kekuasaan pemerintah di Jawa menjadi nyata. Pemerintah sementara Inggris mengambil kekuasaan penuh di daerah Jawa, walaupun ia membedakan dengan konsekuen antara administrasi pemerintah dan perdagangan. Kesultanan Yogyakarta dan sebagian besar wilayah kerajaan luar Jawa berada diluar wewenang administrasi keuangan. Keadaan ini untuk sebagaian besar tetap sampai awal abad ke 20.

Pemerintah sebagai pemakai uang.

Setelah keuangan pemerintah lenih teratur, perlu ditempatkan dalam rangka system ekonomi nasional. Disini terutama diperlihatkan kedudukan pemerintah sebagai pemakai uang dalam ekonomi Hindia-Belanda selama periode yang dipelajari, yaitu tahun 1816-1939, menurut garis besarnya sejumblan periode dapat dibedakan dan ini memberikan suatu kerangka untuk mempertimbangkan suatu data yang disajikan.

Batas waktu yang dapat dilihat sejak pemerintahan sementara Inggris sampai cultuurstelsel mulai berlaku pada 1830 (system tanam paksa). Dalam masa ini pemerintah giat bekerja untuk mengatur Negara dengan pengecualikan seperlunya dan terutama produsen-produsen dibidang pertanian dan perdagangan asing yang agak besar jumlahnya (kebanyakan dari mereka bukan keturunan Belanda). Ketika itu impor barang murah dan tekstil meningkat. Tata keuangan Negara tidak terurus dengan baik dan pada awal 1829 jumlah kekurangan anggaran sudah sebesar F 37,7 juta.

Selama masa ini pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan yang didapat dari perdagangan ekspor Jawa dan pada waktu itu hampir merupukan satu-satunya sumber penghasilan uang Negara. Banyaknya pengeluaran Negara dialokasikan untuk militer sebagian besar berupa perak digunakan untuk gaji setelah perang Diponogorodari 1825-1830 dan paling banyak menelai biaya sampai F 20-25 juta. Dalam masa itu banyak sekali uang digunakan untuk pemeliharaan perawatan bangunan dan pembuatan jalan dan pekerjaan lain.

Hal ini terus berlangsung sampa beberapa periode hingga pada akhirnya pemerintah Belanda menggunakan sistim cultuurestelsel yaitu sistim tanam paksa dengan menanamkan sejumlah komuditas unggulan ekspor pada masa itu seperti kopi, indigo, dan komuditas lainnya yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi di Eropa sana. Sistim ini cukup berjalan dengan effektif karena dalam banyaknya table yang diperlihatkan dalam buku ini, keuangan pemerintah Belanda mulai mengalami kemajuan secara perlahan, hutang-hutang mereka mulai dapat diatasi dan pemasukan yang cukup besar dari hasil ekspor dapat membiayai oprasional pembangunan daerah di sekitaran Jawa dan juga anggaran dalam militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun