Mohon tunggu...
Fadil S. Isnan
Fadil S. Isnan Mohon Tunggu... Konsultan - Teman Bercakap

Semesta Mendukung

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

The Power of Merantau

15 Januari 2015   12:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:06 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini sudah bisa ditebak isinya hanya dengan membaca judulnya. Ya, benar. Ini tentang merantau. Meratau adalah salah satu langkah pamungkas untuk membuat kita menjadi dewasa. Hanya dengan merantau, kita bisa merasakan arti kehilangan dan memiliki. Merantau juga mengajari kita mengenai artinya mensyukuri segala yang kita miliki saat ini.

Bagi teman-teman yang belum pernah merantau, saya akan menuliskan bagaimana rasanya merantau. Ketika teman-teman sedang di rumah karena liburan, teman-teman pasti cenderung malas untuk dimintai bantuan oleh orang tua, terutama ibu kita. Benar tidak? Banyak alasannya mulai dari mengganggu liburan, malas, masih ada kakak atau adik yang bisa menggantikan tugas kita, atau apapun itu. Namun, pada saat teman-teman sedang merantau, justru inilah hal-hal kecil yang bisa membuat kita menangis di perantauan. Kita akan menyesal karena tidak mau menuruti permintaan orang tua kita. Kita akan sangat merindukan orang tua kita, merindukan omelan orang tua kita, dan berjanji akan melakukan apa saja agar rasa rindu itu bisa terobati.

Pun akan melakukan apapun ketika kita ada kesempatan untuk pulang kampung. Alhasil, ketika kita sedang liburan dari perantauan kita, apapun perintah orang tua pasti akan dilakukan. Itu pasti. Mengingat di perantauan, kita tidak memiliki siapapun kecuali teman seperjuangan dan tidak memiliki apapun kecuali uang saku ala kadarnya dari orang tua di kampung. Ketika kita pulang kampung untuk pertama kalinya, kita pasti akan menangis bertemu orang tua kita karena saking rindunya. Minimal kita itu ‘mrebes mili’.

Namun, di perantauan inilah kita menjadi belajar banyak hal. Belajar menghargai apapun yang kita miliki, menghargai siapapun yang ada dalam hidup kita, dan menghargai waktu yang masih melekat pada diri kita. Menurut saya, justru hidup yang sesungguhnya adalah ketika kita di perantauan. Kita dituntut untuk bisa survive di tanah seberang. Sebaliknya, ketika kita belum pernah merantau dan masih hidup bersama orang tua, itu masih disebut ‘latihan’ hidup.

Saya merasa, ketika saya hidup di perantauan, hidup saya berubah 180 derajat. Saya merasa lebih prihatin atas hidup saya sendiri. Implikasinya saya justru berusaha untuk lebih dekat kepada Yang Mahakuasa. Inilah dampak paling positif dari merantau. Lebih sering ingat kepada Tuhan dan berhenti melakukan hal-hal negatif karena di tanah sana, kita tidak punya apapun selain Tuhan kita. Hanya Tuhan yang benar-benar menjadi pegangan. Dan inilah konsep yang sama dengan yang diajarkan oleh Rasululloh yaitu berhijrah. Hijrahlah yang membawa Islam menjadi dewasa. Merantau pulalah yang menjadikan kita menjadi semakin dewasa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun