Mohon tunggu...
GoneGone
GoneGone Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tukang Ketik

Menulis, Membaca, Berpetualang dan Bercinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit Tanpa Matahari

1 Februari 2023   15:45 Diperbarui: 1 Februari 2023   15:52 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak mengenal langit? Seluruh makhluk di bumi ini pastilah teramat akrab dengan nama itu. Ia yang bila kulihat, hanya sebuah bentangan luas tak berujung dan tak berbatas. Ia akan menampakkan warna biru di siang hari dan hitam di malam hari. Namun, Langitku amatlah berbeda. Langitku hanya mengenal langit yang gelap. Langitku hidup tanpa matahari.

Di suatu pagi yang teramat cerah, Langit menciumku seperti pagi-pagi sebelumnya. Dia menengadah ke luar jendela kamar, tersenyum lembut sambil sesekali menatapku, lalu kembali melihat langit biru bergantian. 

Langit sering mengeluh padaku, bahwa jauh di dalam hatinya, dia ingin merasakan hangat dan panasnya matahari. Tapi itu mustahil. Karena jika dia memaksakan keinginannya, dalam waktu cepat dia akan segera merasakan sakit, dan mati.

"Matahari adalah kematian!" ungkapnya, setelah puas memerhatikan biru langit dan menutup gordeng jendela kamarnya. 

Sebenarnya, Langitku masih bisa menikmati langit meski tanpa matahari. Langit di malam hari justru terlihat lebih menjajikan keindahan. Langit bisa leluasa menghirup udara malam, menyaksikan purnama atau sabit, menghitung bintang-bintang atau menebak rasi, membedakan Mars dan Merkurius, menunggu meteor jatuh lalu membuat permohonan kecil. 

Dia bangun di awal senja, mandi dan berdandan seperti perempuan normal lainnya yang hendak beraktivitas di pagi hari. Aku tak pernah lupa memberinya pujian, ketika gadis itu mulai lincah memainkan alat make up-nya di depan cermin. Langitku sangat cantik.

*

Malam itu, Langit kembali melihat bintang jatuh. Dia pun cepat memejamkan matanya dan merapal doa dalam hati.

"Kamu membuat permohonan lagi?" tanya Noah, temannya sejak kecil. Dia sering mengunjungi Langit nyaris setiap hari. Mengajaknya jalan-jalan, ke tempat-tempat yang tak banyak Langit ketahui.

"Tentu." Langit menjawab pelan. Dia menekuk wajahnya, memandangku.

"Apa permohonanmu kali ini?" Pertanyaan Noah sama dengan apa yang ingin kutanyakan.

 Langit tersenyum. "Masih sama." 

"Sama itu, apa?" 

"Aku ingin ...," Langit menghela napas, mendelik padaku sambil menggigit bibir. "Matahari!" lanjutnya. 

Noah mengernyit kaget, Langit tidak mungkin merasakan hangat matahari apalagi melihat langsung sinarnya. 

*

Langitku hanya mengenal malam. Dia tak pernah lagi mendapatkan pesona matahari terbit dan tenggelam. Penyakit XP yang dideritanya selama ini menghentikan segala mimpi-mimpi tentang biru langit dan matahari. 

Kondisi Langit semakin hari semakin memburuk. Belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit langka itu. Terlebih di usianya yang menginjak angka 18, dokter justru memvonis umurnya hanya akan bertahan sekitar dua bulan lagi.

"Aku tidak apa-apa, Sun," ucapnya lirih.

"Selama ini, aku selalu bertahan untuk hidup dan bahagia." Langit kembali menciumku. Kali ini dia terlihat cukup kesulitan karena kedua tangan dan kakinya mengalami kelumpuhan. Tapi senyumnya tak pernah hilang. Sementara orang tua dan sahabatnya, Noah, tak jarang meneteskan air mata ketika berada di dekat Langit. 

Aku percaya, di dunia ini tidak ada yang mustahil. Tuhan punya kuasa untuk memberikan mukjizat pada umat-Nya. Aku selalu berdoa untuk Langit, agar dia bisa hidup lebih lama lagi, agar dia bisa berteman dengan matahari.

*

Benar saja, sudah enam bulan terlewati, nyatanya Langit masih hidup. Dia bahkan sudah mampu berjalan dan menggerakkan kedua tangannya seperti dulu. Itu semua berkat terapi dan pengobatan yang dia jalani. Dokter yang menanganinya pun takjub dengan perkembangan Langit. 

Suatu malam, Langit mengajakku pergi ke pantai yang cukup jauh dari rumah. Kami bercerita banyak sekali kisah hingga lupa waktu. Jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan angka lima, yang artinya kami harus segera pulang. Aku khawatir cahaya matahari akan membuatku kehilangan Langit.

"Kamu tidak perlu khawatir, Sun. Dokter bilang aku akan sembuh," katanya, seperti tahu apa yang kupikirkan.

"Tapi aku takut ka-,"

"Sekali saja, aku ingin merasakannya!" tegasnya.

Langit membentangkan kedua tangannya, menunggu matahari terbit sambil menengadah. Perlahan sinar berwarna kuning keemasan berpendar pada kulitnya yang pucat. Tidak terjadi reaksi apa-apa. Langit mengupas senyum penuh kemenangan.

"Lihat kan, Sun? Aku baik-baik saja. Mari kita pulang!"

Sesampainya di rumah, kami disambut oleh wajah-wajah gusar orangtua Langit. Mereka pasti sangat khawatir terjadi sesuatu. Langit segera memeluk mereka dan pergi ke kamar untuk tidur.

Dan malamnya, ketika Noah datang untuk memenuhi undangan makan malam keluarganya, Langit tak kunjung bangun. Ternyata, Tuhan telah menjemput Langit menuju langit. Langit telah pergi untuk selama-lamanya.

Dua tahun sudah Langit meninggalkan kami. Tapi aku masih berada di sampingnya, menemani tidur panjangnya, sambil sesekali bercerita tentang kisah Langit di masa lalu. Aku. Akulah bunga matahari yang selama Langit masih hidup nyaris tak pernah jauh darinya. Nyaris tak pernah kekurangan ciumannya. Noah membiarkanku tumbuh, hidup, dan tinggal bersama Langit di samping pusaranya.

***

Dimuat pada tanggal 10 Maret 2019, Bangka Pos

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun